Kartini dari Blora

0

 

Sekilas tentang Kartini dari Blora

Perempuan berkacamata itu menyambut kami dengan ramah ketika kami tiba di rumahnya. Kami bermaksud menghadiri diskusi buku yang diselenggarakan oleh Akal Buku, sebuah toko buku yang didirikan bersama suaminya, Agus Mulyadi. Sebuah forum kecil yang ia rawat dengan penuh kegembiraan untuk membincang dunia buku. Sengaja kami tiba lebih awal supaya dapat bercengkerama sejenak sebelum diskusi dimulai juga bisa bermain dengan kucing-kucing peliharaannya.

Perempuan itu bernama Kalis Mardiasih, perempuan muda dengan suara lantang menyuarakan isu-isu perempuan di media sosial dan media massa. Ia lahir di Blora, sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah pada 16 Februari 1992. Dalam sebuah wawancara dengan Andini Effendi, ia mengatakan lahir dan hidup di lingkungan pra sejahtera. Ibunya adalah perempuan lulusan sekolah dasar. Sementara ayahnya adalah seorang ustaz kampung yang menemani anak-anak untuk mengaji.

Kendati besar di lingkungan yang tidak mapan, kedua orang tua Kalis adalah orang tua yang sadar akan kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Sebab itu, Kalis kecil di sekolahkan di sekolah dasar termahal di kabupaten Blora. Kemampuan berbicara di depan umum dan kepercayaan diri yang ia miliki saat ini adalah hasil dari latihan melalui kegiatan-kegiatan debat berbahasa Inggris, Indonesia atau Jawa semasa sekolah dulu. Aktif di organisasi OSIS dan pramuka adalah salah satu kegiatannya di sekolah. Tidak seperti anak-anak perempuan pada umumnya yang dilarang untuk melakukan banyak aktivitas, Bapak Kalis mengijinkannya untuk melakukan beragam aktifitas bermanfaat di sekolah. Kalis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana pendidikan bahasa Inggris di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

Perjuangan Kesetaraan Gender dan Jilbab yang Memerdekakan

Kalis hidup di lingkungan pra sejahtera dengan kompleksitas realitas yang beragam. Seringkali ia mendengar suara panci yang dilemparkan oleh seorang suami kepada istrinya, ia melihat bagaimana para janda berjuang hidup di bawah stigma, ia juga menyaksikan anak-anak putus sekolah dan masuk pada jurang pernikahan dini, juga melihat para buruh pabrik perempuan yang diberi upah tidak utuh padahal tenaga, waktu dan pikiran yang mereka berikan sama dengan laki-laki.

Realitas yang ia lihat, bukanlah realitas yang hanya terjadi di Blora, tetapi di banyak kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, bahkan negara lainnya. Realitas ini telah mengganggu kesadarannya dan dijadikan sebagai motif untuk menulis artikel di media sosial dan dijadikan buku dengan beberapa judul Berislam seperti Kanak-Kanak (Menjadi Muslim seperti Anak Kecil,  Muslimah yang Diperdebatkan (Muslimah yang Diperebutkan), Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar (Never Hijrah Too Far: Anda Mungkin Tersesat!), dan Sister Fillah You’ll Never Be Alone. Dalam buku-bukunya, Kalis menuliskan banyak pengalaman perempuan dan pengalaman keislaman yang dialami dan dilihatnya dengan cerdas dan kritis tetapi mudah dipahami oleh anak muda zaman sekarang. Buku-buku Kalis telah terjual lebih dari 20 ribu eksemplar.

 Perjalanan menulis Kalis dimulai sejak kuliah. Ia membidik beragam isu. Namun enam tahun belakangan, ia fokus pada isu kesetaraan gender dan keberagaman di Indonesia dalam bingkai keislaman. Di media sosial ia gencar membagikan pengalaman baik perempuan Indonesia diantaranya pengalaman ibu-ibu yang menjadi kepala keluarga, pengalaman perempuan memimpin pondok pesantren, pengalaman perempuan memimpin perusahaan, kiprah perempuan yang menjadi agen perubahan, dan kisah baik lainnya. Kiprah perempuan Indonesia memang menjadi kabar baik bagi negara-negara muslim di dunia. Namun begitu, masih banyak perempuan Indonesia yang mengalami peminggiran, subordinasi, kekerasan dan beban ganda. Oleh karenanya, Kalis pun aktif mengampanyekan kesetaraan bagi perempuan. Belakangan, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan seperti pesantren, sekolah dasar sampai perguruan tinggi menyeruak ke permukaan. Kalis menjadi salah satu aktivis yang mendorog pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). RUU TPKS itu berhasil disahkan pada bulan April 2022.

Dalam sebuah pelatihan, Kalis pernah membagikan pengalamannya mendapatkan ujaran kebencian dari sekelompok orang konservatif di twitter. Kala itu ia membagikan artikel miliknya yang mengkritik Riziq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam, yang dilarang oleh pemerintah pada bulan Desember 2020. “Pantesan saja opininya begini. Jilbabnya aja belum benar.” Tulis salah seorang netizen. Saat itu ia memasang foto profil dengan jilbab diikatkan ke leher. Di lain waktu, ia kembali membagikan artikel yang lain. Sebelumnya Kalis telah mengganti foto profil twitter dengan jilbab besar dan menggunakan gamis. “Percuma berjilbab besar kalo pemikirannya sesat. Copot aja mbak jilbabnya.” Respon seorang netizen.

Sejenak Kalis merasa kebingungan dan berpikir “kok gini amat ya jadi penulis, perempuan muslimah Indonesia. Perempuan berjilbab disuruh copot jilbab. Perempuan belum berjilbab disuruh berjilbab.” “Dari pengalaman itu, saya menemukan satu kesimpulan sebenarnya sekelompok orang konservatif itu tidak senang dengan keberadaan muslimah yang berfikir. Mereka hanya fokus pada apa yang perempuan kenakan bukan pada apa yang perempuan pikirkan. Mereka dengan mudahnya medestruksi perempuan dari apa yang mereka kenakan. Tentu saja perlakuan seperti ini tidak didapatkan oleh para penulis laki-laki. ” Jelasnya berapi-api.

“Jilbab itu memerdekakanmu bukan menindasmu.” Tegas Kalis. Kalimat itu ditujukan pada perempuan muslimah urban yang melakukan “hijrah”.  Saat ini, banyak tokoh publik yang tadinya tidak berjilbab kemudian berjilbab. Aktivititas ini disebut dengan hijrah. Namun bagi Kalis hijrah yang dilakukan para tokoh publik ini adalah sebuah kemunduran. Karena mereka cenderung menjadi eksklusif setelah menggunakan jilbab dan membatasi diri dalam pergaulan bahkan tertutup pada hal apapun. “Seharusnya ketika kita hijrah menggunakan jilbab, kita bisa merasa lebih simple karena tidak perlu menggunakan aksesoris yang bermacam-macam misalnya, sehinga bisa menghemat waktu untuk tetap membaca buku, tetap berpikir, untuk tetap berkontribusi ke masyarakat gitu, karena kain ini hanya sebatas bungkus kepala bukan bungkus pikiran perempuan.” Jelasnya Panjang lebar.  

Berkat kerja kerasnya berkampanye di media sosial dan media massa Kalis mendapatkan penghargaan Diversity Award dari SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) pada 2021. Pada tahun 2018, artikel yang berjudul Jangan Biarkan Perempuan Tertinggal masuk nominasi penghargaan Anugerah Swara Saraswati dari Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi kategori esai jurnalisme media online terbaik. Selain itu, Kalis pun kerap diundang dalam berbagai acara di stasiun televisi seperti Kick Andy, Q&A Metro TV. Tidak hanya itu, ia pun kerap berbicara di media kumparan, mojok, dan cauldron talks, satu channel youtube milik Andini Effendi.

Untuk memperluas diseminasi gagasan kesetaraan gender dan mendengar pengalaman perempuan lebih banyak dari berbagai daerah Kalis mengelola Kelas Kalis yang fokus pada literasi media digital dan isu gender. Tidak hanya itu, sejak terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada tahun 2017, ia aktif menjadi penggerak perempuan. Di Jaringan GUSDURian ia terlibat dalam fasilitasi pelatihan dan produksi konten Indonesia Rumah Bersama sebagai respon atas maraknya ujaran kebencian di media digital. Sampai saat ini, Kalis terus bergerak menjadi aktivis, influencer, dan penulis. Cita-citanya saat ini adalah memproduksi konten keislaman dan gender dengan sederhana agar isu ini dapat diterima dan dibaca oleh anak-anak mulai tingkat sekolah dasar.

 

 

 

 

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !