“Ber”, Tanda Masuk Musim Penghujan yang Hilang dan Efek Perubahan Iklim

7

 

Masih jelas dalam ingatan, bagaimana guru IPA di sekolah dasar (SD) saya dulu menjelaskan tentang siklus musim di Indonesia.

“Indonesia memiliki dua musim anak-anak. Musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau biasa terjadi antara bulan Maret sampai September. Kalau musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai Februari. Untuk memudahkan mengingat waktu dua musim ini, pokoknya nama bulan yang berakhiran ber pasti hujan.” Begitu sedikit penjelasan dari guru saya dua puluh tahun lalu.

Ya, setiap memasuki bulan yang berakhiran ber saya dan teman-teman bersiap untuk menghadapi hujan. Saya membawa payung ke sekolah. Payung yang besar. Tingginya setengah badan saya dan biasa saya pakai sebagai tongkat saat berjalan.  Jika hujan turun di sore hari, saya sudah siap untuk menerjang hujan dengan payung tersebut. Tidak hanya itu, saya pun bersiap menghadapi tanah yang basah di pagi hari. Tanah merah yang akan mengotori sepatu. Tanah merah dan rumput yang basah membuat saya harus nyeker saat berangkat sekolah. Lalu saya akan menggunakan sepatu di ujung jalan beraspal. Beruntung, di ujung jalan tersebut ada masjid yang memiliki kolam. Sehingga saya bisa membersihkan kaki di sana dengan leluasa.

Sementara ketika musim kemarau tiba, saya akan bersuka cita. Saya dapat bermain di sawah sepuasnya bersama teman-teman. Melihat teman laki-laki bermain layang-layang atau saya dapat bersepeda sampai sore. Menghabiskan waktu di musim kemarau dengan bermain adalah hal yang menyenangkan.

Namun, saat ini, dua puluh tahun kemudian, apa yang saya pelajari tentang pergantian musim di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Rasa-rasanya saya bisa merasakan musim kemarau sekaligus musim hujan sepanjang tahun. Cuaca kian tidak menentu dari waktu ke waktu. Dalam sehari, saya dapat menyaksikan sekaligus merasakan bagaimana matahari memberikan panas luar biasa, lalu diikuti hujan lebat dan angin ribut. Pergantian cuaca ekstrim kian saya rasakan setiap harinya.

Pernah di siang hari yang cerah pada bulan Maret 2022, tiba-tiba langit menghitam, diikuti angin ribut dan hujan. Hari itu tepat pukul 14.00 WIB langit Yogya, tempat tinggal saya, seperti langit pada waktu Maghrib. Gelap. Saya menyalakan lampu agar tetap dapat melakukan aktivitas. Namun, perasaan tidak tenang terus menggelayut. Tak berapa lama, saya mendengar kabar di beberapa tempat di Sleman pohon tumbang, lampu padam hampir 37 jam.

Di Ciamis, tempat saya dilahirkan, pada bulan yang sama, Ibu mengabarkan ada angin puting beliung, pohon-pohon tumbang, genteng rumah terbawa angin, dan rumah-rumah tua ambruk. Beruntung, tidak ada korban jiwa. Rasanya, bencana ini adalah bencana pertama yang dialami kampung kelahiran saya.  Sekarang, ibu juga para tetangga di sana menghadapi hujan dan angin dengan kecemasan. 


Mengapa Perubahan Iklim Terjadi?

Cuaca ekstrim yang saya rasakan di atas adalah salah satu dampak dari perubahan iklim saat ini. Para ilmuwan telah menyapakati perubahan iklim sudah darurat dan global. 

Mereka mengumpulkan data selama 40 tahun dan berakhir pada kesimpulan bahwa pemerintah di seluruh dunia gagal mengatasi krisis iklim ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengungkapkan sejumlah penyebab perubahan iklim, yaitu:

1.    Pembuatan energi

Energi listrik dan panas dihasilkan dengan membakar bahan bakar fosil, sehingga menghasilkan emisi karbon dioksida dan dinitrogen oksida, yaitu gas rumah kaca penyebab perubahan iklim

2.    Manufaktur barang

Kegiatan manufaktur dan industri menghasilkan gas rumah kaca. Industri manufaktur merupakan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

3.    Penebangan hutan

Emisi gas rumah kaca timbul aktibat penebangan hutan, karena pohon yang ditebang akan melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya. Karena hutan menyerap karbon dioksida, penebanganya juga mengakibatkan berkurangnya penyerapan emisi gas rumah kaca

4.    Penggunaan transportasi

Bahan bakar fosil sebagai sumber energi kendaraan menyebabkan perubahan iklim karena emisi gas karbon dioksida

5.    Pemakaian berlebihan

Penggunaan barang elektronik, bepergian, dan jumlah makanan yang dikonsumsi berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Gaya hidup berpengaruh besar terhadap perubahan iklim.

Dengan penyebab perubahan iklim yang serius, tentu menghasilkan dampak yang serius juga. Mari kita lihat dampak dari perubahan iklim.

