Laporan Penelitian IBL

0
Konflik Praktik Kegamaan “Shalat Jum’at” dan 
Konvergensinya  Di Kalangan Masyarakat Desa Nagarawangi

Oleh: Laelatul Badriyah
Latar Belakang
Dalam memahami agama di kalangan masyarakat luas, khususnya memahami agama Islam, harus dibarengi dengan memahami budaya yang menyebar di kalangan masyarakat. Karena tidak dapat dipungkiri, Islam masuk ke Indonesia melalui budaya yang masyarakat miliki. Artinya budaya dijadikan alat untuk masuknya Islam, sehingga Islam dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.  Islam dapat diterima dengan mudah karena memiliki banyak kesamaan dengan kebudayaan yang berlaku di masyarakat. Sebaliknya Islam akan ditolak masyarakat apabila kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama.
Perbedaan budaya yang terjadi di setiap daerah di Indonesia menjadikan pemahaman dan  praktek keagamaan yang berbeda-beda, sehingga kita akan sering mendengar istilah Islam lokal, seperti Islam Aceh, Islam Padang, Islam Jawa, dan lain sebagainya. Dalam buku Islam dan Budaya Lokal yang ditulis oleh Drs. Radjasa Mu’tashim, M.Si dikatakan bahwa dua masyarakat yang berbeda kebudayaan akan berbeda pula dalam memahami dan menjalankan agama yang dianutnya. Di sini dicontohkan bahwa Islam di wilayah perkotaan (masyarakat industri) akan menampakkan wajah yang berbeda dengan Islam di wilayah pedesaan (masyarakat tani), karena kebudayaan kota dan desa berbeda. Contoh dari kebudayaan yang lain adalah perbedaan latar belakang pendidikan di suatu masyarakat akan mempengaruhi pola pikir dan praktek kegamaan. Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Ciamis tepatnya di desa Nagarawangi, telah terjadi perbedaan praktek  keagamaan dalam shalat Jum’at dan menimbulkan konflik berkepanjangan.

Dua kebudayaan yang berbeda, jika saling berinteraksi satu sama lain akan menimbulkan konvergensi (penyatuan), dengan kata lain akan saling melengkapi satu sama lain. Seperti disebutkan oleh Dr.H.M Bambang Pranowo dalam sebuah artikel berjudul Agama dan Kebudayaan: Agama dalam Konteks Perubahan Budaya, telah terjadi konvergensi antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Dua organisasi besar Islam ini, sekarang mencoba untuk saling melengkapi satu sama lain, tidak lagi fanatik pada beberapa paham yang dianuntnya, seperti Muhammadiyah mulai membangun pesantren untuk generasi pemuda bangsa. Seperti yang kita ketahui tradisi pesantren adalah tradisi NU. Begitu pun sebaliknya, NU mulai membangun sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan yang modern. Tradisi sekolah adalah tradisi Muhammadiyah dalam usahanya untuk mengejar segala ketertinggalan masyarakat Islam pada jaman tekhnologi ini. Dua golongan besar Islam ini, melihat bahwa mereka tidak akan lebih maju dari yang lain, jika mereka hanya menggunakan tradisinya, sehingga mereka mencoba membuka diri, dan saling melihat peluang untuk saling mengisi satu sama lain.
Di sini, penulis akan mencoba melihat sebuah kasus yang terjadi di masyarakat desa Nagarawangi, dan melihat bagaimana konvergensi yang terjadi di masyarakat desa ini. Penelitian kecil ini dinilai penting oleh penulis sebagai usaha untuk memahami lebih dalam lagi tentang budaya, latar belakang sosial, dan pendidikan berpengaruh pada praktik keagamaan. Juga untuk melihat kondisi riil di masyarakat tentang pengaruh budaya terhadap praktik keagamaan.
Pendekatan kajian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang difokuskan pada perolehan data deskriptif yaitu gambaran umum tentang desa Nagarawangi, dan informasi tentang kasus yang telah terjadi di desa Nagarawangi. Sumber data penting diperoleh dari pertama wawancara dengan tokoh pemudi yang terlibat langsung dalam pemecahan masalah konflik ini, kedua wawancara dengan seorang penghulu yang dinilai mengetahui asal-muasal kasus ini terjadi. Serta studi kepustakaan dari buku yang berkaitan dengan Islam dan Budaya, buku Fiqih Empat Mazhab sebagai data pendukung, dan memanfaatkan media intenet.
Keadaan Desa Nagarawangi
Semula desa Nagarawangi bernama Nagarapageuh, tetapi karena pada bulan Desember tahun 2012 kemarin telah melakukan pamekaran desa, sehingga Nagarapageuh berubah menjadi Nagarawangi. Desa Nagarawangi terletak di kecamatan Panawangan, kabupaten Ciamis, provinsi Jawa Barat.
Batas wilayah desa Nagarapageuh :
Sebelah Utara : Desa Nagarajati
Sebelah Selatan : Desa Jatinagara
Sebelah Timur : Desa Nagarajati
Sebelah Barat : Desa Situ Gede
Mata pencaharian warga desa Nagarawangi adalah bertani, berdagang, beternak, berwirausaha ke daerah Jakarta dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (3%), Adapun latar belakang pendidikan warga desa Nagarawangi 70% lulusan SD dan 30% lulusan SMA. Adapun generasi muda mulai memilki kesadaran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sarjana.
Dari data yang didapatkan tentang latar belakang pendidikan dan mata pencaharian masyarakat desa Nagarawangi menunjukan bahwa rendahnya minat untuk belajar di sekolah formal, karena berbagai alasan, salah satu alasan yang menonjol menurut penulis adalah faktor ekonomi yang cukup rendah. Kebanyakan orang tua lebih memilih menikahkan anaknya atau bekerja (merantau) setelah lulus sekolah di SMP atau SMA daripada untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, mengingat biaya pendidikan yang mahal di negara kita. Hal ini membuat wawasan tentang ilmu pengetahuan mereka terabatas dan cenderung berpikir tertutup. Kebanyakan orang hanya menjadi pengikut yang tanpa tahu alasan dan maksudnya atau dalam istilah Islam biasa disebut taklid buta. Seperti kasus yang terjadi di desa ini. Kasus tentang pelaksanaan shalat Jum’at menggunakan shalat dzuhur dan tidak menggunakan shalat dzuhur. Hal ini menimbulkan konflik berkepanjangan sampai kurang lebih memakan waktu lima belas tahun. 
Hasil Penelitian
Menurut dua sumber yang telah penulis wawancarai (Nia Agustina/S1/Guru), dan (Sutardi/Penghulu) konflik ini sudah berlangsung kurang lebih 15 tahun. Mencuatnya konflik ini ke permukaan masyarakat sekitar tahun 1998, dan baru dapat diselesaikan satu tahun yang lalu, tepatnya tahun 2012. Konflik ini terjadi karena perbedaan pendapat antara dua tokoh agama di desa Nagarawangi. Tokoh agama A[1] yang dikenal oleh masyarakat berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional berpendapat bahwa setelah ibadah shalat Jum’at harus tetap melaksanakan shalat dhuhur empat rakaat dengan alasan sebagai kehati-hatian, tokoh agama ini khawatir jika shalat Jum’at yang telah dilakukan tidak sah. Sedangkan tokoh agama B yang dikenal oleh masyarakat berlatar belakang pendidikan pesantren Modern Darussalam di jantung kota Ciamis ini berpendapat bahwa setelah ibadah shalat Jum’at tidak harus melaksanakan shalat dhuhur, karena dua rakaat shalat Jum’at telah mengganti empat rakaat shalat dhuhur. Dalil yang menerangkan hal ini adalah "Apabila datang waktu siang hari Jum'at maka shalatlah dua rakaat." (H.R. Dar Qutni). Seandainya sholat dhuhur masih wajib, maka Rasulullah s.a.w. tentu tidak memerintahkan hanya dua rakaat saja. Dua permasalahan ini menjadi pertentangan sengit di antara dua tokoh agama, dan yang menjadi korban dari pertentangan ini adalah masyarakat dan generasi pemuda. Dari perbedaan pendapat ini, tokoh agama A yang mengikuti organisasi Islam NU menyangka bahwa tokoh agama B mengikuti organisasi Islam Persis.
Setelah melakukan perbincangan panjang yang tak kunjung menghasilkan benang merah, akhirnya tokoh agama B membangun mesjid kembali di samping mesjid yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jarak antara dua mesjid tersebut kurang lebih seratus meter, yang hanya terhalangi oleh kolam dan dua rumah warga sekitar. Hal ini menjadikan adanya pelabelan mesjid. Mesjid pertama adalah mesjid yang digunakan oleh tokoh agama A dan jamaahnya, begitupun dengan mesjid kedua digunakan oleh tokoh agama B dan jamaahnya. Adapun menurut keterangan yang didapatkan, jumlah jamaah shalat Jum’at di setiap masjid mencapai lebih dari empat puluh jamaah. Ini berarti telah menggugurkan syarat sahnya shalat Jum’at menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Hambali. Selama konflik ini berlangsung tokoh agama A memanggil ustadz dari desa lain untuk mengajarkan ilmu keagamaan di mesjid pertama.  
Konflik ini berdampak pada pelaksanaan dua perayaan hari besar Islam: Idul Adha, dan Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul Adha dan Idul Fitri ini pun berlangsung di dua mesjid itu, sesuai dengan kubu masing-masing. Jamaah untuk kedua kubu ini, cenderung berimbang, karena hampir seluruh masyarakat di desa ini masih mempunyai hubungan darah satu sama lain.
Konflik ini menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan pemuda yang pendidikannya baik (lulusan S1), yang kemudian pemuda-pemudi ini dapat menggerakkan pemuda-pemudi yang lain. Mereka berinisiatif untuk mendamaikan dua tokoh agama ini, sehingga mereka mendirikan Himpunan Pemuda-Pemudi Nagarawangi (HPPN) dengan bekerja sama bersama aparat desa. Usaha mereka untuk mendamaikan dua tokoh agama ini adalah mengadakan acara Halal bi Halal setiap tahun, tepatnya saat perayaan Idul Fitri. Isi acara tersebut berupa ceramah dan pentas seni dari generasi muda. Pentas seni yang diselenggarakan ini berisi drama, tari, hadlroh, kosidah, dan lain-lain. Adapun usaha kepala desa adalah mengunjungi tokoh agama tersebut sekaligus melaksanakan shalat Jum’at di dua mesjid secara bergantian setiap minggu. Tetapi usaha yang dilakukan oleh kepala desa dan  HPPN ini tak kunjung mendapat respon dari kedua tokoh agama, mereka seperti abai terhadap usaha yang dilakukan oleh generasi muda. Jalan lain yang diambil oleh pemuda tersebut adalah demo. Akhirnya dengan aksi tersebut menghasilkan perdamaian hitam di atas putih yang dibubuhi materai. Mereka bersalaman, dan berdamai, walaupun pelaksanaan shalat Jum’at masih dilaksanakan di mesjid masing-masing. Tetapi untuk dua perayaan hari besar Islam sudah dilaksanakan di dalam satu mesjid (mesjid pertama).
Walaupun konflik ini terlihat sudah selesai, tetapi sejatinya belum, pada pelaksanaan shalat Idul Fitri ini, kedua tokoh agama tersebut kembali berselisih, mereka sama-sama ingin berkhutbah dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri. Dari sini, pertikaian kembali dimulai. Mereka saling mempertahankan ego masing-masing.
Adapun kehidupan sosial masyarakat setempat selama konflik ini berlangsung, mereka tetap saling berinteraksi satu sama lain, menyatu, dan rukun, contohnya gotong royong dalam membantu persiapan pelaksanaan pernikahan. Konflik akan muncul di masyarakat ketika dalam suatu perkumpulan membahas tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Masyarakat akan saling menyalahkan satu sama lain. Padahal kebanyakan masyarakat dapat dikatakan hanya ikut-ikutan saja (taklid buta), tanpa mengetahui dasar-dasar yang jelas.
Pada tahun 2012, saat usia tokoh agama A sudah tidak lagi muda, ia mengalami gangguan kesehatan, hal ini menimbulkan kesadaran pada diri tokoh Agama A untuk melakukan perdamaian yang sesungguhnya. Tokoh agama A, meminta maaf pada tokoh agama B atas segala kesalahan dan perselisihan yang terjadi sangat lama ini. Kedua tokoh agama saling memaafkan dan menyadari kesalahan masing-masing. Ini sebagai awal lahirnya perdamaian di desa ini. Kedua tokoh agama bersatu, masyarakat pun tak lagi ikut-ikutan beselisih pendapat, dan mesjid yang kedua digunakan untuk sekolah TPA (sekolah yang memperlajari tentang dasar-dasar agama untuk anak-anak kecil). Pelaksanaan shalat Jum’at kembali dilaksanakan di satu mesjid, begitu pun dengan dua perayaan hari besar Islam. Perbedaan menggunakan shalat dhuhur atau tidak sudah tidak menjadi permasalahan, semuanya dilimpahkan pada keyakinan masing-masing. Masyarakat yang masih melaksanakan shalat dhuhur setelah shalat Jum’at diperkenankan untuk melaksanakannya secara munfarid.
Pendapat Ulama Tentang Shalat Jum’at[2]
Empat Imam mazhab sepakat bahwa apabila seseorang meninggalkan shalat Jum’at, hendaknya ia shalat dzuhur. Apakah shalat dzuhur itu dikerjakan secara berjama’ah atau sendiri-sendiri? Imam Hanafi dan Imam Maliki berpendapat secara sendiri-sendiri. Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat secara berjama’ah. 
 Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali shalat Jum’at sah kecuali dihadiri empat puluh orang. Imam Hanafi berpendapat sah shalat Jum’at yang dihadiri empat orang saja. Imam Maliki berpendapat  shalat Jum’at tetap sah, meskipun dihadiri kurang dari empat puluh orang. Namun, tidak wajib mengerjakannya bagi orang bertiga atau berempat.
Apabila makmum masbuq mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka ia telah mendapatkan seluruh shalat Jum’at. Sedangkan jika kurang dari itu, maka tidak dihukumi telah mendapat seluruh shalat Jum’at, dan ia harus shalat dhuhur empat rakaat. Demikian pendapat Imam Maliki dan Imam Hambali.
Dari beberapa pendapat di atas menunjukan bahwa, shalat dhuhur tetap ditunaikan saat hari Jum’at ketika ada beberapa kendala dalam melaksanakan shalat Jum’at. Pertama karena seseorang meninggalkan shalat Jum’at, kedua karena makmum masbuq (tertinggal dalam shalat berjama’ah Jum’at). Dalam buku Fiqih Empat Mazhab ini, penulis tidak menemukan pendapat yang mengharuskan melaksanakan shalat dhuhur setelah menunaikan shalat Jum’at tanpa uzur.
Kesimpulan
Dari konflik yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa konflik ini terjadi karena perbedaan latar belakang pendidikan diantara dua tokoh agama tersebut, dan masyarakat yang berlatar belakang  pendidikan yang rendah, menerima dengan tanpa menyaring dan mengikuti apa saja yang diajarkan oleh dua tokoh agama tersebut. Jika kebanyakan masyarakat mempunyai latar belakang pendidikan yang baik, mungkin saja konflik ini akan terselesaikan lebih dini atau bahkan tidak terjadi sama sekali, karena adanya kontrol dari masyarakat.
 Dalam konflik ini, penulis melihat ada dua konvergensi yang terjadi. Pertama konvergensi langsung, kedua konvergensi tidak langsung. Konvergensi langsung terlihat ketika dua tokoh agama saling menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan. Dan hal ini menimbulkan penyatuan secara general. Semua masyarakat bersatu seiring dengan bersatunya dua tokoh agama yang menjadi panutan mereka. Mereka tidak lagi berselisih paham tentang shalat Jum’at. Mereka hidup berdampingan secara damai.
Konvergensi tidak langsung terjadi ketika masyarakat dapat bersatu dalam melaksanakan hubungan sosial seperti gotong royong dalam membantu persiapan pelaksanaan pernikahan, dan acara-acara yang lainnya saat konflik ini masih berlangsung.
Dalam kehidupan sosial seyogyanya kita selalu menghargai satu sama lain dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, serta menerapkannya dalam berbagai aspek sosial dan agama. Begitu pun kita harus tetap saling menghargai tentang perbedaan praktik keagamaan yang beredar di masyarakat luas.


[1] Penulis sengaja tidak menuliskan nama tokoh agama secara jelas karena berbagai pertimbangan.
[2] Muhammad, al-Allamah, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi Press, 2004), hlm. 98, 100, 103.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !