Perjalanan dan Burung Ajo Kawir

0
Perjalanan menuju tanah rantau atau kembali ke kampung halaman selalu memberikan pengalaman yang berbeda. Kemana pun saya pergi pasti ada hal yang berbeda. Perbedaan itu terkadang menjadi pelajaran spiritual bagi saya: semacam merasakan kasih sayang Allah. Perjalanan mempertemukan saya dengan orang baik, licik, galak, ceroboh, dan lain sebagainya. Dan itulah keunikan dari sebuah perjalanan.

Setelah berlebaran di rumah bersama keluarga besar, kini saatnya saya harus kembali ke tanah rantau: Yogyakarta. Saya memilih mengambil perjalanan malam. Tepat jam 09.30 saya berangkat ke Yogyakarta bersama adik saya dengan menumpangi bus Budiman jurusan Tasik-Yogya. Saya duduk di kursi paling depan. Sudah lama saya ingin duduk di kursi paling depan. Alasannya simple. Supaya kalau mau turun dari bus saya tidak harus berjalan mendekat ke Pak Supir. Soalnya saya sering takut terjatuh kalau berjalan saat bus melaju kencang. Alasan lainnya saya bisa menikmati perjalanan, melihat bermacam-macam mobil yang melaju kencang, dan melanglang buana dalam imajinasi. Itu menyenangkan bagi saya.
Apa yang menyelimuti kepala saya saat itu? Saya sedang berfantasi pada salah satu tokoh dalam novel karya Eka Kurniawan. Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas. Ajo Kawir. Tokoh yang memilih jalan sunyi dan sepi setelah burungnya tak dapat berdiri. Burung menjadi guru paling bijak baginya. Ia belajar banyak hal dari sang burung.
“Kamu membayangkan burung Ajo Kawir, La?”
“Haha. Bukan. Bukan itu yang saya bayangkan. Saya membayangkan burung yang lain.”
Setelah menuai kekecewaan saat berumah tangga bersama Iteung, juga setelah ia keluar dari penjara karena membunuh Si Macan. Ajo Kawir pergi ke kota. Ia bekerja sebagai supir truk. Ia membeli truk dari hasil bayaran membunuh Si Macan. Ia mendapat uang banyak. Bersama keneknya Mono Ompong, ia mengarungi tanah Jawa dan Sumatra.
Bus Budiman melaju kencang dalam kesenyapan malam. Saya belum terlelap tidur. Mata saya masih awas melihat banyak mobil truk yang berjalan merayap di jalan. Truk-truk itu berjalan seperti siput yang sedang terkantuk-kantuk. Bus budiman berkali-kali menyalip banyak truk.
“Lantas burung yang mana, La?”
“Saya mencari-cari gambar burung di belakang truk Ajo Kawir.”
Tidak seperti gambar di truk-truk yang memasang gambar mesum, truk Ajo Kawir bergambar seekor burung yang sedang tertidur pulas, nyaris menyerupai burung mati, tulisan di atas burung itu adalah Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Saya mencari-cari truk Ajo Kawir. Siapa tahu malam itu ia sedang melakukan perjalanan menuju Surabaya atau Denpasar. Iya. Jika saya menemukan truk itu di jalanan, saya akan berhenti dulu, bertanya apakah sang supir bernama Ajo Kawir? Bagaimana kabar burung Anda? Apakah Anda marah pada ‘tuhan’ Anda? Penulis adalah tuhan bagi karyanya. Jika jawabannya buka Ajo Kawir, saya akan bertanya apakah kamu tahu Eka Kurniawan? Apakah Anda membaca sebuah novel yang memiliki judul dan bergambar sama seperti gambar di belakang truk Anda? Atau jangan-jangan Anda Eka Kurniawan?
Sepertinya setiap kali melakukan perjalanan itu, saya akan terus mencari gambar truk Ajo Kawir. Iya. Saya jamin.
*
Empat jam perjalanan pertama saya asik dengan imajinasi saya, empat jam terakhir saya dibuat jantungan oleh Pak Supir. Pasalnya, ia mengendarai bus dalam keadaan ngantuk. Kali pertama ia salah belok dan mobil membentur sesuatu. Entah apa. tetapi goyangannya terasa sampai seisi bus. Penumpang panik. Kali kedua, bus akan tabrakan dengan truk. Bukan truk Ajo Kawir tentunya. Kali ketiga, mobil oleng.
Hah. Saat itu saya tak henti merapal doa. Membaca dua syahadat dan mencoba merasakan malaikat Izroil mencabut nyawa saya dari ujung kaki. Belum terasa apa-apa. Tetapi sungguh saya takut. Benar-benar takut. Saya merasa nyawa saya akan hilang malam itu. Saya mencoba mengira-mengira jika terjadi kecelakaan, sepertinya yang rusak hanya mobil bagian Pak Supir duduk saja. Saya sudah bersiap-siap untuk menutup kepala saya dengan tas jika kecelakaan itu terjadi, supaya kepala saya terjaga. Dan saya tidak apa-apa. Ah, setiap kali melewati jembatan yang panjangnya sekitar lebih kurang 20-30 meter, perasaan takut saya menjadi-jadi. Lalu berpikir jika bus ini terjatuh ke jurang, maka tidak ada kesempatan selamat. Pikiran buruk merajai kepala saya.
Saya lirik adik saya, ia tertidur. Juga penumpang lelaki yang di kursi sebelah. Dan beberapa penumpang lainnya. Sebenarnya saya ingin menyuruh Pak Supir berhenti. Tidur barang sepuluh-dua puluh menit. Lalu berangkat lagi. Saya tidak mau nyawa saya melayang karena kelalaian Supir bus. Pak Supir semakin ngantuk. Ia meminta kondekturnya untuk bangun. Mencarikan fresh car untuknya. Menyalakan rokok, dan minum air aqua. Tetapi kantuk selalu menyerangnya. Pak Supir bilang “Geus dua poe urang kieu, aya karuhun datang kitu?”.[1]
Ia melafalkan kalimat istigfar, takbir, dan tak lupa anjing ia sebut-sebut juga. Sembari meraba-raba kepalanya, dan membunyikan kakiknya ke dasar bus. Membuat berisik. Dan Pak Supir terlihat sangat tidak tenang. Sesekali ia juga mengecrek-ngecrek mulutnya. Saya tahu. Itu sebagai usaha untuk menghilangkan ngantuk. Karena saya benar-benar tidak tenang, saya bangunkan kondektur busnya, dengan menyentuh punggungnya. Saya bilang kepadanya jangan tidur, ajak Supir ngobrol, saya takut. Eh terdengar tawa bapak-bapak dari belakang, juga supir. Setelah itu, kondektur dan supir ngobrol sampai terminal Giwangan. Akhrinya perjalanan selesai. Saya tiba di Yogya jam 05.30 pagi dengan selamat. Malaikat Izroil tidak jadi mengambil nyawa saya dan nyawa seluruh penumpang bus Budiman. Malam itu, kasih sayang Allah menyelimuti seluruh isi penumpang bus. Alhamdulillah.
Yogya, 16 Agustus 14




[1] Sudah dua hari saya begini, jangan-jangan ada sesepuh dia yang sudah meninggal datang kepadanya. Bahasa Sunda.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !