Begini, di awal tulisan ini saya akan tuliskan terlebih dahulu apa
yang melatarbelakangi saya menuliskan judul di atas. Saat ini saya sedang
praktik mengajar di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta. Sudah berkali-kali
saya mengajar dengan persiapan penuh dan satu kali mengajar tanpa persiapan
apapun. Dan sudah beberapa kali juga mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
sekolah yang melibatkan siswa, guru, dan juga saya. Ada banyak hal yang saya
lihat dan amati. Pertama tentang kesadaran berpendidikan, kedua kesadaran
belajar siswa, ketiga kesadaran diri untuk mengetahui, dan menggali ilmu apapun
tanpa membeda-bedakan satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Di sini saya akan mengatakan bahwa kesadaran menempuh pendidikan
Sembilan tahun di Negara kita memang sudah cukup tinggi untuk masayrakat yang
tinggal di perkotaan, atau pun pinggir perkotaan. Akan tetapi di tengah-tengah
aktifitas saya seperti menemukan celah untuk terpaksa mengatakan bahwa
kesadaran belajar dan kesadaran diri untuk mengetahui, menggali berbagai ilmu
pengetahuan sangatlah rendah.
Kenapa saya bisa mengatakan begitu? Baik saya jelaskan. Ketika saya
mengajar bahasa Arab di kelas dua belas, ketika proses pembelajaran itu
berlangsung saya mengajak siswa untuk bersama-sama mengerjakan soal latihan
yang sudah diamanatkan oleh guru senior saya. Tetapi apa yang terjadi pada
mereka? Tak ada satu pun yang mau mengerjakan soal-soal tersebut. Jumlah siswa
berkisar dua puluh lima. Sehingga saya memutuskan untuk mengajak mereka
mengerjakan satu soal dikerjakan untuk satu baris. Jumlah baris di kelas itu
ada empat baris. Tetap saja mereka tidak mau. Mereka memilih untuk bercanda,
bergosip, dan lain sebagainya. Saya bimbing mereka satu persatu pun masih saja
sangat sulit untuk mengerjakan soal-soal itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
gak usah belajar saja Kak. Saya menghela nafas, dan merasa sangat prihatin.
Bagaimana mungkin Bumi Pertiwi kita mempunyai genersi muda seperti ini? Apa
yang akan terjadi sepuluh tahun ke depan? Negara kita seperti terkena kutukan
yang sangat menyeramkan, entah dari mana kutukan itu datang.
Mungkin kalian ragu, jangan-jangan diri saya yang tiak bisa
mengajak mereka unutk belajar? Tidak, hal ini tidak terjadi pada diri saya
saja, tetapi teman-teman praktik yang lain pun mengeluhkan hal yang sama,
bahkan pada sebuah pertemuan bersama guru-guru ada salah seoang guru yang
menagtakan bahwa ‘mereka sudah datang ke sekolah saja, sudah untung mba, kalian
di kelas tak akan diperhatikan, tak usah menyiapkan bahan pelajaran dengan
begitu sempurna, kalian di kelas hanya akan di godain saja.’ Saya maklumi jika
kami hanya akan di godain saja, tetapi saya yakin itu hanya akan terjadi di
awal perkenalan, dan saya pun menyadari sebagai mahasiswa yang baru saja
praktik mengajar. Tetapi jika masalahnya seperti ini, apa saya pun masih harus
menganggap hal ini wajar?
Adalah tugas seorang guru harus mencerdaskan siswa-siswinya. Semua
orang tahu itu. Tetapi mungkin sebagian orang belum tahu bahwa di sini siswa
pun harus ikut mencerdaskan guru. Dengan cara apa? Dengan cara siswa-siswi
banyak membaca, banyak mencari tentang ilmu pengetahuan, apa pun itu, sehingga
ketika proses pembelajaran berlangsung akan terjadi sebuah pembelajaran dua
arah. Pertama guru kepada siswa, kedua siswa kepada guru. Jika siswa-siswi
sudah memiliki tingkat kecerdasan dan keingintahuan, dan bertanya banyak hal
kepada guru maka dengan otomatis seorang guru pun akan lebih bnayak membaca,
dan mencari. Tidak hanya meyiapkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) saja,
dan membaca bahan pelajaran yang ada di LKS (lembar kerja siswa) saja, tetapi
membaca banyak hal. Kepada siapa itu semua dipersembahkan? Untuk diri kita
sendiri dan untuk siswa. Dan persembahan yang lebih luhur lagi adalah untuk
Negara kita yang sangat kita cintai: Indonesia.
Jika keadaan siswa seperti yang sudah di jelaskan di atas, maka
pembelajaran dua arah itu tak akan terjadi. Guru akan mengalami stagnasi
pemikiran. Stagnasi belajar. Dan siswa hanyalah siswa, hanyalah siswa yang
memakai seragam di pagi hari, berangkat ke sekolah menggunakan motor juga
sepeda, setelah itu pulang. Di sekolah hanya bertemu teman-teman, ngobrol dan
mencuekan guru. Sebenarnya di balik seragam yang mereka kenakan ada beban
pengetahuan yang mereka pangku. Mereka harus sadar benar akan hal itu. Begitu
pun dengan guru guru yang baik wajib
membaca buku setiap hari sebagai asupan wajib untuk pengetahuannya.
Baik tapi mungkin kurang bijak kiranya jika saya seolah menyalahkan
siswa-siswi. Di sini adalah kewajiban pertama seorang guru untuk mengembalikan
kesadaran siswa untuk belajar, mencari, dan menggali ilmu pengetahuan apapun
itu. Kiranya guru tak boleh berputus asa untuk selalu mengajak siswa-siswinya
belajar. Kepada guru selamat mencerdaskan para generasi bangsa.