CLEO 2.0, PHOENIX, DAN MALAM PUISI

0

Sembari menunggu adik saya pulang dari latihan Teater, dan menikmati lelah yang masih terasa, saya ingin bercerita sedikit tentang apa saja yang tiba-tiba hinggap di kepala saya malam ini.

Pertama tentang sepeda Polygon Cleo 2.0. Sepeda yang membuat saya jatuh cinta, merana, sekaligus patah hati karena dompet ini tak mampu membeli. Harga barunya 3,4 juta. Pertama kali saya jatuh cinta pada Cleo ketika saya menemukannya di Toko Bagus, sebuah situs pasar dunia maya yang ramai dengan iklan jual beli barang bekas ataupun baru. Saat itu, saya dan Zaki-teman saya yang membantu  mencarikan sepeda- menemukan gambar Cleo berwarna dasar putih dipadukan dengan warna pink. Cantik sekali. Di situ tertera harga 2 juta, nomor telepon penjual beserta alamt email, serta nama kota: Jogja kota yang menunjukan keberadaan penjual sepeda itu. Agak murah dari harga barunya karena sudah bekas, baru dipakai lima bulan kalau tidak salah. Saya benar-benar tertarik, lantas saya menghubungi nomor telepon yang tertera di iklan Toko Bagus itu. Setelah tawar menawar harga melalui handphone, akhirnya penjual itu memberikan harga 1,7 juta. Walaupun sebenarnya uang saya tidak mencukupi saat itu, tapi saya berniat untuk mengambil uang tabungan saya sebagian untuk menambah uang jatah membeli sepeda dari orang tua (Sejatinya saya sudah malu meminta uang kepada orang tua, tapi bagaimana lagi, tangan saya belum mampu menghasilkan rupiah untuk sekedar mencukupi kehidupan saya di Jogja). Setelah saya tanyakan alamat rumahnya ternyata penjual dan sepeda itu berada di Bengkulu. Kontan saya kaget bukan main, iklan yang tertera di situ adalah kota Jogjakarta, kenapa berubah menjadi Bengkulu. Saat itu, ia menawarkan untuk mengirimkan barang lewat TIKI. Dan saya beserta Zaki, sudah mempunyai firasat buruk. Ini semacam penipuan. Berhati-hatilah! Saat itu, saya tidak jadi membeli Cleo 2.0. Cleo 2.0 yang masih terbayang-bayang di pelupuk mata saya. Aih. Cantik sekali kau Cleo.
Setelah beberapa hari saya konsen dengan proposal penelitian saya, saya kembali mencari Cleo 2.0 yang saya idamkan itu. Ada. Bekas. Saat dihubungi penjualnya, ternyata sudah terjual. Kandas sudah harapan saya untuk memiliki Cleo 2.0. Dengan berat hati, saya harus berpaling pada sepeda yang lain.
Kedua, Malam ini, di kamar saya, sudah berdiri sebuah sepeda lipat bermerk Phoenix warna hitam yang saya beli tadi sore. Ini baru. Harganya lebih murah dari Cleo baru dan bekas. Memang lebih irit. Dan uang dari orang tua saya bisa tersisa, lumayan untuk membayar uang spp semester delapan nanti. Saya memang belum jatuh cinta pada Phoenix. Tetapi setidaknya malam ini, Phoenix sudah menemani dan mengantarkan saya ke Taman Budaya Yogyakarta untuk menghadiri pesta puisi akhir tahun. Menyimak para penyair nusantara membacakan puisinya dengan bahasa daerah masing-masing. Ada bahasa Jawa, Ngapak yang diwakili oleh mas Dimaz dari Brebes, Madura yang diwakili oleh mas Marsus Banjarbarat, Makassar yang diwakili oleh mas Aswar, dan Jambi. Saya cukup senang, karena saya bisa menikmati kegiatan sastra ini. Sudah lama saya ingin menikmati kegiatan-kegiatan seperti ini. Dan menikmati suasana Jogjakarta di malam hari.
Ketiga, tentang hal yang saya dapatkan malam ini dari refleksi akhir tahun sastra Indonesia yang disampaikan oleh mas Joni Ariadinata bahwa, puisi dan penyair adalah penyangga peradaban negeri ini. Jika tidak ada penyair maka tamatlah riwayat peradaban dan sejarah negeri ini. Tak ada yang mengabadikan lewat kata. Penyair adalah pemilik kata yang penuh makna.
Menurut saya seseorang yang mengabdikan diri untuk sastra adalah orang yang benar-benar mempunyai kerendahan hati, dan baik budi, karena menjadi seorang sastrawan, penyair ataupun cerpenis, tak ada jaminan rupiah yang berlimpah. Mereka menulis atas dasar kepedulian, kepedulian pada setiap hal yang terjadi setiap detik di negeri ini.
Tadi, Mas Joni pun membacakan sebuah puisi karya pak Sam (saya lupa nama panjangnya) yang berjudul Cahaya Pangan (kalau tidak salah, duuh ingatan saya begitu buruk rupanya). Beliau pun memanggil pak Sam ke atas panggung, sedikit berbincang-bincang tentang kenapa ia menulis. Pak Sam menjadikan puisi sebagai alat komunikasi kepada teman-teman. Puisi lah yang membuat pak Sam bisa bertemu dengan teman-teman pak Sam, yang tentunya teman-temannya juga para penyair, tetapi saya tidak tahu pasti akan hal itu. Pak Sam adalah seorang penjual mie ayam yang menjadi penyair. Keren bukan? Tidak kalah dengan mahasiswa-mahasiswa? Bahkan bisa jadi mahasiswa yang mendapatkan beragam ilmu di kampus, juga membayar spp dengan harga cukup mahal, kalah keren dan kalah berkarya dengan pak Sam. Banyak loh mahasiswa yang hanya sekedar kuliah dan pulang kos, tidak membaca, juga tidak menulis. Maka dari itu, kita sebagai orang yang dianggap sebagai kaum intelekual harus benar-benar berilmu, harus cerdas, dan harus bergerak untuk diri sendiri dan untuk lingkungan sekitar.
Kiranya, sekian dulu tulisan pengantar tidur ini. adik saya sudah pulang. Dan saya ingin istirahat. Tetapi sebelum benar-benar diakhiri, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada orang tua saya, yang uangnya sudah saya gunakan untuk membeli sepeda. Dalam hati terdalam saya, ada niat untuk mengembalikan uang ini. Artinya saya hanya meminjam, yang entah untuk berapa lama. Saya berharap kepada Tuhan semoga memberikan jalan dan kelancaran untuk rezeki saya. Amin. Juga terimakasih saya ucapkan kepada mas Matroni dan Mas Umam yang bersedia  bersepeda bersama dengan saya ke TBY.
Baik sudah dini hari. Saya ingin tidur. Saya akhiri tulisan ini.
Selamat malam.
Jogjakarta, 30 Desember 2013

1.20 WIB

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !