“Cungkil sebelah mataku,
Piah, pasangkan pada lelaki buta ini,” perintah Miar.
“Agar ia dapat menikmati
kecantikanku,” lanjutnya sembari melirik Jejen yang duduk gemetar.
Piah tak percaya dengan
perintah majikannya. Mencungkil mata bukan pekerjaan mudah. Walaupun ia adalah
dukun terkenal di desa itu. Tetapi mencungkil mata majikannya seperti hendak
membunuh kecantikan Miar. Laiknya membunuh hasrat para lelaki yang datang
melamarnya.
Tak ada satu pun lelaki yang
absen untuk melamar Miar. Warisan kecantikan dari Dyah Pitaloka telah memanggil banyak lelaki untuk
menghampirinya. Mencipta peperangan dalam biduk rumah tangga. Menggoda iman
para suami berhidung belang. Membakar gairah para lelaki.
Apakah kecantikan adalah sebuah kutukan?
Perempuan-perempuan yang
merasa pasangannya terenggut ke pangkuan Miar, seketika mereka ingin menyantet
Miar. Membunuhnya. Melenyapkannya dari muka bumi. Menguburnya hidup-hidup. Atau
menyajikan tubuh moleknya ke dalam sup di meja makan. Dinikmati bersama para
suami mereka.
Ah, keinginan hanya sebatas
keinginan. Itu semua tak akan terjadi. Piah, dukun sakti yang selalu setia pada
Miar akan selalu menjaganya.
Apakah kecantikan adalah sebuah kutukan?
*
Mereka seperti musafir
yang kehausan mencari mata air. Datang dari berbagai penjuru dan kalangan.
Mencari mata air segar tak tertangguhkan di gurun sahara. Air seolah memancar
sangat deras. Namun sayang, ia hanya sebatas khayalan. Pergi menjauh kembali.
Lalu pergi. Pergi. Dan pergi.
Piah wanita paruh baya
yang setia membukakan pintu rumah untuk para tamu yang datang. Mereka datang
dengan gairah yang meleletup-letup. Wajah suka cita dan percaya diri memancar
dari setiap sudut mata mereka. Namun sayang, pancaran sinar itu akan redup
seketika, ketika Piah hendak memeriksa anu mereka.
Tak ada lelaki yang tak
menginginkan meminang Miar, membina bahtera rumah tangga, memiliki anak yang
cantik rupawan dan anak yang tampan menawan, hidup bahagia dalam limpahan harta
dan kecantikan yang memabukkan. Itu adalah surga duniawi yang dibayangkan
setiap pagi dan malam.
Miar hanya akan menemui
mereka beberapa menit saja. Selebihnya mereka akan berhubungan dengan Piah.
Para lelaki terlihat gugup dan salting. Ingin berunjuk gigi di depan
putri cantik. Tetapi Miar hanya akan tesenyum menawan seperti secawan anggur
yang menggairahkan.
Apakah itu terlalu
angkuh untuk seorang wanita?
“Siapa namamu?” tanya
Piah pada lelaki yang datang.
“Ikin.”
“Sudah berkeluarga?”
“Belum.” Wajah Piah
menyimpan harapan besar ketika mendengar kata belum. Sinar matanya lebih tajam
dari semula.
“Mari ikut saya ke
dalam ruangan,” ajak Piah. Lelaki itu membuntuti Piah dari belakang.
“Buka celanamu,”
perintahnya. Lelaki itu menurut tanpa membantah sedikit pun. Seperti sudah
diberi mantra oleh Piah, lelaki manapun yang datang ke rumah itu, akan mematuhi
semua perintah Piah selama pemeriksaan anu mereka. Sebagai syarat untuk
dapat meminang Miar.
“Ah, kamu,
berani-beraninya datang kemari dengan anu yang seperti ini. Kamu belum
menikah, tetapi anu mu sudah bajred begini.”
Lelaki itu hanya
meringis kesakitan. Lalu keluar ruangan dengan lunglai. Dan pergi.
“Siapa namamu?” tanya
Piah pada lelaki berkemeja putih.
“Mumu.”
“Sudah berkeluarga?”
“Sudah, beristri baru
satu, dan memiliki dua anak.”
“Astaga, kenapa kamu
datang kemari? Apa yang membawamu datang untuk melamar majikanku?” Piah selalu
tidak habis pikir pada lelaki seperti ini. Menikahi wanita sampai lebih dari
satu. Apakah itu tidak menyayat hati wanita dan anaknya?
“Saya tidak akan
memeriksa anu mu. Saya sudah tahu seperti apa. Silakan pergi dan urus rumah tanggamu dengan baik.”
Lelaki itu memohon
kepadanya untuk dapat melamar Piah.
“Saya mohon, saya
melihat kejayaan di mata Miar dan kehidupannya jika ia menikah dengan saya.
Walaupun ia menjadi istri kedua, tetapi kemakmuran akan menjadi miliknya. Saya
mohon,” lelaki itu merajuk. Piah tetap teguh pada pendiriannya. Menyuruhnya
keluar dan memintanya untuk tidak kembali lagi.
“Siapa namamu?”
“Cahyadi.”
“Sudah berkeluarga?”
“Baru bercerai.”
“Kamu duda? Kenapa
bercerai?”
“Saat malam pertama,
istri saya sudah tidak perawan. Entah siapa yang memerawaninya. Langsung saya
talak saat itu juga.”
“Hanya karena itu? buka
anu mu!”
“Heh kamu, jangan sok
suci menjadi lelaki. Saya tahu, kamu tidak hanya sekali tidur dengan wanita
sebelum menikah dengan istrimu. Apa kamu tidak sadar diri, heh?” Piah naik
pitam melihat kelakuan lelaki ini. Rasa ingin membunuhnya seketika datang di
dalam dadanya. Ingin memotong anu nya dan menjadikannya gantungan kunci,
atau dicincang menjadi makanan untuk ayam-ayam di belakang rumah.
Begitulah, para lelaki
itu datang dan pergi ke rumah Miar tanpa diundang. Tak ada kabar gembira yang
diterima Miar setiap para lelaki itu melamar. Sejatinya Piah sudah putus asa
untuk mencari lelaki yang masih pejaka. Namun, kesetiaannya, membunuh pesimisme
dan membangkitkan keyakinan pada dirinya. Bahwa entah di penjuru dunia mana, ia
pasti akan menemukan lelaki yang diinginkan Miar.
*
“Panggil Jejen ke sini,
Piah,” perintah Miar pada Piah.
“Untuk apa neng Miar
memanggil tetangga kita itu?” tanya Piah. Piah mendapatkan firasat buruk atas
perintah itu.
“Periksa anunya
dia, Piah. Sepertinya dia tidak pernah pergi ke manapun, selain pergi untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.”
“Neng, pengen Jejen
jadi suami Neng? Aduh Neng, jangan, masih ada lelaki lain. Selain ia buta,
lihat rumahnya, hanya sepetak saja. Badannya bau karena jarang mandi. Sekalinya
mandi itu pun di balong yang airnya keruh. Beda sama Neng mah.”
“Piah, lebih berharga
mana Jejen dengan para lelaki yang datang setiap saat itu? Kamu tahu sendiri
belangnya seperti apa.”
Piah terdiam. Mencerna
apa yang diakatakan Miar. Memang benar. Tak ada satu pun lelaki yang ‘benar’
yang datang ke rumah Miar.
*
“Neng Miar, benar, dia
masih pejaka. Bagaimana selanjutnya?”
“Aku ingin bicara
dengannya.”
Piah bergegas ke rumah
Jejen. Lelaki itu sedang tiduran di rumahnya. Ketika Piah mengetuk pintu, Jejen
terperanjat kaget. Tanpa berbasa-basi, Piah langsung meminta Jejen untuk
mengikutinya ke rumah Miar. Jejen yang tidak pernah memiliki ketertarikan pada
Miar, langsung bertanya pada Piah, apa yang dikehendaki majikannya.
