Elegi Mei

0
Seandainya aku bisa melompati waktu. Aku akan melompati Mei yang sudah terlihat gulita sejak bulan kelahiranku datang. Seandainya aku berubah menjadi manusia berdarah dingin, sementara Mei adalah waktu yang dapat kubunuh, aku akan membunuh Mei dengan cara yang teramat ganjil. Atau jika aku memiliki kuasa untuk menentukan waktu dalam satu tahun, maka akan aku pangkas Mei. Dan satu tahun hanya memiliki 11 bulan. Atau Seandainya aku memiliki cat dan kuas, aku akan mewarnai Mei dengan cahaya terang. Dan yang terakhir adalah sebaik-baik itikad.

Mei mendekat, merangkak perlahan. Aku belum bisa melakukan sesuatu pun untuk menahan Mei yang hendak datang. Memberhentikannya pun aku tak kuasa. Sungguh. Tak sedetik pun aku ingin melewati Mei. Tentunya, tak ada sedikit pun tanda bahwa Mei tak akan datang. Dan keinginan memberhentikan waktu adalah hal mustahil.
Tepat di bulan kelahiranku yang selalu aku anggap biasa saja, tanpa perayaan yang ingar-bingar, dan rasa syukur yang biasa pula, lelaki berkaca mata itu datang menjengukku setelah setahun penuh tak menemuiku. Lelaki itu datang tanpa persetujuan. Muncul dengan pemberitahuan yang tiba-tiba.
Lelaki berkaca mata yang memiliki paras bagus. Sepanjang sejarah aku memiliki kekasih, hanya ia lah, yang elok parasnya dan sedap dipandang mata. Badannya tegap. Dadanya bidang. Kulitnya sawo matang. Lengkung alisnya seperti bulan sabit. Hitam pula. Gadis mana yang hendak menolak memiliki kekasih sepertinya?
“Aku akan datang besok,” ia mengabariku melalui sms di suatu pagi yang sungguh teramat sibuk bagiku.
Aku tidak lekas membalas pesan itu. Masih menimbang apa yang sudah kuagendakan saat ia hendak datang. Tiga kegiatan sekaligus sedang menghimpitku. Itu berarti aku tak bisa menemuinya, menjamunya di ruang tamu, dan menemaninya menikmati kota ini.
“Jangan datang bulan ini. Aku masih memiliki banyak kegiatan. Bukankah kita sudah merencanakan pertemuan kita di penghujung tahun? Dan ini masih bulan sepuluh?” balasku melalui pesan singkat.
“Aku hanya perlu waktu sebentar saja untuk menemuimu. Akhir tahun aku sibuk mengerjakan laporan untuk kantorku. Aku tak mungkin menemuimu bulan Desember,” jawabnya.
Ia lelaki yang selalu cepat membalas pesan. Sementara aku adalah wanita yang teramat lambat membalas pesan. Ah, satu kebiasaan buruk yang sangat tidak disukainya. Aku masih di depan leptop, membuat materi untuk mengisi sebuah seminar tentang perdamaian. Di saat seperti inilah, keegoisanku muncul, bahwa waktuku tak mau kubagi dengan masalah perasaan. Biarkanlah, aku masih menganggap perasaan dan sebuah hubungan adalah hal yang remeh temeh dan tak perlu disikapi secara serius. Ada yang lebih serius untuk dipikirkan dan dilakukan. Memberikan pengetahuan kepada remaja yang hendak dewasa tentang pentingnya menjaga perdamaian melalui dialog lintas agama adalah lebih penting. Itulah yang sedang meliputi pikiranku saat itu.
“Bagaimana kalau di awal bulan sebelas saja?” Setelah beberapa jam berlalu baru aku membalasnya.
“Aku sibuk bulan itu.” secepat kilat ia langsung membalas pesanku. Kemudian disusul dengan pesan yang lain.
“Terserah kamu. Aku akan tetap datang. Aku hanya memerlukan waktu setengah jam. Aku akan menemuimu jam berapa pun kamu punya waktu. Aku ikut waktu luangmu.”
Pesan itu tidak aku balas lagi. Aku membalasnya sehari sebelum ia datang. Itu berarti saat ia sedang melakukan perjalanan ke kota ini.
“Jadi ke sini?”
“Iya.”
Saat itu aku hanya mengucapkan hati-hati di jalan. Dan akan menemuinya selepas Isa. Di mana kegiatanku baru saja selesai. Ia pun menyetujuinya.
*
Aku mengenakan kaos berwarna merah. Celana jeans warna hitam. Dan sandal teplek. Supel bukan? Aku memang tak senang dengah hal-hal ribet. Dan kesupelan inilah yang membuat ia suka padaku. “Kau tak seperti wanita pada umumnya yang hanya senang mengurusi kecantikan dirinya sendiri,” ia memujiku waktu itu.
Kami bertemu tepat jam 8 malam di sebuah kafe. Sebuah pertemuan yang dingin menurutku. Karena tak ada senyum sumringah dariku. Yang ada hanyalah senyum lelah yang bermakna kenapa kau datang di saat yang tidak tepat.
Pertemuan itu diawali dengan pertanyaan basa-basi. Pertanyaan seputar kesehatan. Kabar keluarga. Kondisi pekerjaan masing-masing. Tidak ada pertanyaan yang dijawab dengan sangat antusias. Semuanya hambar. Sungguh.
Bukankah telah lama kita menanam rindu? Dan seharusnya inilah waktu yang tepat untuk memanen rindu itu? Ah, membawa berita apakah pertemuan kita saat ini?
Aku memesan jus alpukat lengkap dengan taburan coklat. Ia memesan segelas cappuccino. Kami tengah meneguk minuman masing-masing sebelum akhirnya ia memulai pembicaaraan  yang serius.
“Maukah kau mengarungi hidup bersamaku. Dan menikah di bulan Mei tahun depan?”
Sebuah ajakan yang membuat kerongkonganku tercekat. Ini adalah sebuah ajakan yang terlalu mendadak. Menikah bukan perkara mudah. Bukan sebatas ijab qobul. Lalu satu sama lain menjadi pemilik syah masing-masing. Menikah perlu kematangan. Kematangan jiwa dan raga. Bukan aku tidak percaya akan kematangan jiwa dan raganya. Namun, aku meragukan kematangan jiwaku. Maksudku, bukan aku merasa belum matang, namun, ini terlalu tiba-tiba dan mendesak.
“Aku tak bisa menunggu terlalu lama. Desakan demi desakan selalu datang dari Ibu. Kali ini, aku tak ingin mengecewakan Ibu. Mengertilah.”
Sudah kukatakan aku tak suka dengan hal yang mendadak dan tiba-tiba. Adalah hal wajar jika aku tak mampu berkata-kata sedikit pun, sementara kau terus saja memburuku dengan rencana yang tak pernah kita sepakati. Kita hanya menyepakati sebuah pertemuan di penghujung tahun. Bahkan, hari ini pun, adalah hari yang tak kukehendaki bertemu denganmu.
Aku kembali meminum jus alpukat. Kupaksakan mereguk jus itu. Untuk sekedar membasahi tenggorokan yang sudah kering setelah mendengar ajakanmu.
“Usia. Ingatlah usiaku. Usiaku sudah tidak muda lagi.”
Ah, perkara usia. Aku tak pernah mempermasalahkan usia. Tentu menikah bukan hanya perkara usia. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tak mungkin hanya direncanakan dalam sebuah pertemuan yang tak memiliki persetujuan.
Keheningan menyergap tubuhku. Aku tak mampu berucap satu patah kata pun. Ia pergi tanpa suara dan dosa menggelayut di matanya.
*
Aku masih duduk terpaku. Memandang jalanan yang masih saja ramai. Ia sudah pergi setengah jam yang lalu. Sementara aku masih belum tersadar dari sesuatu yang mengagetkan. Aku tahu sekarang. Sebuah rindu yang kita tetaskan belum pada waktunya, akan menggoreskan luka.
Kau sama sekali tak memberiku waktu untuk berpikir. Kau benar. Kau hanya menemuiku setengah jam saja. Dan kau sudah merancang sendiri skenario pertemuan kita. Bahwa kau tak akan memberikan waktu sedikit pun untuk berpikir. Lalu perlahan kau menyebutkan nama perempuan yang telah kau pinang bersama Ibumu. Sungguh aku tak mau mengingat nama perempuan itu apalagi menuliskannya di sini. “Di bulan Mei, aku akan menikah dengannya,” kalimat itu terus saja terngiang di telingaku.
Ini masih bulan sepuluh. Kita telah merencanakan sebuah pertemuan di bulan dua belas jauh sebelum bulan sepuluh datang. Dan kau hendak menikah pada bulan ke lima di tahun yang akan datang. Lalu sejak kapan kau memutuskan untuk tidak menemuiku di bulan dua belas? Padahal sudah kusiapkan sebuah lipstick berwarna erah untuk pertemuan sakral kita. Untuk membalas rindu yang kian menderu.
*
Kegiatan-kegiatanku berjalan sesuai yang direncanakan. Aku masih bisa beraktivitas setelah malam yang mengagetkanku dan membuatku tercekat.
Butuh waktu satu minggu untuk menyadari sebuah luka yang telah menganga di dada. Iya. Satu minggu. Setelah semua kegiatanku berhasil ditunaikan. Dan aku mulai menikmati secangkir kopi di sudut ruangan. Sendiri. Mengingat setiap kata yang kau ucapkan malam lalu. Secara sengaja kau torehkan luka di dada yang telah kau busungkan sejak lama. Pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah harapan yang tak pantas diharapkan, apalagi ditunaikan.
Sekarang sebelum Mei benar-benar datang, izinkan aku menunaikan sebuah titah terakhir dari batinku. Menemuimu di persimpangan kota lalu berdoa agar Izroil datang. Mencabut nyawamu dengan cara yang teramat sadis sampai aku tak pernah mau membelalakkan mata melihat jasadmu. Lalu, akan kutuntaskan hidupku juga seperti Izroil mencabutmu.
Aku tahu ini memang di luar nalarmu. Tetapi keinginan itu terus menusuk kepala dan jantungku.
*

Warungjati, 09 Maret 2015

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !