Seandainya
aku bisa melompati waktu. Aku akan melompati Mei yang sudah terlihat gulita sejak
bulan kelahiranku datang. Seandainya aku berubah menjadi manusia berdarah
dingin, sementara Mei adalah waktu yang dapat kubunuh, aku akan membunuh Mei
dengan cara yang teramat ganjil. Atau jika aku memiliki kuasa untuk menentukan
waktu dalam satu tahun, maka akan aku pangkas Mei. Dan satu tahun hanya
memiliki 11 bulan. Atau Seandainya aku memiliki cat dan kuas, aku akan mewarnai
Mei dengan cahaya terang. Dan yang terakhir adalah sebaik-baik itikad.
Mei
mendekat, merangkak perlahan. Aku belum bisa melakukan sesuatu pun untuk menahan
Mei yang hendak datang. Memberhentikannya pun aku tak kuasa. Sungguh. Tak
sedetik pun aku ingin melewati Mei. Tentunya, tak ada sedikit pun tanda bahwa
Mei tak akan datang. Dan keinginan memberhentikan waktu adalah hal mustahil.
Tepat
di bulan kelahiranku yang selalu aku anggap biasa saja, tanpa perayaan yang ingar-bingar,
dan rasa syukur yang biasa pula, lelaki berkaca mata itu datang menjengukku
setelah setahun penuh tak menemuiku. Lelaki itu datang tanpa persetujuan.
Muncul dengan pemberitahuan yang tiba-tiba.
Lelaki
berkaca mata yang memiliki paras bagus. Sepanjang sejarah aku memiliki kekasih,
hanya ia lah, yang elok parasnya dan sedap dipandang mata. Badannya tegap.
Dadanya bidang. Kulitnya sawo matang. Lengkung alisnya seperti bulan sabit. Hitam
pula. Gadis mana yang hendak menolak memiliki kekasih sepertinya?
“Aku
akan datang besok,” ia mengabariku melalui sms di suatu pagi yang sungguh
teramat sibuk bagiku.
Aku
tidak lekas membalas pesan itu. Masih menimbang apa yang sudah kuagendakan saat
ia hendak datang. Tiga kegiatan sekaligus sedang menghimpitku. Itu berarti aku
tak bisa menemuinya, menjamunya di ruang tamu, dan menemaninya menikmati kota
ini.
“Jangan
datang bulan ini. Aku masih memiliki banyak kegiatan. Bukankah kita sudah
merencanakan pertemuan kita di penghujung tahun? Dan ini masih bulan sepuluh?”
balasku melalui pesan singkat.
“Aku
hanya perlu waktu sebentar saja untuk menemuimu. Akhir tahun aku sibuk
mengerjakan laporan untuk kantorku. Aku tak mungkin menemuimu bulan Desember,” jawabnya.
Ia
lelaki yang selalu cepat membalas pesan. Sementara aku adalah wanita yang
teramat lambat membalas pesan. Ah, satu kebiasaan buruk yang sangat tidak
disukainya. Aku masih di depan leptop, membuat materi untuk mengisi sebuah
seminar tentang perdamaian. Di saat seperti inilah, keegoisanku muncul, bahwa
waktuku tak mau kubagi dengan masalah perasaan. Biarkanlah, aku masih
menganggap perasaan dan sebuah hubungan adalah hal yang remeh temeh dan tak
perlu disikapi secara serius. Ada yang lebih serius untuk dipikirkan dan
dilakukan. Memberikan pengetahuan kepada remaja yang hendak dewasa tentang
pentingnya menjaga perdamaian melalui dialog lintas agama adalah lebih penting.
Itulah yang sedang meliputi pikiranku saat itu.
“Bagaimana
kalau di awal bulan sebelas saja?” Setelah beberapa jam berlalu baru aku
membalasnya.
“Aku
sibuk bulan itu.” secepat kilat ia langsung membalas pesanku. Kemudian disusul
dengan pesan yang lain.
“Terserah
kamu. Aku akan tetap datang. Aku hanya memerlukan waktu setengah jam. Aku akan
menemuimu jam berapa pun kamu punya waktu. Aku ikut waktu luangmu.”
Pesan
itu tidak aku balas lagi. Aku membalasnya sehari sebelum ia datang. Itu berarti
saat ia sedang melakukan perjalanan ke kota ini.
“Jadi
ke sini?”
“Iya.”
Saat
itu aku hanya mengucapkan hati-hati di jalan. Dan akan menemuinya selepas Isa.
Di mana kegiatanku baru saja selesai. Ia pun menyetujuinya.
*
Aku
mengenakan kaos berwarna merah. Celana jeans warna hitam. Dan sandal teplek.
Supel bukan? Aku memang tak senang dengah hal-hal ribet. Dan kesupelan inilah
yang membuat ia suka padaku. “Kau tak seperti wanita pada umumnya yang hanya
senang mengurusi kecantikan dirinya sendiri,” ia memujiku waktu itu.
Kami
bertemu tepat jam 8 malam di sebuah kafe. Sebuah pertemuan yang dingin menurutku.
Karena tak ada senyum sumringah dariku. Yang ada hanyalah senyum lelah yang
bermakna kenapa kau datang di saat yang tidak tepat.
Pertemuan
itu diawali dengan pertanyaan basa-basi. Pertanyaan seputar kesehatan. Kabar
keluarga. Kondisi pekerjaan masing-masing. Tidak ada pertanyaan yang dijawab
dengan sangat antusias. Semuanya hambar. Sungguh.
Bukankah
telah lama kita menanam rindu? Dan seharusnya inilah waktu yang tepat untuk
memanen rindu itu? Ah, membawa berita apakah pertemuan kita saat ini?
Aku
memesan jus alpukat lengkap dengan taburan coklat. Ia memesan segelas
cappuccino. Kami tengah meneguk minuman masing-masing sebelum akhirnya ia
memulai pembicaaraan yang serius.
“Maukah
kau mengarungi hidup bersamaku. Dan menikah di bulan Mei tahun depan?”
Sebuah
ajakan yang membuat kerongkonganku tercekat. Ini adalah sebuah ajakan yang
terlalu mendadak. Menikah bukan perkara mudah. Bukan sebatas ijab qobul. Lalu
satu sama lain menjadi pemilik syah masing-masing. Menikah perlu kematangan.
Kematangan jiwa dan raga. Bukan aku tidak percaya akan kematangan jiwa dan
raganya. Namun, aku meragukan kematangan jiwaku. Maksudku, bukan aku merasa
belum matang, namun, ini terlalu tiba-tiba dan mendesak.
“Aku
tak bisa menunggu terlalu lama. Desakan demi desakan selalu datang dari Ibu.
Kali ini, aku tak ingin mengecewakan Ibu. Mengertilah.”
Sudah
kukatakan aku tak suka dengan hal yang mendadak dan tiba-tiba. Adalah hal wajar
jika aku tak mampu berkata-kata sedikit pun, sementara kau terus saja memburuku
dengan rencana yang tak pernah kita sepakati. Kita hanya menyepakati sebuah
pertemuan di penghujung tahun. Bahkan, hari ini pun, adalah hari yang tak
kukehendaki bertemu denganmu.
Aku
kembali meminum jus alpukat. Kupaksakan mereguk jus itu. Untuk sekedar
membasahi tenggorokan yang sudah kering setelah mendengar ajakanmu.
“Usia.
Ingatlah usiaku. Usiaku sudah tidak muda lagi.”
Ah,
perkara usia. Aku tak pernah mempermasalahkan usia. Tentu menikah bukan hanya
perkara usia. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tak mungkin hanya
direncanakan dalam sebuah pertemuan yang tak memiliki persetujuan.
Keheningan
menyergap tubuhku. Aku tak mampu berucap satu patah kata pun. Ia pergi tanpa
suara dan dosa menggelayut di matanya.
*
Aku
masih duduk terpaku. Memandang jalanan yang masih saja ramai. Ia sudah pergi
setengah jam yang lalu. Sementara aku masih belum tersadar dari sesuatu yang
mengagetkan. Aku tahu sekarang. Sebuah rindu yang kita tetaskan belum pada
waktunya, akan menggoreskan luka.
Kau
sama sekali tak memberiku waktu untuk berpikir. Kau benar. Kau hanya menemuiku
setengah jam saja. Dan kau sudah merancang sendiri skenario pertemuan kita.
Bahwa kau tak akan memberikan waktu sedikit pun untuk berpikir. Lalu perlahan
kau menyebutkan nama perempuan yang telah kau pinang bersama Ibumu. Sungguh aku
tak mau mengingat nama perempuan itu apalagi menuliskannya di sini. “Di bulan
Mei, aku akan menikah dengannya,” kalimat itu terus saja terngiang di
telingaku.
Ini
masih bulan sepuluh. Kita telah merencanakan sebuah pertemuan di bulan dua
belas jauh sebelum bulan sepuluh datang. Dan kau hendak menikah pada bulan ke
lima di tahun yang akan datang. Lalu sejak kapan kau memutuskan untuk tidak
menemuiku di bulan dua belas? Padahal sudah kusiapkan sebuah lipstick berwarna
erah untuk pertemuan sakral kita. Untuk membalas rindu yang kian menderu.
*
Kegiatan-kegiatanku
berjalan sesuai yang direncanakan. Aku masih bisa beraktivitas setelah malam yang
mengagetkanku dan membuatku tercekat.
Butuh
waktu satu minggu untuk menyadari sebuah luka yang telah menganga di dada. Iya.
Satu minggu. Setelah semua kegiatanku berhasil ditunaikan. Dan aku mulai
menikmati secangkir kopi di sudut ruangan. Sendiri. Mengingat setiap kata yang
kau ucapkan malam lalu. Secara sengaja kau torehkan luka di dada yang telah kau
busungkan sejak lama. Pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah harapan yang tak
pantas diharapkan, apalagi ditunaikan.
Sekarang
sebelum Mei benar-benar datang, izinkan aku menunaikan sebuah titah terakhir
dari batinku. Menemuimu di persimpangan kota lalu berdoa agar Izroil datang.
Mencabut nyawamu dengan cara yang teramat sadis sampai aku tak pernah mau
membelalakkan mata melihat jasadmu. Lalu, akan kutuntaskan hidupku juga seperti
Izroil mencabutmu.
Aku
tahu ini memang di luar nalarmu. Tetapi keinginan itu terus menusuk kepala dan
jantungku.
*
Warungjati,
09 Maret 2015