WANITA LUKA

0
“Cungkil sebelah mataku, Piah, pasangkan pada lelaki buta ini,” perintah Miar.
“Agar ia dapat menikmati kecantikanku,” lanjutnya sembari melirik Jejen yang duduk gemetar.

Piah tak percaya dengan perintah majikannya. Mencungkil mata bukan pekerjaan mudah. Walaupun ia adalah dukun terkenal di desa itu. Tetapi mencungkil mata majikannya seperti hendak membunuh kecantikan Miar. Laiknya membunuh hasrat para lelaki yang datang melamarnya.
Tak ada satu pun lelaki yang absen untuk melamar Miar. Warisan kecantikan dari Dyah Pitaloka telah memanggil banyak lelaki untuk menghampirinya. Mencipta peperangan dalam biduk rumah tangga. Menggoda iman para suami berhidung belang. Membakar gairah para lelaki.
Apakah kecantikan adalah sebuah kutukan?
Perempuan-perempuan yang merasa pasangannya terenggut ke pangkuan Miar, seketika mereka ingin menyantet Miar. Membunuhnya. Melenyapkannya dari muka bumi. Menguburnya hidup-hidup. Atau menyajikan tubuh moleknya ke dalam sup di meja makan. Dinikmati bersama para suami mereka.
Ah, keinginan hanya sebatas keinginan. Itu semua tak akan terjadi. Piah, dukun sakti yang selalu setia pada Miar akan selalu menjaganya.
Apakah kecantikan adalah sebuah kutukan?
*
Mereka seperti musafir yang kehausan mencari mata air. Datang dari berbagai penjuru dan kalangan. Mencari mata air segar tak tertangguhkan di gurun sahara. Air seolah memancar sangat deras. Namun sayang, ia hanya sebatas khayalan. Pergi menjauh kembali. Lalu pergi. Pergi. Dan pergi.
Piah wanita paruh baya yang setia membukakan pintu rumah untuk para tamu yang datang. Mereka datang dengan gairah yang meleletup-letup. Wajah suka cita dan percaya diri memancar dari setiap sudut mata mereka. Namun sayang, pancaran sinar itu akan redup seketika, ketika Piah hendak memeriksa anu mereka.
Tak ada lelaki yang tak menginginkan meminang Miar, membina bahtera rumah tangga, memiliki anak yang cantik rupawan dan anak yang tampan menawan, hidup bahagia dalam limpahan harta dan kecantikan yang memabukkan. Itu adalah surga duniawi yang dibayangkan setiap pagi dan malam.
Miar hanya akan menemui mereka beberapa menit saja. Selebihnya mereka akan berhubungan dengan Piah. Para lelaki terlihat gugup dan salting. Ingin berunjuk gigi di depan putri cantik. Tetapi Miar hanya akan tesenyum menawan seperti secawan anggur yang menggairahkan.
Apakah itu terlalu angkuh untuk seorang wanita?
“Siapa namamu?” tanya Piah pada lelaki yang datang.
“Ikin.”
“Sudah berkeluarga?”
“Belum.” Wajah Piah menyimpan harapan besar ketika mendengar kata belum. Sinar matanya lebih tajam dari semula.
“Mari ikut saya ke dalam ruangan,” ajak Piah. Lelaki itu membuntuti Piah dari belakang.
“Buka celanamu,” perintahnya. Lelaki itu menurut tanpa membantah sedikit pun. Seperti sudah diberi mantra oleh Piah, lelaki manapun yang datang ke rumah itu, akan mematuhi semua perintah Piah selama pemeriksaan anu mereka. Sebagai syarat untuk dapat meminang Miar.
“Ah, kamu, berani-beraninya datang kemari dengan anu yang seperti ini. Kamu belum menikah, tetapi anu mu sudah bajred begini.”
Lelaki itu hanya meringis kesakitan. Lalu keluar ruangan dengan lunglai. Dan pergi.
“Siapa namamu?” tanya Piah pada lelaki berkemeja putih.
“Mumu.”
“Sudah berkeluarga?”
“Sudah, beristri baru satu, dan memiliki dua anak.”
“Astaga, kenapa kamu datang kemari? Apa yang membawamu datang untuk melamar majikanku?” Piah selalu tidak habis pikir pada lelaki seperti ini. Menikahi wanita sampai lebih dari satu. Apakah itu tidak menyayat hati wanita dan anaknya?
“Saya tidak akan memeriksa anu mu. Saya sudah tahu seperti apa. Silakan pergi  dan urus rumah tanggamu dengan baik.”
Lelaki itu memohon kepadanya untuk dapat melamar Piah.
“Saya mohon, saya melihat kejayaan di mata Miar dan kehidupannya jika ia menikah dengan saya. Walaupun ia menjadi istri kedua, tetapi kemakmuran akan menjadi miliknya. Saya mohon,” lelaki itu merajuk. Piah tetap teguh pada pendiriannya. Menyuruhnya keluar dan memintanya untuk tidak kembali lagi.
“Siapa namamu?”
“Cahyadi.”
“Sudah berkeluarga?”
“Baru bercerai.”
“Kamu duda? Kenapa bercerai?”
“Saat malam pertama, istri saya sudah tidak perawan. Entah siapa yang memerawaninya. Langsung saya talak saat itu juga.”
“Hanya karena itu? buka anu mu!”
“Heh kamu, jangan sok suci menjadi lelaki. Saya tahu, kamu tidak hanya sekali tidur dengan wanita sebelum menikah dengan istrimu. Apa kamu tidak sadar diri, heh?” Piah naik pitam melihat kelakuan lelaki ini. Rasa ingin membunuhnya seketika datang di dalam dadanya. Ingin memotong anu nya dan menjadikannya gantungan kunci, atau dicincang menjadi makanan untuk ayam-ayam di belakang rumah.
Begitulah, para lelaki itu datang dan pergi ke rumah Miar tanpa diundang. Tak ada kabar gembira yang diterima Miar setiap para lelaki itu melamar. Sejatinya Piah sudah putus asa untuk mencari lelaki yang masih pejaka. Namun, kesetiaannya, membunuh pesimisme dan membangkitkan keyakinan pada dirinya. Bahwa entah di penjuru dunia mana, ia pasti akan menemukan lelaki yang diinginkan Miar.
*
“Panggil Jejen ke sini, Piah,” perintah Miar pada Piah.
“Untuk apa neng Miar memanggil tetangga kita itu?” tanya Piah. Piah mendapatkan firasat buruk atas perintah itu.
“Periksa anunya dia, Piah. Sepertinya dia tidak pernah pergi ke manapun, selain pergi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.”
“Neng, pengen Jejen jadi suami Neng? Aduh Neng, jangan, masih ada lelaki lain. Selain ia buta, lihat rumahnya, hanya sepetak saja. Badannya bau karena jarang mandi. Sekalinya mandi itu pun di balong yang airnya keruh. Beda sama Neng mah.”
“Piah, lebih berharga mana Jejen dengan para lelaki yang datang setiap saat itu? Kamu tahu sendiri belangnya seperti apa.”
Piah terdiam. Mencerna apa yang diakatakan Miar. Memang benar. Tak ada satu pun lelaki yang ‘benar’ yang datang ke rumah Miar.
*
“Neng Miar, benar, dia masih pejaka. Bagaimana selanjutnya?”
“Aku ingin bicara dengannya.”
Piah bergegas ke rumah Jejen. Lelaki itu sedang tiduran di rumahnya. Ketika Piah mengetuk pintu, Jejen terperanjat kaget. Tanpa berbasa-basi, Piah langsung meminta Jejen untuk mengikutinya ke rumah Miar. Jejen yang tidak pernah memiliki ketertarikan pada Miar, langsung bertanya pada Piah, apa yang dikehendaki majikannya. 
“Ah, kamu banyak tanya.”
“Ayo ikuti aku saja.” Jejen mengikuti dengan langkah pelan dari belakang. Dengan membawa tongkat ia susuri jalan menuju rumah Miar.
Miar tengah duduk di ruang tamu saat Jejen datang. Ia meringis jijik. Aroma yang menguar dari tubuh Jejen begitu tidak enak. Ia belum mandi sejak seminggu yang lalu.
“Jejen, mandilah dulu sebelum ke mari.”
Ia hanya terdiam penuh kecemasan. Tak satu centimeter pun beranjak dari tempat duduknya. Miar tahu, keinginannya tak akan dipatuhi oleh Jejen saat itu. Lalu ia melanjutkan percakapan dengan Piah.
“Cungkil sebelah mataku, Piah, pasangkan pada lelaki buta ini.”
“Agar ia dapat melihat kecantikanku,” lanjut Miar pada Piah. Sementara Jejen duduk gemetar.
Ada raut ketidak setujuan di wajah Piah. Mencungkil mata Miar, dan memberikannya kepada lelaki buta ini, bukan langkah yang diharapkan. Bukankah masih bisa ia menggantikannya dengan mata yang lain? Selain akan mengurangi kecantikan alaminya, ia hanya akan dapat melihat dengan satu mata.  “Ah, wanita cantik dengan mata satu?” pikir Piah.
“Tak apa-apa, Piah, lakukan apa yang kuminta.”
Jejen meronta tak mau menanggalkan matanya untuk diganti degan mata Miar. Saat itu, Piah, mengeluarkan jampe-jampe  yang membuat Jejen terdiam.
*
“Apakah kau diciptakan Tuhan tanpa gairah untuk melihat wanita cantik sepertiku, Jen?”
“Apakah kau tidak ingin hidup bersamaku? Seperti mimpi para lelaki itu?”
“Apakah kau tidak ingin memecahkan selaput daraku yang selalu kujaga setiap waktu?”
Jejen terpaku di depan Miar. Tak meliriknya barang sekejap saja. Walaupun Miar telah memegang tangannya. Pandangannya lurus ke depan. melihat pepohonan menjulang tinggi. Melihat bunga-bunga penuh warna di depan rumah Miar. Sementara Miar, masih merayu dengan kesabaran penuh kepada Jejen.
Jejen mencoba menggunakan sebelah matanya dengan baik. Ia melihat berbagai macam warna di rumah Miar. Juga di luar.
Ia bertanya pada Miar. “Kenapa warna daun itu menjadi merah?”
“Kau bercanda Jejen. Tak ada daun yang berwarna merah. Daun-daun di depan rumahku hijau segar sepertiku.”
“Oh, warna cat rumahmu kuning? Sungguh warna yang menyilaukan mata.”
“Cat rumahku coklat, Jejen.”
Ia melirik pada Miar. Melihat Miar dengan seksama. “Miar betapa buruk rupanya kamu, bukannya kamu adalah wanita cantik yang selalu dikejar para lelaki?”
Miar terperanjat dengan yang diucapkan Jejen. Merasa dihina. Tak ada satu pun lelaki yang pernah mengatainya seperti itu.
“Piah, ambil cermin ke sini!”
Miar memperhatikan wajahnya dengan seksama. Tak ada yang berubah dengan paras cantiknya. Kulitnya masih kuning langsat. Hidungnya mancrit. Dagunya belah. Bulu matanya masih lentik. Lalu kenapa Jejen mengatakan ia buruk rupa?
“Jejen, lihat ke bawah. Apa warna tanah yang kamu injak?”
“Biru.”

Yogyakarta, 04 Februari 2014
*Cerpen ini dimuat di Koran Minggu Pagi Yogyakarta (Ferbruari 2015)

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !