Gerimis Doa

2

“Jangan hujan dulu Allah sebelum aku sampai ke kosku” doaku di suatu sore selepas pulang dari kampus
Sore itu aku berjalan dari kampus menuju kos yang agak lumayan jauh. Awan hitam, hujan sebentar lagi turun, membasahi atap rumah, daun, pohon, jalan, warung, dan semuanya. Sembari berjalan, kurapalkan terus doa-doaku supaya Allah menolongku, supaya hujan jangan dulu tiba sebelum aku sampai di tempat yang aku tuju: kos

Tapi rupanya hujan tak sanggup bersabar untuk menunggu langkahku yang semakin kencang melawan awan hitam. Hujan deras. Aku basah kuyup. Aku singgah di emper toko yang kebetulan aku lewati. Aku tak berani melanjutkan langkahku karena dalam tasku ada barang elektronik yang sama pentingnya dengan nyawaku: Laptop. Laptop yang berisi tugas kuliah, foto-foto, e-book yang kudapatkan dengan mendownload secara gratis di kampus, film-film, musik, kliping tentang pendidikan, seni budaya, politik, beberapa biografi penulis dunia, dokumen teater, dan tentu saja catatan-catatanku yang belum layak disebut karya.
Dua laki-laki yang menumpangi motornya ikut berteduh. mereka membawa mantel tetapi rupanya hujan sama-sama menghentikan perjalanan pejalan kaki dan yang berkendaraan roda dua. Mereka menyalakan korek api untuk menyulut sebatang rokok yang mereka hisap bergantian. Ah laki-laki selalu saja ada rokok untuk menghangatkan tubuhnya. Sementara aku tidak suka dengan asap rokok dengan segala penyakit yang akan ditimbulkan oleh rokok: Kanker, jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Apa laki-laki tdak pernah berpikir jika ia impotens, ia tidak dapat memanjakan istrinya di atas ranjang, ia tidak dapat memberikan buah hati yang menjadi idaman setiap pasangan yang berumah tangga. Ah laki-laki. Terkadang mereka memilih membeli rokok dari pada membeli nasi untuk makan. Tapi tak apalah. Itu hak kaum laki-laki. Toh walaupun aku menentang keras pecandu rokok, Bapakku di rumah juga pecandu rokok. Kedua laki-laki itu semakin nikmat menghisap rokok bergantian.
Air hujan menyiprat ke kakiku. Semakin basah celanaku, juga sepatuku. Dalam hatiku, masih kurapalkan doa supaya lekas reda. Supaya aku bisa pulang ke kos. Berganti pakaian, duduk di atas kursi, membuat teh hangat dan menikmatinya sembari membuka leptop dan juga menulis tentang hujan yang menyisakan sisa di jendela kamarku.
Teringat kenangan masa lalu sewaktu aku mengaji di sekolah agama di desaku. Jarak yang harus aku tempuh sekitar 1 km. Biasanya aku berangkat dan pulang bersama teman-temanku. Jumlahnya ada 4 oang. Aku, Resi, Anita, dan Asep. Berempat. Selalu berempat. Sesekali berlima bersama Yani. Tapi Yani orangnya malas. Terkadang ia memilih bermain di sawah dari pada sekolah agama.
Di sekolah agama, kami diajarkan bagaimana menghormati guru, menghormati dan menyayangi orang tua, cara sholat, cara berdoa, dan lain-lain. Doa doa sering kami lafalkan sebelum pelajaran dimulai dan setelah pelajaran selesai. Kami membaca banyak doa, diataranya doa unutk orang tua, doa bercermin, doa naik kendaraan, doa keluar rumah, doa mau makan dan setelah makan, doa mau tidur dan bangun tidur,dan masih banyak lagi.
Kami selalu bersemangat melafalkan doa-doa itu karena kata bu guru semua doa kita akan di dengar oleh Allah dan Allah akan mengabulkannya. Dengan syarat kia menjadi anak yang soleh dan solehah. Aku pernah bertanya “apakah berdoa bisa memakai bahasa Indonesia?” bu guru menjawab “bisa, Allah itu maha pintar, dan mengerti berbagai bahasa.” Saat itu aku manggut-manggut saja. Mendengarkan penjelesan bu guru.
Hingga pada suatu hari aku mempraktekan doa bahasa indonesiaku. Saat itu langit mendung, aku hanya sendiri. Teman-temanku tidak sekolah agama, katanya ada kegiatan di SD nya, aku dan Resi, Anita juga Asep memang berbeda sekolahnya, aku di MI. Sepanjang jalan aku berdoa ya Allah jangan hujan, jangan hujan dulu, jangan hujan dulu.”
Aku mempercepat langkahku. Semakin cepat langit semakin gelap. Menakutkan. Hujan turun saat aku sampai di pintu rumahku. Kuucapkan Alhamdulillah, karena apa yang dikatakn bu guru benar. Allah mendengar doa kita dalam bahasa apapun. Dan juga mengabulkannya.
Saat itu memang musim hujan. Seringkali sore hari hujan. Dan aku harus tetap sekolah agama. Supaya pintar. Kalau cuaca siang hari panas dan tidak menunjukan tanda tanda akan hujan, maka aku tidak membawa payung, tetapi sebaliknya jika sudah ada pertanda akan hujan maka aku membawa payung. Payung yang lebih besar dari tubuhku.
Setelah doa hujan dikabulkan untuk pertama kali, aku selau berdoa jika akan turun hujan, dan Allah selalu mnengabulkan doaku. Aku senang dan aku selalu merasa Allah menolongku.
Tetapi apa yang terjadi hari ini, Allah tidak mengabulkan doaku. Allah menurunkan hujan deras sekali. Apakah Allah tidak mendengar doaku lagi setelah aku dewasa? Dulu aku percaya sekali pada yang namanya doa. Aku berdoa ingin menjadi juara kelas, Allah mengabulkan, aku ingin juara lomba aritmatika, Allah mengabulkan, aku ingin mendapatkan nilai sepuluh ketika ulangan sejarah islam, Allah mengabulkan, aku ingin menjadi juara tari, Allah mengabulkan, aku ingin disayang bu guru, Allah mengabulkan. Banyak doa yang dikabulkan oleh Allah. Tetapi sekarang aku merasa Allah tidak mendengar lagi doaku. Aku ingin IPK 4, Allah tidak mengabulkan, aku ingin mendapatkan beasiswa, Allah tidak mengabulkan, aku ingin lolos ke luar negeri, Allah tidak mengabulkan, aku ingin mendapatkan nilai A pada matakuliah filsafat, Allah tidak mengabulkan, aku ingin tulisanku di muat di media, Allah tidak mengabulkan, aku ingin hujan ini reda, Allah tidak mengabulkan. Allah tidak mengabulkan atau Allah belum mengabulkan? Aku tidak tahu.
Kata bu guruku dulu, penyebab tidak dikabulkannya doa adalah karena kita berbuat dosa. Apakah sudah cukup banyak dosa yang aku perbuat sehingga doaku tidak dikabulkan oleh Allah?
Sejak kuliah di kota ini, aku mengenal banyak laki-laki, aku pacaran, aku jalan-jalan, aku berpegangan tangan, aku boncengan motor, aku sering berduaan, aku ikut banyak kegiatan, aku sibuk, terkadang shalatku tidak sempurna, shalatku secepat kilat, berdoa hanya sebentar, selalu di depan leptop. Aku banyak bermain, jarang membaca al-quran, aku tidak lagi bangun malam, aku tidak lagi berdoa saat bercermin, saat mau tidur, apalagi bangun tidur. Aku sudah tidak berpuasa senin-kamis.
Apakah Allah marah kepadaku saat ini? Atau Allah lupa kepadaku? Atau Allah sudah tidak mendengar lagi doaku? Allah di mana dan kenapa?
Kedua laki-laki itu masih di tempat ini bersamaku. Kami memang tidak saling bicara. Rokok yang mereka hisap sudah habis. Teman yang satunya mencoba mencari-cari sebatang rokok lagi di tasnya, tetapi sepertinya tidak berhasil.
Aku pasang muka masam. Kesal. Benci. Dingin. Hujan tak kunjung reda. Lampu warung di seberang sana sudah menyala. Hp ku tidak bisa menyala. Aku terpaksa menunggu hujan sampai reda.

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. hahahah, kasihan sekali kamu, La. lain kali menginap di Gorong-Gorong, ya. tapi bawa beras... hahaha

    ReplyDelete
  2. aseeem ketawa lagi...
    aku mau k gorong-gorong, tapi harus ada asuransi kesehatan dan lain lain yah, Yi....

    ReplyDelete
Post a Comment
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !