Bagiku, periode awal hingga pertengahan
kehamilan adalah masa yang paling berat. Semua tidak lain karena riwayat
darah rendah yang kuderita. Efeknya bisa macam-macam: pusing, lemas,
hingga bergetar tiba-tiba saat menjalani aktivitas. Harus kuakui, dampak
itu telah berhasil melumpuhkan total energiku. Hasil diagnosa
laboratorium juga menunjukan HB-ku di bawah normal, sehingga resiko
mengalami pendarahan saat melahirkan cukup tinggi.
Pernah di
satu pagi yang penuh energi, aku dan suami sarapan di luar rumah. Ya,
satu usaha untuk membunuh kebosanan di masa pandemi yang masih mengoyak.
Setelah merasa kenyang kami berbelanja kebutuhan bulanan. Tokonya dekat
sekali dengan warung makan tempat kami sarapan. Tak berselang lama,
saat suamiku antri di kasir, mataku berkunang-kunang. Segera aku mencari
tempat bersandar. Seketika nafas ngos-ngosan, keringat dingin keluar,
dan rasanya aku hampir roboh. Hampir tak sadarkan diri.
Informasi
yang aku dapatkan dan melekat dalam bayanganku tentang melahirkan
adalah proses melahirkan yang penuh kepanikan dan teriakan. Tentu saja
bayangan itu aku dapatkan dari paparan sinetron di teve. Hampir tidak
ada yang mempertontonkan proses kelahiran yang terencana dan dihadapi
dengan ketenangan.
Beruntung, teman-teman di sekitarku adalah
orang-orang yang menjalani kehamilan dengan proses pemberdayaan diri.
Jadi aku dapat mengikuti jejak mereka. Juga akses informasi yang sangat
mudah menuntunku untuk menemukan saluran edukatif untuk belajar dan
mempersiapkan kelahiran, serta menjalani kehamilan dengan menyenangkan.
Salah satu saluran yang jadi panduan selama kehamilan adalah situs www.ibupedia.com. Aku ikuti panduan persiapan melahirkan normal dari salah satu artikel bagus di sana: https://www.ibupedia.com/artikel/kehamilan/cara-melahirkan-normal-minim-trauma-begini-panduannya .
Di tengah kondisi itu, aku mulai mengelola pikiran dan membangun kepercayaan pada tubuh dengan meditasi dan afirmasi.
Selain
itu, mengikuti prenatal yoga juga banyak membantu. Aktivitas gerakan
fisik ini membantu melenturkan tubuhku, terutama panggul dan perenium,
(bagian tubuh terpenting dalam persalinan). Di samping itu aku juga
terbantu untuk mengelola pernafasan dan pikiran.
Aku berdialog
dengan tubuh dan janinku. Aku mengajaknya bekerja sama untuk proses
persalinan spontan yang membahagiakan: minim trauma dan rasa sakit.
"Halo
tubuhku. Halo jantungku, mari berdetaklah dengan stabil. Hai HB-ku,
mari meningkatlah sesuai dengan yang dibutuhkan. Janinku cukuplah kamu
dengan berat badan 2,7 - 2,8 kg. Tali pusarku baik-baiklah, jangan
menghalangi proses persalinan dengan lilitan. Ketubanku pecahlah di saat
yang tepat. Rasa mualku jangan kau datang saat proses persalinan, dan
ajakan-ajakan positif lain."
Ya,aku berdialog dengan tubuhku secara detail. Setiap hari. Dan hampir seluruh afirmasi terjawab saat proses persalinan.
Gelombang
cinta datang sore hari, jam 15.30. Aku merasakan gelombang cinta yang
semakin intens. Sudah 18 kali dalam sejam. Lalu aku putuskan untuk ke
RSKIA pukul 19.30. Sampai di sana, masuk IGD, dan ternyata sudah
pembukaan dua. Pukul 22.00 ketubanku akhirnya pecah di saat pembukaan
sembilan. Lalu si kecil lahir pukul 23:30 dengan berat badan 2.8 kg.
Selama
proses gelombang cinta datang, aku merasakan dan melepaskan rasa yang
datang. Masih lekat dalam ingatanku, aku menjalani ini dengan senyuman.
Ya, sebuah ekspresi bahagia yang direspons tubuhku. Tubuhku berjaga. HB
normal dan tidak disambangi rasa mual adalah proses yang sangat aku
syukuri.
Massage perenium juga aku lakukan sebagai usaha
maksimalku. Usaha suami? Tentu saja melakukan induksi alami di hari-hari
mendekati HPL.
Senang sekali melewati proses kehamilan dan
persalinan dengan pemberdayaan diri yang maksimal. "Terima kasih
tubuhku," sampaiku di kemudian hari. "Terima kasih telah mendengar dan
merespons afirmasiku dengan hampir sempurna. Kalian luar biasa cerdas."
Sungguh, tak ada yang membahagiakan selain serangkaian usaha dan doa yang bersambut.