‘Dari Hamsad Rangkuti aku belajar mengolah ide liar, dari AA Navis
aku belajar diksi.’
Kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Bibir dalam Pispot
dan juga kumpulan cerpen AA Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami sudah
khatam saya baca dalam Minggu ini. Menemukan kumpulan cerpen dua penulis besar
seperti mendapatkan hujan di sebuah desa yang gersang. Tak berpikir dua kali
untuk membacanya, langsung saya pinjam ke Ibu Ani, petugas perpustakaan yang
baik. Basah sudah hati dan pikiran saya membacanya. Otak saya seperti diberi
asupan gizi yang luar biasa berkualitas.
Tak jemu saya membaca dua kumpulan cerpen itu. Hamsad Rangkuti
secara blak-blakan membagi pengalamannya dalam mencipta sebuah karya. Ia seroang
penglamun luar biasa. Ia biasa menghabiskan waktu melamun di atas pohon dan
menghabiskan malam bersama Ayahnya yang senang bercerita, berbagi dongeng
kepadanya. Malam adalah milik Hamsad Rangkuti.
Kedalaman ide seorang Hamsad memang luar biasa. Dalam cerpennya
yang berjdul Antena ia mengisahkan tentag seorang takmir mesjid yang dapat
menunaikan ibadah haji setelah bertemu seseorang yang menjelma sebagai Lailatul
Qodar. Iya tokoh itu bernama Lailatu Qadar. Lailatul Qodar bertanya tentang
pekerjaan takmir mesjid itu, juga menanyakan apakah sudah pernah ke Makkah atau
belum. Tak berapa lama ada seseorang yang datang menemui takmir mesjid itu,
kepentingannya hanya satu, mengurusi administrasi takmir mesjid itu untuk pergi
ke tanah suci. Orang-orang mempercai bahwa takmir mesjid itu mendapatkan
Lailatul Qadar.
Kemudian dalam judul cerpen Wedang Jahe. Betapa piawainya Hamsad
dalam mengolah ide cerpen ini. Ia mencoba mengahadirkan Indonesia ketika jaman
panjajahan di sebuah desa. Aku lupa desa apa. Kalau tidak salah ada di Jawa
Timur. Suasana itu dapat dirasakan ketika menjelang malam. Semua orang kampung
tak mau keluar rumah jika langit sudah gelap. Semua mematikan lampu. Toko ditutup
cepat. tak ada angkutan umum yang beroperasi malam itu, kecuali angkutan umum
yang kebagian piket malam. Suasan desa itu begitu mencekam. Persis ketika masa
penjajahan dulu. Semua warga desa ini dibuat tidak sadar dengan minuman wedang
jahe panas yang dicampur dengan arang panas. Mereka kehilangan kesadaran saat
malam hari, dan itu seperi disengaja. Tetapi semua orang melakukannya. Ah jika
ingin puas membaca ceritanya, baca saja buku kumpulan cerpennya.
Yang jelas dalam cerpen-cerpennya saya menemukan cerita-cerita yang
segar. Dan saya belajar bagaimana mengolah ide. Memang ide kita harus liar. Tak
boleh biasa-biasa saja.
Dari kumpulan cerpen AA Navis saya menemukan kepiawaian beliau
dalam merangkai kata, membangun diksi, mencipta makna yang luar biasa. Saya betah
membacanya. Saya catat diksi-diksi yang baru. Saya cari maknanya di kamus bahasa Indonesia. Begitu luar biasa.
Indah. Indah. Indah. Diksi yang dibangunya mempunyai keindahan luar
biasa. Membuat yang membaca sadar bahwa bahasa Indonesia sangat kaya akan
diksi. Diksi yang indah. Saya belajar bahwa jika ingin menjadi penulis besar
maka haruslah mempunyai kepandaian dalam memilih diksi yang terdapat dalam
kamus bahasa Indonesia. Dengan diksi-diksi yang dihadirkan, sungguh saya
terpesona pada karya AA Navis.
Sekarang di tangan saya ada sebuah kumcer NH Dini. Seorang sastrawati
Indonesia yang belum ada tandingannya. Bukunya berjudul Monumen. Dari cerpen-cerpennya
saya belajar tentang realita kehidupan. Karena beberapa cerpen NH Dini diambil
dari kisah nyata. Saat saya membaca cerpen berjudul Yustina saya belajar
kewajiban seorang intelektualis, pengusaha, dan siapapun itu untuk mampu
mencerdaskan keturunannya. Tak diperkenankan baginya untuk meninggakan
keturuannnya dalam keadaan dungu dan bodoh, hanya dapat berpangku tangan, dan
hanya menikmati harta orang tuanya. Itulah permasalahan yang muncul di Negara kita.
Para pengusaha kaya raya banyak yang membiarkan anak-anaknya bermalas-malasan
saja. Dalam cerita itu dikatakan bahwa Indonesia menjadi Negara miskin dan
tidak berkembang karena kesalahan dari penduduknya sendiri. Kesadaran utnuk
memberikan ilmu kepada orang lain masih sangatlah rendah, karena berpikiran
kalau memberikan ilmu kepada orang lain, maka orang lain itu akan menajdi
saingan kita, dan akan mengalahkan kita ketika dalam dunia kerja, dan lain
sebagainya. Di sini saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk memberikan
ilmu saya kepada siapapun yang membutuhkan terlebih kepada keturuanan saya. Saya
akan mencerdaskan anak-anak saya. Masih dalam cerita ini saya belajar bagaimana
seharusnya sepasang suami istri menjaga keharmonisan keluarganya.
-saat ini, saya berterimakasih kepada Sang Pencipta telah
memberikan kesempatan untuk membaca karya-karya besar, semoga saya terlahir
menjadi orang besar dengan karya besar. Amin-