“Ah, kamu banyak
tanya.”
“Ayo ikuti aku saja.” Jejen
mengikuti dengan langkah pelan dari belakang. Dengan membawa tongkat ia susuri
jalan menuju rumah Miar.
Miar tengah duduk di
ruang tamu saat Jejen datang. Ia meringis jijik. Aroma yang menguar dari tubuh
Jejen begitu tidak enak. Ia belum mandi sejak seminggu yang lalu.
“Jejen, mandilah dulu
sebelum ke mari.”
Ia hanya terdiam penuh
kecemasan. Tak satu centimeter pun beranjak dari tempat duduknya. Miar tahu,
keinginannya tak akan dipatuhi oleh Jejen saat itu. Lalu ia melanjutkan
percakapan dengan Piah.
“Cungkil sebelah
mataku, Piah, pasangkan pada lelaki buta ini.”
“Agar ia dapat melihat
kecantikanku,” lanjut Miar pada Piah. Sementara Jejen duduk gemetar.
Ada raut ketidak
setujuan di wajah Piah. Mencungkil mata Miar, dan memberikannya kepada lelaki
buta ini, bukan langkah yang diharapkan. Bukankah masih bisa ia menggantikannya
dengan mata yang lain? Selain akan mengurangi kecantikan alaminya, ia hanya
akan dapat melihat dengan satu mata. “Ah,
wanita cantik dengan mata satu?” pikir Piah.
“Tak apa-apa, Piah,
lakukan apa yang kuminta.”
Jejen meronta tak mau
menanggalkan matanya untuk diganti degan mata Miar. Saat itu, Piah,
mengeluarkan jampe-jampe yang
membuat Jejen terdiam.
*
“Apakah kau diciptakan
Tuhan tanpa gairah untuk melihat wanita cantik sepertiku, Jen?”
“Apakah kau tidak ingin
hidup bersamaku? Seperti mimpi para lelaki itu?”
“Apakah kau tidak ingin
memecahkan selaput daraku yang selalu kujaga setiap waktu?”
Jejen terpaku di depan
Miar. Tak meliriknya barang sekejap saja. Walaupun Miar telah memegang
tangannya. Pandangannya lurus ke depan. melihat pepohonan menjulang tinggi.
Melihat bunga-bunga penuh warna di depan rumah Miar. Sementara Miar, masih
merayu dengan kesabaran penuh kepada Jejen.
Jejen mencoba
menggunakan sebelah matanya dengan baik. Ia melihat berbagai macam warna di
rumah Miar. Juga di luar.
Ia bertanya pada Miar.
“Kenapa warna daun itu menjadi merah?”
“Kau bercanda Jejen.
Tak ada daun yang berwarna merah. Daun-daun di depan rumahku hijau segar
sepertiku.”
“Oh, warna cat rumahmu
kuning? Sungguh warna yang menyilaukan mata.”
“Cat rumahku coklat,
Jejen.”
Ia melirik pada Miar.
Melihat Miar dengan seksama. “Miar betapa buruk rupanya kamu, bukannya kamu
adalah wanita cantik yang selalu dikejar para lelaki?”
Miar terperanjat dengan
yang diucapkan Jejen. Merasa dihina. Tak ada satu pun lelaki yang pernah
mengatainya seperti itu.
“Piah, ambil cermin ke
sini!”
Miar memperhatikan
wajahnya dengan seksama. Tak ada yang berubah dengan paras cantiknya. Kulitnya
masih kuning langsat. Hidungnya mancrit. Dagunya belah. Bulu matanya masih
lentik. Lalu kenapa Jejen mengatakan ia buruk rupa?
“Jejen, lihat ke bawah.
Apa warna tanah yang kamu injak?”
“Biru.”
Yogyakarta,
04 Februari 2014
*Cerpen ini dimuat di
Koran Minggu Pagi Yogyakarta (Ferbruari 2015)