Tiba-tiba Saja Ingatan Ini Kembali

0
Sabtu, 4 Januari 2014, saya mengikuti sebuah diskusi sastra di komunitas Rudal. Akhir-akhir ini memang saya mencoba rutin datang dan berdiskusi bersama teman-teman di sana. Tema yang diangkat dalam diskusi kemarin adalah tentang Rama Mangunwijaya, seorang sastrawan, arsitektur, tokoh pendidikan, tokoh lingkungan, dan pastor (agamawan). Diskusi saat itu cukup menarik bagi saya, dan  mengispirasi diri saya untuk bertindak nyata terhadap lingkungan sekitar, tidak hanya cukup dengan berkata-kata saja. Di sini, saya tidak akan berbiacara lebih jauh tentang Mangunwijaya. Tetapi ada yang hal tiba-tiba datang dalam pikiran saya ihwal masa lalu bersama teman saya ketika diskusi sastra berlangsung.

Begini, empat tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku Aliyah (setingkat dengan SMA), saya mempunyai teman dekat bernama Shofa Fauziah Nur Islami. Saya memanggilnya Shofa atau Fha. Kami sering bertukar pikiran, menceritakan tentang mimpi, membaca bersama, bermain bersama, berjalan-jalan bersama, makan bersama, dan banyak aktivitas yang kami lakukan bersama. Saat menginjak kelas tiga Aliyah, kami mulai bingung mencari kampus untuk melanjutkan belajar kami. Tetapi kebingungan itu tak begitu menyita pikiran kami. Justru kebingungan itu mengantarkan kami pada asumsi bahwa anak kuliahan selalu pintar berbicara di depan orang banyak dengan baik dan rapi. Lantas kekaguman menyergapi kami pada para mahasiswa yang cerdas-cerdas itu. Tentu saja, kami juga bermimpi kelak akan menjadi mahasiswa seperti itu, bahkan lebih dari itu.
“Fha, ingatkah tentang ini?”
Sekarang saat aku kuliah di Yogyakarta, dan sedikit banyak memperhatikan tingkah polah kebanyakan mahasiswa, saya melihat sebuah fenomena yang berhubungan dengan para mahasiswa yang pandai berbicara di depan orang  itu.
“Fha, ketahuilah bahwa tidak semua mahasiswa pandai berbcara di depan umum. Mereka yang pandai berbicara adalah mereka yang membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Selain kesibukan mahasiswa yang telah aku sebutkan, percayalah, mereka tak akan mampu berbicara di depan umum dengan baik dan memukau (meminjam istilah bu Nafis).”
Banyak sekali mahasiswa di luar sana yang tidak membaca, tidak menulis, tidak berdiskusi, dan tidak berorganisasi. Inilah yang membuat orang-orang tidak pandai. Hal ini berimbas pada kualitas mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi. Untuk lingkup yang lebih besar, hal ini berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kita menjadi bangsa yang tidak cerdas. Kita menjadi bangsa yang terlena akan modernitas. Kita tak sadar sejatinya kita sedang di jajah kembali dalam bentuk yang lebih halus. Sehingga yang ada di benak kita adalah bagaimana caranya mempunyai handphone keluaran terbaru, bagaimana caranya mengikuti model Korean yang sedang booming sekarang, bagaimana caranya memiliki kendaraan yang bagus, karena dengan memiliki kendaraan, handphone, Ipad, gadget seolah-olah akan meningkatkan kelas sosial kita di masyarakat. Setiap orang berusaha memperkaya diri barang-barang itu semua. Contoh kecil yang beberapa hari ini saya temui adalah sebuah keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah (bekerja sebagai tukang cuci) memiliki tiga kendaraan beroda dua di rumahnya, disesuaikan dengan jumlah kepala yang ada di keluarga itu. Ah ini gila. Padahal di luar sudah terjadi kemacetan yang luar bisa.
Begitulah mental para penjajah. Dan kita benar-benar menjadi masyarakat yang konsumtif sekali. Semua negara yang memproduksi barang-barang elektronik, kendaraan, pakaian dan masih banyak lagi, menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk mereka. Kita memang pelanggan yang baik bagi mereka.
Dan sekarang, yang ada di benak kita bukan tentang bagaimana caranya memperkaya inteklual kita, bagaimana caranya mengetahui sejarah bangsa, sehingga tidak akan keliru membedakan siapa sejatinya yang benar-benar menjadi pahlawan bagi bangsa kita, bagaimana caranya membeli buku-buku terbaru, bagaimana caranya dapat menggunakan waktu dengan membaca dan menulis, dan mengerjakan hal-hal lain yang lebih bermanfaat.

Akhirnya, seringkali aku berpikir seperti ini, apalah gunanya kita memakai pakaian yang bagus, mengikuti trend dan model sekarang, bersepatu dengan hak tinggi, jika otak kita tidak berisi ilmu pengetahuan. Untuk apalah kita mempunyai blackberry, ipad, gadget, jika hanya digunakan untuk membuka facebook dan twiter, menulis status, berkeluh kesah, dan hanya mengupload foto kalau kita tidak cerdas. Itu semua percuma. Yang terpenting ada di isi kepala. Isi kepala kita haruslah ilmu, ilmu, dan ilmu. Dan tugas kita adalah membaca, membaca, dan membaca.
06 Januari 2014

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !