Perjalanan
menuju tanah rantau atau kembali ke kampung halaman selalu memberikan
pengalaman yang berbeda. Kemana pun saya pergi pasti ada hal yang berbeda.
Perbedaan itu terkadang menjadi pelajaran spiritual bagi saya: semacam
merasakan kasih sayang Allah. Perjalanan mempertemukan saya dengan orang baik,
licik, galak, ceroboh, dan lain sebagainya. Dan itulah keunikan dari sebuah
perjalanan.
Setelah
berlebaran di rumah bersama keluarga besar, kini saatnya saya harus kembali ke
tanah rantau: Yogyakarta. Saya memilih mengambil perjalanan malam. Tepat jam
09.30 saya berangkat ke Yogyakarta bersama adik saya dengan menumpangi bus
Budiman jurusan Tasik-Yogya. Saya duduk di kursi paling depan. Sudah lama saya
ingin duduk di kursi paling depan. Alasannya simple. Supaya kalau mau turun
dari bus saya tidak harus berjalan mendekat ke Pak Supir. Soalnya saya sering
takut terjatuh kalau berjalan saat bus melaju kencang. Alasan lainnya saya bisa
menikmati perjalanan, melihat bermacam-macam mobil yang melaju kencang, dan
melanglang buana dalam imajinasi. Itu menyenangkan bagi saya.
Apa yang
menyelimuti kepala saya saat itu? Saya sedang berfantasi pada salah satu tokoh
dalam novel karya Eka Kurniawan. Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas.
Ajo Kawir. Tokoh yang memilih jalan sunyi dan sepi setelah burungnya tak dapat
berdiri. Burung menjadi guru paling bijak baginya. Ia belajar banyak hal dari
sang burung.
“Kamu
membayangkan burung Ajo Kawir, La?”
“Haha. Bukan.
Bukan itu yang saya bayangkan. Saya membayangkan burung yang lain.”
Setelah menuai
kekecewaan saat berumah tangga bersama Iteung, juga setelah ia keluar dari
penjara karena membunuh Si Macan. Ajo Kawir pergi ke kota. Ia bekerja sebagai supir
truk. Ia membeli truk dari hasil bayaran membunuh Si Macan. Ia mendapat uang
banyak. Bersama keneknya Mono Ompong, ia mengarungi tanah Jawa dan Sumatra.
Bus Budiman
melaju kencang dalam kesenyapan malam. Saya belum terlelap tidur. Mata saya
masih awas melihat banyak mobil truk yang berjalan merayap di jalan. Truk-truk
itu berjalan seperti siput yang sedang terkantuk-kantuk. Bus budiman
berkali-kali menyalip banyak truk.
“Lantas burung
yang mana, La?”
“Saya
mencari-cari gambar burung di belakang truk Ajo Kawir.”
Tidak seperti
gambar di truk-truk yang memasang gambar mesum, truk Ajo Kawir bergambar seekor
burung yang sedang tertidur pulas, nyaris menyerupai burung mati, tulisan di
atas burung itu adalah Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Saya
mencari-cari truk Ajo Kawir. Siapa tahu malam itu ia sedang melakukan
perjalanan menuju Surabaya atau Denpasar. Iya. Jika saya menemukan truk itu di
jalanan, saya akan berhenti dulu, bertanya apakah sang supir bernama Ajo Kawir?
Bagaimana kabar burung Anda? Apakah Anda marah pada ‘tuhan’ Anda? Penulis
adalah tuhan bagi karyanya. Jika jawabannya buka Ajo Kawir, saya akan bertanya
apakah kamu tahu Eka Kurniawan? Apakah Anda membaca sebuah novel yang memiliki judul
dan bergambar sama seperti gambar di belakang truk Anda? Atau jangan-jangan Anda Eka Kurniawan?
Sepertinya
setiap kali melakukan perjalanan itu, saya akan terus mencari gambar truk Ajo
Kawir. Iya. Saya jamin.
*
Empat jam
perjalanan pertama saya asik dengan imajinasi saya, empat jam terakhir saya
dibuat jantungan oleh Pak Supir. Pasalnya, ia mengendarai bus dalam keadaan ngantuk.
Kali pertama ia salah belok dan mobil membentur sesuatu. Entah apa. tetapi
goyangannya terasa sampai seisi bus. Penumpang panik. Kali kedua, bus akan
tabrakan dengan truk. Bukan truk Ajo Kawir tentunya. Kali ketiga, mobil oleng.
Hah. Saat itu
saya tak henti merapal doa. Membaca dua syahadat dan mencoba merasakan malaikat
Izroil mencabut nyawa saya dari ujung kaki. Belum terasa apa-apa. Tetapi
sungguh saya takut. Benar-benar takut. Saya merasa nyawa saya akan hilang malam
itu. Saya mencoba mengira-mengira jika terjadi kecelakaan, sepertinya yang
rusak hanya mobil bagian Pak Supir duduk saja. Saya sudah bersiap-siap untuk
menutup kepala saya dengan tas jika kecelakaan itu terjadi, supaya kepala saya
terjaga. Dan saya tidak apa-apa. Ah, setiap kali melewati jembatan yang
panjangnya sekitar lebih kurang 20-30 meter, perasaan takut saya menjadi-jadi.
Lalu berpikir jika bus ini terjatuh ke jurang, maka tidak ada kesempatan
selamat. Pikiran buruk merajai kepala saya.
Saya lirik adik
saya, ia tertidur. Juga penumpang lelaki yang di kursi sebelah. Dan beberapa
penumpang lainnya. Sebenarnya saya ingin menyuruh Pak Supir berhenti. Tidur
barang sepuluh-dua puluh menit. Lalu berangkat lagi. Saya tidak mau nyawa saya
melayang karena kelalaian Supir bus. Pak Supir semakin ngantuk. Ia meminta
kondekturnya untuk bangun. Mencarikan fresh car untuknya. Menyalakan rokok, dan
minum air aqua. Tetapi kantuk selalu menyerangnya. Pak Supir bilang “Geus
dua poe urang kieu, aya karuhun datang kitu?”.[1]
Ia melafalkan
kalimat istigfar, takbir, dan tak lupa anjing ia sebut-sebut juga. Sembari
meraba-raba kepalanya, dan membunyikan kakiknya ke dasar bus. Membuat berisik.
Dan Pak Supir terlihat sangat tidak tenang. Sesekali ia juga mengecrek-ngecrek
mulutnya. Saya tahu. Itu sebagai usaha untuk menghilangkan ngantuk. Karena
saya benar-benar tidak tenang, saya bangunkan kondektur busnya, dengan
menyentuh punggungnya. Saya bilang kepadanya jangan tidur, ajak Supir ngobrol,
saya takut. Eh terdengar tawa bapak-bapak dari belakang, juga supir. Setelah
itu, kondektur dan supir ngobrol sampai terminal Giwangan. Akhrinya perjalanan
selesai. Saya tiba di Yogya jam 05.30 pagi dengan selamat. Malaikat Izroil
tidak jadi mengambil nyawa saya dan nyawa seluruh penumpang bus Budiman. Malam
itu, kasih sayang Allah menyelimuti seluruh isi penumpang bus. Alhamdulillah.
Yogya, 16
Agustus 14
[1] Sudah dua hari
saya begini, jangan-jangan ada sesepuh dia yang sudah meninggal datang
kepadanya. Bahasa Sunda.