1.    Menurunnya kualitas air

Curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan penurunan kualitas sumber air. Selain itu, kenaikan suhu juga mengakibatkan kadar klorin pada air bersih

2.    Berkurangnya kuantitas air

Pemanasan global meningkatkan curah hujan. Namun, curah hujan yang terlalu tinggi berakibat pada tinginya kemungkinan air untuk langsung kembali ke laut tanmpa sempat tersimpan sebagai sumber air bersih

3.    Perubahan habitat

Perubahan iklim mengakibatkan pemanasan suhu bumi, kenaikan batasan air laut, terjadinya banjir dan juga badai. Kondisi ini membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami bagi berbagai spesies binatang, tanaman, dan berbagai organisme lain.

4.    Punahnya spesies

Perubahan habitat menyebabkan punahnya berbagai spesies makhluk hidup. Hal ini disebabkan karena mereka tidak sempat beradaptasi terhadap perubahan suhu dan alam yang terjadi terlalu cepat. Kepunahan spesies akan berdampak besar pada ekosistem dan rantai makanan

5.    Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Padahal, hutan merupakan produsen oksigen sehingga disebut paru-paru bumi. Hutan juga membantu menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global.

6.    Meningkatnya wabah penyakit

Curah hujan tinggi akibat perubahan iklim menyebabkan peningkatan dan penyebaran wabah penyakit yang mematikan, Saat ini, kita sedang menghadapi pandemic covid-19. Dampak nyata sedang kita rasakan semua.

7.    Berkurangnya area dan produktivitas pertanian

Perubahan iklim mengakibatkan berkurangnya ketersediaan air dan meningkatnya bencana alam sehingga berakibat para area dan produktivitas pertanian.

8.    Tenggelamnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil

Perubahan iklim berdampak pada es pada kutub yang mencair. Akibatnya, permukaan air laut naik sehingga menenggelamkan sebagian daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Resahku Berujung Aksi

Saya memiliki anak berusia 11 bulan yang lahir di masa pandemi Covid-19. Sebagai ibu saya ingin memberikan tempat yang aman dan baik untuk anak saya di masa depan. Di tengah perubahan iklim yang semakin cepat, pertanyaan-pertanyaan ini kerap menghantui pikiran saya.

Apakah bumi sekarang masih aman? Apakah anak saya akan berjibaku menghadapi perubahan iklim di masa yang akan datang? Bagaimana ia akan menghadapi bencana alam yang melanda saat ini dan esok? Bisakah ia menyelamatkan diri? Apa yang harus saya berikan sebagai bekal agar ia dapat bertahan di tengah perubahan iklim ini?

Kekhawatiran tersebut membawa saya pada aksi-aksi kecil untuk bumi. Di bulan Ramadhan ini saya memulainya bersama keluarga kecil saya.

Langkah kecil #UntukmuBumiku di bulan Ramadhan

·        Lihatlah lemarimu lebih dalam

Berapa banyak pakaian yang Anda punya di lemari? Pakaian yang kita gunakan sehari-hari ternyata menyumbang perubahan iklim. Sekitar 60% bahan pakaian yang ada di dunia berbahan poliester. Poliester berbahan dasar plastik. Jadi banyak dari pakaian kita adalah plastik. Pakaian yang berbahan dasar plastik melepaskan partikel mikroplastik ketika dicuci yang mencemari ekosistem laut.

Bagaimana dengan pakaian berbahan katun? 

Pembuatan satu pakaian berbahan katun memerlukan 2700 liter air dan emisi yang dihasilkan dalam produksinya sama dengan emisi berkendara mobil jarak Bogor ke Bekasi.
 

Tidak hanya itu, limbah tekstil yang dihasilkan pun angkanya luar biasa tinggi. Syarifa Yurizdiana, aktivis Zero Waste Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan data global sebanyak 92 ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun. Hal itu setara dengan satu truk sampah yang datang ke TPA setip detiknya.

Fakta tersebut membuat saya kembali berpikir ulang untuk membeli pakaian lebaran. Saya memulai langkah kecil dengan tidak membeli baju baru untuk beberapa tahu ke depan. Satiap saya membutuhkan pakaian baru saya akan membuka lemari, melihat dan merenovasi beberapa pakaian yang sudah bosan digunakan.

Sarah Lazarovic, seorang aktivis lingkungan memberikan beberapa opsi untuk memenuhi kebutuhan fashion kita. Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah menggunakan pakaian yang kita punya. Kedua, kita dapat meminjam pakaian dari keluarga atau sahabat dekat. Ketiga, menukar pakaian dengan teman, keluarga, atau rekan kerja menjadi aktivitas yang cukup menyenangkan. Keempat adalah membeli pakaian bekas. Kelima membuat pakain baru. Keenam membeli. Membeli menjadi opsi terakhir yang dapat kita gunakan.

Jadi di hari lebaran ini saya memilih untuk menggunakan pakaian yang saya punya dan merenovasi beberapa pakaian agar tetap terlihat trendy. Hehe.

·         Sadari Kebutuhan Berbuka dan Sahur

Berbeda dengan bulan puasa sebelumnya, di mana saya selalu menimbun makanan untuk berbuka, bulan puasa sekarang saya memilih untuk berbuka secara minimalis. Berbuka dengan sadar penuh. 

Banyak menimbang apakah ini kebutuhan tubuh atau keinginan? Hematnya, saya tidak menimbun makanan di meja makan setiap harinya. Tidak ada kolak yang tinggi gula, tidak juga dengan gorengan yang tinggi minyak.

Saya dan keluarga akan memulai berbuka dengan air putih, buah-buahan secukupnya atau air kelapa muda yang dibeli dengan harga Rp 10.000. Setelah itu dilanjutkan dengan makan nasi, sayur, beserta lauk pauknya. Kami pun selalu memasak dengan porsi kecil (cukup untuk kami saja). Bagi kami, cara ini berhasil mengurangi sampah rumah tangga dan sisa makanan. Di bulan Ramadhan ini kami tidak ingin menjadi penyumbang limbah makanan. Karena berdasarkan data dari SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional), sampah makanan menempati angka tertinggi dibandingkan sampah lainnya. Ia mencapai angka 28,6% pada tahun 2021. Pada bulan Ramadhan angka ini akan meningkat antara 10-30% sampai 100-150%. Hal ini terjadi karena budaya masyarakat yang selalu menyajikan sajian berbuka puasa dan sahur secara “istimewa”.

#TeamUpForImpact Langkah Kecil Kurangi Dampak Perubahan Iklim

Kita tidak dapat menyetop dampak perubahan iklim tapi kita dapat mengurangi dampak perubahan iklim dengan melakukan hal kecil bersama-sama. Kita dapat melakukan usaha untuk menyehatkan kembali bumi (heal the world) demi bumi, anak saya, anak anda, dan untuk siapapun yang anda sayangi.  

#TeamUpForImpact mengajak aksi untuk melakukan hal kecil yang luar biasa setiap harinya. Kamu dapat memulainya dari hari apapun. Berikut ini aksi yang dapat kamu lakukan setiap hari:

·         Senin: Tidak membeli makanan/minuman dalam kemasan

·         Selasa: Mengurangi pemakaian listrik selama 2 jam

·         Rabu: Tidak makan daging

·         Kamis: Tidak menggunakan tissue

·         Jumat: Tidak naik kendaraan berbahan bakar bensin

·         Sabtu: Tidak menyalkan TV

·         MInggu: Tidak menghasilkan sampah makanan

Tujuh aksi di atas  adalah aksi kecil yang dapat kita lakukan setiap hari. Aksi ini tidak dapat ditunda-tunda lagi. Kita harus memulainya sekarang juga demi rumah kita. #UntukmuBumiku. 

Let's Team Up, Not Give Up.

Ini adalah sebuah ajakan untuk melakukan hal-hal sederhana untuk bumi. Kapan saja, di mana saja, sejauh yang kita bisa.

Karena sekecil apa pun langkah yang kita ambil, kalau dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus akan besar dampaknya.

(www.teamupforimpact.org)

 

 

Sumber

www.katadata.co.id

www.sains.kompas.com

https://teamupforimpact.org

https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/

https://zerowaste.id

https://tribunnews.com | KR Jogja | Tribun Jogja

 

 

 

 

 

Post a Comment

7 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Sāat ini di pekan akhir April, hujan juga masih sering di Sukabumi. Perubahan iklim yang berdampak ke pola hujan benar-benar sangat terasa. Semoga semakin banyak yang sadar dan ikut andil dalam aksi positif untuk menekan perubahan iklim ini

    ReplyDelete
  2. Memang kalau nggak ada langkah nyata bakal serem sih cuaca extrem ini, mengingat masa depan anak cucu kita gimana menghadapi issue ini kelak. Tapi akupun masih berusaha bgt untuk #TeamUpForImpact. Keliatan sepele tapi susah y :( pelan2 deh semoga bisa

    ReplyDelete
  3. Ternyata dari hal kecil seperti persiapan makan buat keluarga dan melihat lemari pakaian lebih dalam bisa berimbas besar nuat perubahan iklim kita ya.

    Baiklah, mari mulai langkah kecil ini untuk perubahan besar yang lebih baik. Bismillah.

    ReplyDelete
  4. Benar banget, Mbak. Kaya sekarang2 ini harusnya mulai masuk musim panas tapi malah belakangan hari hujan terus tiap sore sampai malam. Dan makasih banget ternyata baju bahan katun bisa seboros dan bahaya itu.

    ReplyDelete
  5. Sangat merasakan bagaiaman akondisi dulu sangat berbeda dengan saat ini. Musim silih berganti bukan lagi berbatas bulan, tapi berbatas waktu pagi dan malam. Pagi panas, siang hari hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.

    ReplyDelete
  6. Saya juga sedikit heran dengan cuaca akhir-akhir ini terutama saat ramadan. Langkah kecil selama seminggu nampaknya sederhana dan lekat dengan sehari-hari tapi buat komitmen dan konsisten yang sangat susah.

    ReplyDelete
  7. Saya juga punya pemikiran yang sama, sekarang musim di Indonesia makin tidak periodik. Kita sulit menyebutkan kapan musim hujan dan kemarau, karena hujan dan panas datang kapan saja.

    ReplyDelete
Post a Comment
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !