Orang Tua Adalah Pemilik Sejarah Masa Kecil Kita

0

Belakangan, saya sering bertanya pada orang tua bagaimana pertumbuhan masa kecil saya terutama di masa golden age. Kapan saya mulai bisa merangkak? Umur berapa saya bisa berjalan? Bagaimana proses pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) saya? Kapan saya mulai bisa berbicara? Dan masih banyak pertanyaan lain.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika saya menjadi seorang Ibu yang menemani tumbuh kembang Afra, anak saya. Terutama ketika saya mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam menemani tumbuh kembangnya. Kesulitan yang saya alami seperti betapa sulitnya mengajak Afra makan di masa-masa tertentu, ketika Afra belum tumbuh gigi di masa-masa awal MPASI, atau ketika Afra belum berani berjalan sendiri padahal sudah genap satu tahun.

Bertanya pada orang tua tentang masa awal kehidupan saya bukan hanya sebatas ingin mencari tahu bagaimana saya tumbuh dan berkembang melainkan sebuah cara untuk sensing: untuk merasakan beragam emosi saat membesarkan seorang anak. Senang, bahagia, khawatir/cemas, lelah, takut, marah adalah beragam emosi yang hadir saat menjadi ibu. Perasaan-perasaan yang hadir pada saya juga hadir pada ibu saya dulu. Melalui proses sensing ini saya pun merasakan cinta yang melimpah untuk orang tua saya. How hard did you educate me until I became an adult. Thank you.

Jawaban-jawaban dari pertanyaan saya tidak dijawab panjang lebar. Barangkali orang tua saya juga susah payah memungut ingatan-ingatan itu karena banyaknya hal yang terjadi selama masa hidup ini. Sedikit kecewa mendengar jawaban-jawaban pendeknya. Tetapi orang tua saya terutama ibu bercerita kalau makanan untuk saya dibuat langsung olehnya. Bukan produk olahan pabrik yang banyak beredar di toko-toko. Sedikit lega. Hal itu pun sedang saya lakukan pada Afra.

Saya juga tidak memiliki banyak ingatan bagaimana saya kecil dulu. Ya jelaslah. Struktur otak anak 0-2 tahun kan belum lengkap. Pasti tidak akan mengingat apapun. Tetapi dari proses ini saya menyadari bahwa orang tua adalah sumber sejarah bagi anaknya. Saya ingat bagaimana Alberthiene Endah, seorang penulis biografi terkenal di Indonesia mengatakan bahwa setiap orang dapat menulis biografi dan siapapun berhak ditulis sejarah hidupnya. Penulisan sejarah hidup seseorang tidak hanya dimiliki oleh tokoh, pebisnis sukses, penulis hebat atau presiden. Kita sebagai anak dari orang tua kita masing-masing pun berhak ditulis sejarah hidupnya. Ditulis oleh siapa biografi kita? Ditulis oleh orang tua kita sebagai pemilik sejarah tumbuh kembang kita di masa golden age, balita, remaja, bahkan sampai dewasa.

Gagasan tersebut membuat saya melihat betapa pentingnya membuat jurnal perkembangan anak di buku catatan, di aplikasi anak, atau di manapun yang dapat kita lakukan. Selain membuat junal, mengabadikan moment dalam bentuk foto, video, atau voice recording adalah pilihan-pilihan yang bisa kita lakukan. Catatan sejarah kecil kita penting sekali untuk dibaca dan dilihat oleh kita. Catatan ini sebagai media untuk mengenali diri kita, sebagai media belajar kita saat menjadi orang tua, juga bisa kita buka di saat kita mulai kehilangan diri kita atau di masa-masa terendah kita. Rasanya sejarah masa kecil kita akan menjadi booster energy untuk diri kita sendiri. Saya mengamati sekaligus meyakini anak-anak memiliki energi besar juga positif di masa perkembangannya. Tidak seperti kita yang sudah dewasa energi negative seringkali muncul dan membuat kita tidak produktif. Tetapi anak-anak, mereka adalah pembelajar yang konsisten, tidak lelah mengulang, dan memiliki keingintahuan yang tinggi.

So, let’s write our children history.

 

 

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !