Untuk Kamu yang Sedang Tinggal Bersama Orang Tua

0
 

“La, anakku dikasih makanan kemasan sama nenekku.”

“La, anakku akhirnya ditindik karena ibu ngomong terus soal menindik bayi.”

“La, akhirnya aku masak MPASI pake gula dan garam karena orang-orang di rumah selalu ngomong rasa MPASI aku nggak enak.”

Itu adalah sedikit contoh kondisi dan tantangan yang sedang atau akan dihadapi ketika kita tinggal bersama orang tua atau keluarga yang lain (kakek, nenek, bibi, paman). Beberapa teman bercerita kondisi tersebut. Aku mengira hal tersebut akan mudah ditangani. Nyatanya sangat sulit. Aku mengira itu akan selesai dengan komunikasi sekali atau dua kali. Nyatanya tidak. Aku mengira itu tidak akan menyurutkan kepercayaan diri seorang ibu, nyatanya iya.

Bagiku, tidak tinggal bersama orang tua adalah sebuah keistimewaan. Kenapa? Karena di Yogyakarta aku hidup mandiri dan merdeka. Aku bebas memilih pola asuh yang akan aku dan suami pakai untuk anak. Aku bebas memilih makanan seperti apa yang akan dikonsumsi untuk anak. Aku juga bebas melakukan stimulasi apapun untuk anak. Aku percaya diri dengan apa yang aku lakukan terhadap anak karena aku belajar. Aku melahirkan dengan ilmu. Aku menyusui dengan ilmu. Dan aku membesarkan anak pun dengan bekal ilmu. Bukan berdasarkan insting.

Aku tidak menindik anak perempuanku karena kami sedang mengenalkan tentang otoritas tubuh. Anak sebagai subjek utuh punya hak untuk menentukan apakah ia mau ditindik atau tidak. Aku selalu meminta ijin ketika akan memandikan anakku, karena tubuhnya adalah miliknya, bukan milikku atau milik siapapun, sehingga apapun yang akan terjadi pada tubuhnya harus atas ijinnya. Jadi ketika ada orang tiba-tiba memegang anakku dengan agresif, dia akan otomatis menangis, karena hey, kamu siapa, kamu tidak punya ijin untuk menyentuhku (pernah terjadi saat bertemu dokter anak).

Tidak menindik anak saat masih bayi, tidak memberikan makanan kemasan kepada bayi, tidak memberikan susu formula kepada bayi adalah bentuk “ketidakwajaran” kalau di kampung/di desa. Jelas, hal tersebut akan dikomentarin, akan dijulidin, dan akan dibahas terus menerus sampai si ibu/ayah menyerah dan akhirnya ikut arus di kampung.

Untuk para ibu yang sedang berjuang di tengah situasi dan kondisi seperti itu, jika ingin menangis sekalipun sedang menyusui, menangislah, jika ingin berteriak di kamar mandi, teriaklah, jika ingin mengumpat, mengumpatlah, jika ingin bercerita, berceritalah pada orang yang tepat, jika ingin memeluk diri sendiri, peluklah, jika ingin mengadu pada suami, mengadulah, jika ingin menguatkan diri dengan berdoa dan beribadah, lakukanlah. Lakukanlah apapun yang itu membuat situasimu terasa lebih ringan walaupun sedikit. Tetaplah percaya diri. Tetaplah teguh pada ilmu.

Peluk jauh dari aku.

 

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !