Pantai Kuta Saat Senja
Pantai Kuta. Tempat itulah yang pertama saya kunjungi bersama
Irawan (Kendari) dan Hasbi (Makassar), dua teman yang baru saja saya kenal
beberapa jam yang lalu, tetapi kami sudah bersepakat untuk jalan-jalan bersama di
awal perkenalan kami. Dari Badan pendidikan dan Pelatihan Bali-tempat kami
menginap dan berlangsungnya acara- yang terletak di jalan Hayam Wuruk kami
bertiga menuju pantai Kuta. Irawan dan saya menggunakan taksi, sementara Hasbi
menggunakan motor milik panitia. Perjalanan dari tempat penginapan menuju
Pantai Kuta kurang lebih empat puluh lima menit. Dan biaya taksi menghabiskan
sekitar Rp 100.000 satu kali perjalanan. Jadi jika pulang pergi ongkos untuk
pergi ke Pantai Kuta dari sini sekitar Rp 200.000. wow jumlah yang lumayan
tidak sedikit menurutku. (kalau di Jogja bisa dipakai untuk uang makan sekitar
dua minggu) hehehe. Hei ini Bali bukan Yogya.
Kami tiba di pantai Kuta sekitar jam setengah lima WITA. Cuaca sore
di pantai ini masih lumayan panas dan ramai sekali oleh pengunjung dari
berabagai kota juga Negara.
Romantis. Indah. Bersih. Ramai. Itulah kata yang bisa aku ungkapkan
untuk pantai ini, walaupun tentunya keempat kata tersebut belum mewakili
semuanya. Romantis dan Indah. Karena memang saya senang dengan suasana pantai
menjelang senja. Ada matari yang hendak pulang ke tempat peraduannya, juga
cahaya kuning yang dilahirkannya menyatu dengan laut bersama angin dan menjelma
menjadi ombak yang bermain bersama pasir dan batu karang.
Selalu. Selalu saya kembali berhayal dan bermimpi. Bergandengan tangan
bersama seorang laki-laki yang saya cintai, menikmati senja di pantai, menikmati
matari yang hendak pulang, dan menyusuri bibir pantai bersama sampai sama-sama
merasa lelah, bersandar, lalu minum bersama, sembari berbincang tentang
mimpi-mimpi. ah. Ela. Saya seperti tak akan pernah lelah bermimpi.
Bersih dan ramai. Bagi saya pantai ini lumayan bersih di tengah
keramaian yang luar biasa. Saya sempat berpikir, kenapa pantai ini masih bersih
yah, padahal pengunjungnya banyak sekali, dari berbagai kota di Indonesia juga
dari berbagai Negara yang cukup mendominasi pantai ini. Saya menduga ‘mungkin
karena kebanyakan pengunjung dari luar negeri dan mereka terbiasa untuk tidak
membuang sampah sembarangan. Juga orang luar negeri memang lebih mudah diatur
dalam hal kebersihan tepatnya membuang sampah. Berbeda dengan orang Indonesia
sendiri yang kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungannya masih sangat
rendah. Di beberapa pantai yang pernah saya kunjungi dan di sana tidak di
dominasi oleh orang bule, keadaan pantainya sangat kotor, sampah berserakan di
mana-mana, mencemari keindahan dan kebersihan pantai.’ Hm itu hanya praduga
saja.
Ada satu kata yang ingin saya katakana di balik semua keindahan
pantai Kuta. Asing. Bagi saya pantai Kuta asing. Bukan seperti Indonesia,
kenapa? Karena orang bule banyak berkeliaran di sini dengan berbagai macam
bikininya. Dengan berbagai polah saat mereka berjemur dan lain sebagainya. Saya
merasa warga pribumi ‘tidak terlihat’ lagi di sini. Entahlah. Mungkin karena
orang bule secara garis wajah dan ketinggian badan lebih bagus dari orang
Indonesia, dan orang Indonesia, kita memang harus sama-sama mengakui bahwa
garis wajah, ketinggian badan , juga warna kulit berbeda dengan mereka. Mereka terlihat
lebih menarik dibanding kita. (dalam ketidak-relaan mengatakan itu). Tetapi itulah
kenyataaannya. Mungkin disebabkan karena itulah saya merasa asing dan hanya
melihat orang Indonesia segelintir saja di pantai ini. entahlah, saya berada
dalam sebuah kegalauan. Antara harus senang Karena patai Kuta menjadi salah
satu Icon Indonesia yang banyak menarik minat para bule atau bersedih karena
keberadaan orang bule di sini seperti menyisihkan masyarakat pribumi juga
budaya Indonesia sendiri.
Bali. 23.55 WITA