Para Wisudawan Harus Belajar pada Kasim Arifin

1
Beberapa minggu lalu, saat perayaan wisuda di gelar di UIN Sunan Kalijaga periode pertama untuk tahun 2013/2014, saya melewati kampus dengan sedikit terheran-heran. Tidak sadar bahwa hari itu adalah hari yang dinantikan banyak mahasiswa. Mungkin dinantikan oleh saya, mungkin juga tidak.

Saat itu, saya berhenti sejenak menikmati pemandangan para wanita yang sudah memakai pakaian kebesarannya, kebaya,  tentunya sudah memakai beragam make-up untuk mempercantik wajahnya, hiasan kerudung yang beranaeka macam, juga high heels atau wedges. Itulah seperangkat seragam yang seperti menjadi sebuah kewajiban untuk dipakai saat perayaan wisuda. Entah siapa yang melegalkan pakaian tersebut. Dan tahu tidak, biaya yang dihabiskan untuk mempercantik diri itu bisa mencapai lima ratus ribu rupiah. Itu bisa lebih. Untuk laki-laki saya pikir lebih simple, cukup memakai kemeja putih, jas hitam, celana hitam, dan sepatu. Yah tak perlu ke salon terlebih dahulu.
Pada hari perayaan itu, ada beberapa temanku yang di wisuda. Hebat mereka bisa merampungkan belajar secepat itu. Adakah saya iri dengan itu semua? Entah sebenarnya bagaimana perasaan saya saat itu, iri atau tidak itu tidak penting. Tetapi saat itu saya benar-benar tidak tertarik untuk melaksanakan wisuda. Atau bagaimana yah kalimat yang tepat untuk mewakili perasaan saya. Hmmm hati saya tidak tergugah untuk melakukan perayaan wisuda. Mungkin kurang lebih seperti itu.
Ada hal yang lebih urgen daripada sekedar perayaan wisuda. Proses dan hasil. Bagaimana sejatinya proses mereka belajar di kampus, apa hasil yang mereka dapatkan sehingga pantas untuk dirayakan sebegitu megahnya. Apa yang akan mereka lakukan setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana kemampuan mereka terkait dengan spesifikasi keilmuan yang mereka ambil saat memutuskan untuk kuliah? Apa yang akan mereka lakukan untuk masyarakat sekitar? Apakah skripsi mereka telah benar-benar memberikan kontribusi keilmuan untuk perkembangan ilmu pengetahuan kita? Jangan-jangan skripsinya hanya menyontek judul skripsi yang telah lama, kemudian hanya diganti objek penelitiannya, atau waktu penelitiannya saja. Wah benar-benar gawat kalau itu terjadi. Kampus hanya menghasilkan sarjana plagiat saja.

Sepertinya kita harus belajar kepada seorang petani di Waimital, Pulau Seram bernama Muhammad Kasim Arifin. Sosok Kasim Arifin diabadikan oleh Taufiq Ismail dalam sebuah puisi berjudul Syair untuk Seorang Petani di Waimital, Pulau Seram, yang pada Hari Ini Pulang ke Almamaternya.
Kasim Arifin adalah sosok yang sangat sederhana, penuh keikhlasan, dan pekerja keras. Bila boleh saya menambahi ia adalah sosok yang tidak gila akan gelar yang sebatas formalitas. Saat ia akan merampungkan kuliahnya, ia melaksanakan tugas akhir selama tiga bulan kerja praktek pertanian di daerah sebagai syarat meraih gelar insinyur pertanian. Tetapi setelah berakhir tiga bulan itu, ia tidak pulang-pulang selama lima belas tahun. Ia mengabdi kepada masyarakat di sana, memanfaatkan ilmu yang ia dapatkan selama belajar di IPB (dulu Universitas Indonesia, Bogor). Ia membimbing petani dengan berkeliling sekitar sawah-sawah dan ladang, memberi petunjuk teknis, tanpa memikirkan gaji. Ia memberi contoh kepada masyarakat bersawah, berladang, dan beternak memelihara sapi. Ia mengajar anak-anak kampung, mengajarkan logika, matematika, dan membaca. Berkat Kasim Waimital menjadi makmur.
Selama kurun waktu lima belas tahun itu, dua kali Kasim dipanggil untuk melaksankan wisuda oleh seseorang yang diutus oleh rektor IPB, tetapi ia tidak mau. Untuk ketiga kalinya baru ia mau kembali ke Bogor setelah rektor IPB mengutus sahabatnya Saleh Widodo. Kenapa ia tidak mau kembali ke Bogor? Ia menjawab gelar itu adalah pengakuan terhadap ilmu yang diberikan Almamaternya, untuk selanjutnya di praktekkan. Nah kata kuncinya adalah praktek.  Bagaimana jika setelah mendapatkan gelar sarjana tetapi tidak dapat mempraktekkan ilmu yang di dapatkan di kampus? Pemberian gelar itu akan percuma saja.
Berikut saya cantumkan penggalan puisi Taufiq Ismail.
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari huran rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya.
Di sini, saya tidak bermaksud menghakimi para mahasiswa yang sudah wisuda. Saya hanya menulis dan kemudian semoga menjadi perenungan bersama untuk kita semua., termasuk diri saya sendiri.

*Kisah dan puisi tentang Kasim Arifin saya dapatkan dari majalah Horison edisi Agustus 2013
06 Januari 2014


Tags

Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !