Saat inilah, aku baru mampu tersenyum tulus kepada anak-anak kecil.
Aku menyatu bersama mereka tanpa ragu, berbincang dan belajar bersama mereka
tanpa jarak, aku melebur bersama dunia yang benar-benar baru. Hatiku tergugah,
hatiku bicara, bahwa aku tak rela meninggalkan mereka dalam banyak
ketidak-tahuan. Bahwa dari hatiku yang paling tulus, aku ingin mengajar mereka
tanpa lelah, mengajak mereka untuk membaca buku, menulis, dan berdiskusi. Merekalah yang akan menetukan peradaban bangsa
kita di masa depan. Merekalah penerus pejuang Islam di masa yang akan datang.
Jika harus jujur, sebelumnya aku adalah orang yang tak suka kepada anak kecil,
seandainya aku menyapa mereka itu hanya sekedar basa basi semata. Dan memang
tak pernah ada anak kecil yang akrab denganku. Mungkin mereka tahu bahwa senyum
serta pertanyaan-pertanyaan kecil yang aku lontarkan hanyalah basa-basi, tidak
berdasar dari hati yang tulus.
Di usianya yang masih sangat belia, mereka tumbuh dengan semangat
belajar yang tinggi, mereka berlomba-lomba belajar mengaji Iqro, supaya kelak,
mereka mampu membaca al-quran dengan lancar. Mereka seringkali terkagum-kagum
pada orang-orang dewasa yang begitu lancar mengaji tanpa jeda. Sama seperti
adikku dahulu, ketika ia belum belajar di pondok pesantren, ia pernah
mengatakan aku ingin mengaji lancar dan cepat seperti ‘Teteh’.[1]
Dan kini mereka, anak-anak di kampung Ringin Harjo pun mempunyai keinginan dan
semangat yang sama seperti adikku beberapa tahun yang lalu.
Mereka penghilang lelah, pelepas dahaga di padang gersang. Setelah
lelah mengerjakan berbagai kegiatan: Menyampul buku di Perpustakaan,
Membersihkan Laboratorium IPA, memasukkan data siswa di sekolah, aku seperti
mempunyai tempat berpulang yang membahagiakan: Mesjid, tempat anak-anak kecil
belajar iqro dan al-quran. Aku selalu dihampiri perasaan tidak sabar ingin
bertemu mereka, bercanda dan tentunya belajar bersama. Terimakasih kuhaturkan
kepada Pemilik Hati, yang telah memberikan perasaan ini kepadaku.
Ada satu anak kelas enam yang biasa belajar mengaji Iqro kepadaku.
Setelah beberapa kali mengaji bersamaku, dan lumayan dekat denganku karena
ternyata aku dan dia mempunyai hobi yang sama: Membaca. Setiap kami bertemu,
kami selalu membicarakan buku yang sedang kami baca, pembicaraan terakhir kami
adalah dia baru saja membeli lima buku, salah satu bukunya adalah membca
pikiran orang China. Dan aku baru saja meminjam buku yang berjudul Habis Gelap
Terbitlah Terang, kumpulan surat Kartini yang dikirim kepada teman-temannya di
Belanda: Abendanoon, Stella, dan lain-lain dari perpustakaan MAN Gandekan
Bantul. Betapa terkejutnya aku, ternyata ia tahu buku itu. Sungguh, aku merasa
bahagia bertemu dengan seorang siswa kelas enam yang cinta membaca. Oh iya,
sebenarnya ia sudah mengaji Al-Quran, tetapi ia ingin membenarkan bacaannya
dahulu, sehingga ia mau belajar iqro lagi. Aku senang mendengar itu, dan aku
pun siap mengajarnya sampai ia benar-benar mampu mengaji Al-Quran dengan baik.
Ada lagi seorang anak kecil yang aku ajari tentang mengucapkan
huruf hijaiyah yang benar. Ia tertawa tawa saat melihat dan mendengarkanku
mengucapkan huruf-huruf hijaiyah. Ia harus belajar lebih keras lagi untuk
mengucapkan hurf GHA yang benar. Hari ini, ia masih belum mampu mengucapkan
huruf itu dengan benar, masih terbalik-balik dengan huruf KHO, pelafalan hurf
GHA masih sama seperti huruf KHA, tetapi ia terus belajar walau sembari
tersenyum malu-malu di depanku.
. Ketulusan akan berbalas ketulusan pula. Aku merasakan ketulusan
yang dalam saat mereka menyapa dan tersenyum kepadaku. terimakasih Allah, Aku
sayang kalian adik-adik genarasi bangsa pertiwi.