Sastra Romo Mangun

0
Mengawali perjalanan tahun baru 2014, pada tanggal 4 Januari 2014 komunitas sastra Rudal mengadakan diskusi rutin kajian tokoh tentang Romo Mangunwijaya yang mempunyai nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, ia lahir pada tanggal 6 Mei. Diskusi rutin ini berlangsung kurang lebih dua jam, dari jam 15.30-17.30.

Diskusi ini dimoderatori oleh Racheem, dan Djuma sebagai pemantik. Saya sendiri sebagai peserta sekaligus pendengar setia diskusi ini. Ada banyak hal yang disampaikan pemantik, moderator, juga teman-teman dalam diskusi ini. Di antaranya tentang teks ‘gelap’ Romo Mangun dalam karya-karyanya, ia yang mempunyai ciri khas membuat kalimat yang panjang bahkan bisa sampai satu lembar lebih, dan Romo Mangun yang piawai menuliskan suara-suara alam seperti suara burung, suara derit pintu, dan lain-lain.
Di antara yang disebutkan di atas, telah menimbulkan banyak pertanyaan. Kenapa Romo Mangun mengawali sebuah ceritanya dengan teks gelap atau Romo Mangun biasa menyebutnya dengan Prawayang (lihat Durga Umayi dan Burung-Burung Manyar? Dan berkaitan dengan Romo Mangun yang piawai menuliskan suara-suara alam, ada praduga bahwa Romo Mangun pun bisa menuliskan suara-suara yang timbul ketika dua insan sedang bersetubuh.
Saat ini, saya sedang memegang sebuah buku berjudul Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya yang diterbitkan Kompas. Saya membaca salah satu sub bab dari buku ini tentang Romo Mangun dan Kanon Sastra Keindonesiaan yang ditulis oleh Ayu Utami penulis novel Saman yang menjuarai lomba menulis Dewan Kesenian Jakarta 1998. Sama halnya dengan Pemantik, Ayu Utami pun membahas tentang teks gelap (Prawayang). Akan tetapi Utami mencoba melihat teks gelap ini tidak hanya sebatas teks yang tak mampu dipahami oleh kebanyakan orang, lebih dari itu, Utami mengatakan bahwa Romo Mangun dengan teks gelapnya mengajak kita untuk melihat kompleksitas.
Berbeda dengan penulis yang lain, yang mengawali alinea pertama sebuah karya dengan kalimat-kalimat yang menggugah dan memikat, Romo Mangun mengawali novel-novelnya dengan teks gelap (prawayang). Ia menggunakan tradisi lisan wayang dalam dunia kepenulisan sastra. Sehingga kita sebagai pembaca akan dapat memahami dengan cepat novel-novel Mangun jika kita merupakan penikmat wayang.
Menjawab pertanyaan di atas perihal teks gelap Romo Mangun, Utami mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang membuat Romo Mangun menulis dengan gaya seperti itu melalui teks-teks sastra yang lainnya yang mempengaruhi pengarang. Utami mengutip satu buah ayat dari kitab kejadian 1: 1 tentang penciptaan bumi dan langit yang diciptakan ketika gelap gulita menutupi samudra raya. Utami memaknai bahwa dalam gelaplah kehidupan bermula. Jika Romo Mangun mengalegorikan sebuah karya sastra sebagai bumi dan langit, sementara Romo Mangun adalah Tuhan maka adalah benar jika ia menciptakan sebuah kegelapan terlebih dahulu dalam proses penciptaanya untuk membangun kehidupan.
Selanjutnya Utami melihat itu adalah sebagai suatu strategi untuk mengenang tradisi lisan masa lalu yang intim (entah hal ini dipikirkan terlebih dahulu atau secara intuitif). Pertunjukan wayang hanya bisa diadakan dalam jarak pandang manusia. Para penikmat wayang tidak bisa menyaksikan dan menikmati wayang dalam jarak dan ruang yang berbeda dengan pertunjukan wayang berlangsung. Inilah yang membentuk keintiman manusia-manusia dengan tradisi lisan. Dan ia merindukan keintiman di tengah modernitas sekarang. Berbeda dengan televisi yang bisa dinimkati di manapun dan oleh siapa pun.
Teks gelap atau prawayang hadir sebagi kritik atas modernitas. “Prawayang adalah kritik atas modernitas instrumentalis kita yang menginginkan segala yang cerah, bersih, dan manis.” Begitu terang Utami dalam tulisannya.
Dalam karyanya yang berjudul Durga Umayi, ia memperkenalkan tokoh seorang gadis cantik mulia bernama Pertiwi yang diperkosa oleh pasukan NEFIS. Ia kehilangan kemurniannya dan harus berhadapan dengan dunia yang kejam, sehingga ia bisa bertahan dengan memakai bahasa kekuasaan dan manipulasi pula. Ia merasa menjelma menjadi Durga setelah dalam perang harus membunuh seorang serdadu Gurka. Novel ini bisa dibaca sebagai alegori. Pertiwi adalah Indonesia, yang suci murni sebelum penjajah tiba. Kolonialisme, modernitas, kapitalisme, militerisme memperkosa tanah perawan ini sehingga ia harus menjelma Reksesi Durga untuk bertahan hidup. Barangkali dari teks tersebut, kita dapat menemukan kemungkinan kritik atas modernitas oleh Romo Mangun dalam teks pembuka “Prawayang.”
Adapun tentang seks dan perempuan, Romo Mangun begitu menghargai perempuan dengan keindahan tubuhnya sebagai wadah penerus kehidupan. Semua tokoh perempuan yang dibangun oleh Romo Mangun merupakan perempuan-perempuan yang tidak malu akan tubuhnya. Mereka bangga akan payudara mereka yang baru kuncup maupun yang telah subur mneyusui anak.
Seks, dalam karya Romo  Mangun tak pernah muncul dalam wajah iblisnya. Nah, hal ini bisa menjawab tentang praduga bahwa Romo Mangun akan menuliskan suara-sura yang timbul ketika bersetubuh (seks). Kalau saya pribadi melihat pendapat di atas, bahwa Romo Mangun tidak akan menuliskan suara-suara itu, kenapa? Karena itu merupakan bentuk eksploitasi tak senonoh terhadap seks, sensualitas, dan perempuan. Romo Mangun di sini mencoba menghadirkan seks dan sensualitas dengan cara yang sehat. Begitulah kira-kira.

*Diolah dari tulisan Ayu Utami. 

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !