Sabtu. Akhir
pekan. Bahagia.
‘Apa yang kamu
kerjakan Sabtu kemarin, La?’
‘Baca buku
bareng sama Rinda.’
Rinda teman
saya yang suka manggil orang seenaknya: oncom, kambing, odong. Kalau lagi sama
dia jangan harap kamu akan dipanggil dengan namamu. Dia bisa mengubah nama
orang tanpa seijin yang punya dan tanpa mengadakan syukuran tumpeng. Wkwkwk.
‘Haha. Hidupmu,
La, gak asik banget. Akhir pekan jalan-jalan dong.’
‘Ini akhir
pekan yang keren tahu. Kita baca buku di Benteng Vredeberg: Musium Sejarah.’
Sudah dari tiga
hari yang lalu, saya mengajak Rinda untuk menghabiskan hari Sabtu dengan
membaca novel bersama. Dugaan saya benar. Rinda menyambut hangat tawaran saya.
Jam Sembilan
pagi, Rinda sudah nongol di pintu kamar saya.
‘Eh ontime, Rin?’
hehe saya bergegas memakai jilbab.
‘Odong. Uda
insap kali. Lu miscal-miscal kirain udah siap.’ Rinda memasang wajah BT.
Sementara saya bercermin sambil cengar-cengir. Hehehe.
Lima menit
kemudian, saya dan Rinda sudah berada di atas motor.
Dengan hati
senang dan berbinar-binar (lebay deh) saya dan Rinda meluncur menuju benteng
Vredeberg dengan mengendarai motor plat BH. Hehe. Saking bersemangatnya kami
untuk pergi ke sana, kami sampai lupa harus meminjam buku dulu ke rental buku
Cendekia. Untung belum jauh, balik arah deh ke Cendekia. Rencananya saya ingin
membaca novel karya Sidney Sheldon. Ah, tapi sayang keinginan itu harus kandas
karena ternyata Cendekia tutup. Akhirnya saya putuskan saja untuk membaca
Journey to Iran: Bukan Jalan-jalan Biasa karya Dina Y Sulaeman. Sementara Rinda
akan menghabiskan novel Toto Chan.
Sepanjang
perjalanan menuju benteng, kami asik membicarakan novel Toto Chan. Memang bisa
dikatakan sangat terlambat, baru sekarang membaca novel legendaris itu. Sebuah novel
yang menceritakan sistem pendidikan humanis. Sebuah novel yang wajib dibaca
oleh anak pendidikan (saya lupa mendapatkan anjuran itu dari catatan siapa).
Dan menurut saya, novel ini pun wajib dibaca oleh ibu-ibu rumah tangga. Karena
dalam novel ini, kita akan mendapati bagaimana caranya untuk mendidik anak
kecil yang hiperaktif. Menarik. Keren.
Membaca novel ini ketika sudah dewasa, membawa
kita kembali pada masa lalu, sebuah masa di mana kita sering menangis, tertawa,
nakal, cerdas dan dimarahi Mama. Selain itu, kalian juga akan tertawa
terbahak-bahak membayangkan setiap tingkah Toto Chan, anak perempuan yang
sangat hiperaktip, akan menemukan orang tua yang cerdas dalam mendidik anak,
dan guru yang hebat yang mencetak setiap anak didiknya menjadi dirinya sendiri.
Dan setelah itu, bagi kalian yang biasa merenung, barangkali kalian akan berpikir
ada yang tidak beres dengan cara mendidik anak di rumah oleh para ibu, dan juga
di sekolah kalian dahulu. Lalu kalian pun akan berpikir bagaimana caranya
mengubah itu? Mendirikan sekolah baru? Ah, Indonesia sudah memiliki banyak
sekolah.
Jam setengah
sepuluh pagi. Benteng ini masih sepi. Hanya beberapa orang saja yang
lalu-lalang. Kami memilih tempat duduk yang menghadap ke taman. Di depan
diorama 1 kalau saya tidak silap. Hehe.
‘Eh enak yah
baca di sini adem.’ Kata saya.
‘Emang, makanya
kuajak kamu ke sini.’
‘Ah,
besok-besok kalau aku lagi bosen di kos dan perpus kota, aku baca di sini aja
yah.’
Rinda asik
dengan novel Toto Chan, dan saya tenggelam membayangkan kemegahan negara Iran.
Angin semilir menggoyangkan dedaun di depan kami. Burung-burung kecil hinggap
di rumput hijau. Air putih dan kue pai menemani aktivitas akhir pekan kami pagi
itu.
*
Journey to
Iran. Sudah lama saya ingin membaca buku ini. Kenapa? Setelah dua kali
mengikuti seminar tentang Iran di UIN Sunan Kalijaga, ketertarikan saya untuk
mengetahui negara ini lebih besar. Seminar pertama membahas tentang bagaimana
sastra di Iran, yang menjadi pemateri adalah Dubes Iran untuk Indonesia,
sementara seminar kedua membahas tentang hubungan Iran-Indonesia, yang menjadi
pemateri adalah Dubes Indonesia untuk Iran.
Dalam buku ini,
imajinasi kalian akan terbang ke negara Iran. Penulis menyuguhkan tempat wisata
Iran, budaya Iran, kemegahan Iran, dan kalian akan mengetahui kalau di sana
Islam Suni dan Islam Syiah dapat hidup aman dan berdampingan. Tidak hanya
Islam, kaum Zoroaster yang terdapat di kota Yazd pun dapat hidup damai dengan
sesama penduduk Iran tanpa melihat latar belakang agama dan budaya. Zoroaster adalah
sebutan internasional untuk pengikuti agama Zardtust (nama ‘nabi’ dalam agama
mereka). Kita mengenalnya sebagai Majusi. Orang Majusi dikenal sebagai
penyembah api. Tetapi dalam buku ini, kita dapat menemukan fakta lain, mereka
sebenarnya tidak menyembah api melainkan menyembah ‘tuhan’ bernama Ahura Mazda,
zat gaib yang tidak bisa dicerap pancaindera. Adapun api itu sendiri, dianggap
sebagai unsur alam paling unggul dibandingkan unsur-unsur lainnya, seperti air,
tanah, dan udara. Oleh karena itu, di setiap tempat ibadah yang bernama
Atashkadeh, mereka selalu menyalakan api sebagai bentuk penghormatan kepada api
itu sendiri. (Hal 171).
Ada yang
menarik dengan kaum Zoroaster ini. Mereka memiliki etos kerja yang baik. Etos
kerja tersebut bersumber dari dasar agama mereka yang terangkum dalam tiga kata
yaitu ‘Berpikir baik, berucap baik, dan berprilaku baik.’ Mereka
meyakini bahwa kalau semua orang mengamalkan ketiga hal tersebut dunia akan
aman, tenteram, damai, dan sentosa. Berdasarkan analisa penulis buku ini, konsep
itu membuat kaum Zoroaster Iran dapat hidup berdampingan dengan kaum muslim dan
menerima pemerintahan Islam. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang jarang
bermasalah secara sosial, menjauhi sikap-sikap korupsi, bertutur santun, dan berprilaku
sopan. (Hal 173). Nah loh, terbuktikan setiap agama mengajarkan kebaikan. Saya
langsung berpikir apakabar Islam di Indonesia? Kenapa selalu saja ada
pertentangan dan permusuhan dengan Islam Syiah dan Ahmadiyah?
Iran sangat
menghargai para pahlawan yang mengorbankan jiwanya untuk kemerdekaan. Para
pahlawan yang masih hidup diberi tunjangan untuk hidup layak, anak cucunya
dapat masuk kuliah tanpa harus tes masuk terlebih dahulu, dan mereka sangat
dihormati dan dihargai. Lebih dari itu, Iran pun sangat menghargai para
sastrawan, ilmuwan, arsitek, dan filsuf. Bentuk penghargaan yang mereka berikan
adalah dengan membangun makam yang megah dan indah, seperti makam Imam Ar-Ridho
di Mashad, makam penyair Omar Khayyam dan Attar Nesyhaburi, dan pelukis Kamalul
Mulk di Nesyhabur. Makam ini banyak dikunjungi para peziarah.
Selain itu,
banyak juga tempat wisata di Iran, seperti Air terjun buatan di Shoustar,
gunung setan di kawasan Lahejan, termasuk beberapa tempat ibadah kaum
Zoroaster. Oh iya, ada satu kesamaan antara orang Jawa dan Iran. Sama-sama
senang berbasa-basi. Kalimat basa-basi bertamu di Iran jika sang tamu
membawakan hadiah untuk tuan rumah: ‘Mengapa kalian bersusah payah?’ kata
si pemilik rumah, maka si tamu menjawab ‘tidak ada yang susah payah, hadiah
ini tidak pantas untuk anda.’ Ini merupakan salah satu budaya Iran yang
senantiasa merendah saat member hadiah. Kalau di Jawa begini: ‘Kok
repot-repot bawa makanan segala’ sembari si tuan rumah membawa makanan dari
tamu ke dapur, dan kita akan menanggapinya ‘eh enggak kok enggak. Cuma
sedikit.’
Ada banyak lagi
pengetahuan yang bisa kita dapatkan tentang Iran di buku ini. Jika tertarik
membaca silahkan cari buku ini. Bacalah dan Selamat Jalan-jalan. Saya
direkomendasikan membaca buku ini dari Bu Nafisah, Kakak saya di Yogya.
‘Gimana menarik
bukan akhir pekan saya?’
‘Iya deh, La,
menarik. Akhir pekan minggu depan ngapain La?’
‘Belum tahu,
belum ada rencana. Mau ngajak jalan-jalan? Boleh-boleh biar saya catat di
jadwal saya.’ Hehe.
Matahari semakin tinggi. Tempat ini semakin ramai oleh muda-mudi yang berlalu-lalang: Pacaran. Foto Selfie. Perut saya sudah mulai lapar. Dan kita memutuskan untuk makan ayam geprek di sakti. hmm yummi.
Matahari semakin tinggi. Tempat ini semakin ramai oleh muda-mudi yang berlalu-lalang: Pacaran. Foto Selfie. Perut saya sudah mulai lapar. Dan kita memutuskan untuk makan ayam geprek di sakti. hmm yummi.
Yogyakarta,
24 Agustus 2014