#2

0
Siang ini, aku pergi membeli sarapan sekaligus makan siang ke warung makan yang tempatnya lumayan agak jauh dari kosku. Di jalan, aku teringat kalau hari Minggu kemarin, aku tidak membeli koran Minggu: Jawa Pos, Suara Merdeka, Tempo. Ketika aku melihat tukang koran di seberang warung makan, aku berniat untuk membeli koran hari Minggu, siapa tahu masih ada sisa.
Cukup lama aku menunggu penjual menyajikan makanan untukku, keadaan warung pun cukup ramai pada jam sebelas ini, aku duduk mematung di kursi. Terbersit untuk membeli koran dahulu tetapi aku urungkan, aku tunggu saja, sampai semuanya tersaji untukku, dan aku membayarnya. 
Warung makan ini memang menjadi langganan banyak mahasiswa di sini, aku melihat satu pasang kekasih yang wajahnya sudah tidak asing lagi. Pasangan itu mempunyai tinggi yang sama, si perempuan berkulit putih, juga di wajahnya ada bertaburan tahi lalat. si laki-laki kurus dan kulitnya sawo matang. Aku selalu melihat mereka setiap sore duduk di taman kampus, sampai malam mulai turun, setelah itu si laki-laki akan mengantarkannya pulang, dengan berjalan kaki, sepertinya mereka belum mempunyai kendaraan. Di lain waktu, aku pernah melihat mereka berjalan berdua di siang hari, mereka seperti terlihat sangat intim. Mungkin mereka adalah pasangan baru di kampus ini. 
Makanan sudah tersaji, aku tidak makan di warung makan ini seperti yang lain, tetapi aku berniat memakannya di kos saja, dengan alasan untuk mengirit uang jajanku, setidaknya kalau makan di kos, tidak perlu membeli es teh untuk minum. Aku punya persediaan teh, kopi, susu, dan pastinya air putih. 
Selepas membeli makan aku menyebrang jalan raya untuk membeli koran Minggu. 
"Pak, koran hari Minggu, masih ada?"
"Koran apa, mbak?"
"Jawa Pos, Suara Merdeka, Tempo."
"Oh, sudah habis, mbak."
"Ehm, Kompas, pak?"
"Iya, ada. Menulis cerpen, mbak?"
"Iya, pak."
"Wah mba, honornya gede, sekali ngirim lima ratus ribu, saya pun berniat untuk menulis saja, daripada bekerja seperti ini, saya bekerja sebulan cuma dapat lima ratus ribu, kalau ngirim tulisan sekali saja sudah dapat lima ratus ribu."
"Oh, iya, pak, menulis saja." Tanpa berpikir panjang untuk berbasa-basi lebih banyak lagi, aku langsung menanyakan yang lain.
"Pak, ada majalah Horison?"
"Ada, mba, duapuluh ribu hanrganya, besok saya ambilkan, mbak."
"Iya, pak, besok saya ke sini lagi ya, pak."
Di jalan, sembari merenungi perkataan penjual koran itu, aku membatin sendiri, kenapa tadi aku terlihat tidak antusias merespon keinginannya untuk menulis dan mengirimkannya ke media. Dalam hatiku, berkata, besok, jika aku bertemu lagi dengan bapak itu, akan aku sampaikan kepadanya kalau bapak benar-benar ingin belajar menulis, akan aku kenalkan kepada teman-temanku yang tulisannya sudah keren-keren. 
Pasangan kekasih itu, ketika aku hendak meninggalkan warung makan itu, mereka belum mendapatkan pesanannya, pun untuk dua gelas es teh, mungkin sekarang, mereka tengah menikmati hidangan makanan dengan penuh cinta. Yang setiap mereka memakan satu butir nasi, maka bertambahlah rasa cinta mereka. Semoga langgeng untuk kalian.
Untuk bapak penjual koran, semoga bapak menjadi penulis.
01 Juli 2013

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !