Bulik Iyem

0
           Dia seorang perempuan paruh baya, usianya nyaris  setengah abad, namanya bulik Iyem. Ia seorang janda yang ditinggalkan suaminya karena meninggal dunia. Sehari-harinya bulik Iyem berjualan nasi sayur di dekat rumahnya. Di atas tanah yang berukuran kurang lebih satu setengah meter persegi. Warung nasinya selalu ramai oleh pembeli, mulai dari tetangga-tetangga terdekat, mahasiswa dan juga ibu-ibu perumahan yang malas memasak. Warung nasi bulik Iyem terkenal murah dan masakannya enak, juga bulik Iyem terkenal ramah kepada pembeli, siapa pun itu. Selain itu, mungkin juga karena bulik Iyem selalu berdandan menor, sehingga bapak-bapak tua betah berlama-lama di warung bulik Iyem, ngobrol ngalor-ngidul, sembari menyantap nasi sayur buatan bulik Iyem, juga wedang jahe sebagai minumannya.

Pagi hari, bulik Iyem selalu pergi ke pasar untuk berbelanja ditemani sepeda kumbang peninggalan suaminya. Kira-kira jam sebelas siang bulik Iyem mulai memasak sayuran juga lauk. Sayurannya bermacam-macam, ada sup, capcay, balado terong, oseng jamur, usus, sayur daun kates, mie, bihun, kacang panjang dicampur tempe, sayur tahu, dan masih banyak lagi. Adapun lauknya, ada goreng kepala ayam, ceker, ayam, lele, balado telur, telur asin, dan ikan pindang. Gorengan tempe, bakwan, timus, pisang goreng adalah makanan pelengkap di sana, minumannya ada es teh, teh hangat, es juruk, jeruk hangat, dan wedang jahe.
Setelah adzan ashar, semua makanan, sayuran, dan juga lauk sudah terpajang di warung nasi bulik Iyem, satu persatu para pembeli mulai berdatangan. Jam setengah lima, adalah puncak kesibukan bulik Iyem. Para pembeli datang berbondong-bondong, ada yang bersama pacarnya, ada yang membawa pasukan dari kosnya sehingga anak-anak kos membanjiri warung nasi bulik Iyem, ada anak kecil yang disuruh ibunya membeli nasi dan sayur, tetangga yang masih kerabatnya juga berdatangan. Jika sudah penuh seperti ini, seringkali bulik Iyem kewalahan, maka bulik Iyem selalu dibantu oleh keponakannya yang masih sekolah di bangku SMA. Ia seorang perempuan manis, rambutnya panjang, dan kulitnya sawo matang. Ia memang belum terlalu cekatan dalam melayani pembeli, tapi itu semua cukup membantu bulik Iyem.
Dalam pelayanannya  bulik Iyem selalu mendahulukan tetangga-tetangga dekat dibanding para mahasiswa yang sudah sejak lama berdiri, melihat-lihat berbagai macam sayuran. Entah dengan alasan apa, apakah itu adalah sebuah bentuk solidaritas terhadap tetangga atau bagaimana, ah tidak tahu. Setelah para tetangga dilayani, giliran para mahasiswa yang dilayani, dalam pelayanannya pun terkadang tidak adil. Bulik Iyem selalu tidak begitu peka siapa yang datang lebih awal, sehingga kerap kali yang datang lebih awal tidak mendapatkan pelayanan pertama dari bulik Iyem, biasanya yang dilayani lebih awal adalah para mahasiswa yang cerewet, dan yang suka bercerita, bergosip tentang tetangga kos sebelah atau isu-isu terhangat di sekitar dunia kos-kosan. Itulah hal yang tidak begitu adil yang dilakukan oleh bulik Iyem, sehingga sebagian pembeli seringkali merasa jengkel. Tetapi walaupun begitu, mereka akan tetap datang ke warung bulik Iyem esok harinya.
Di balik hal-hal yang sedikit menjengkelkan dari bulik Iyem, ada juga sisi baik bulik Iyem yang tidak semua perempuan bisa melakukannya. Bulik Iyem terlahir sebagai tulang punggung keluarga. Dengan usahanya yang pas-pasan, biaya hidup adik dan bapak ibunya ditanggung oleh bulik Iyem, ia juga ikut andil dalam membiayai sekolah keponakannya. Selain itu, tentu saja bulik Iyem menyisihkan sepeser duapeser laba dagangannya untuk ditabung. Nah, untuk urusan tabung-menabung biasanya perempuanlah yang lebih piawai dibanding laki-laki.
Bulik Iyem memang bukan pegawai negeri sipil (PNS), tapi bulik Iyem mempunyai jadwal berjualan sendiri. Sama seperti PNS. Untuk hari Sabtu dan Minggu warung bulik Iyem tutup. Itu adalah hari libur untuk bulik Iyem. Kemudian setiap tanggal limabelas pada setiap bulan, bulik Iyem juga tidak berjualan, karena ada kumpulan arisan di kampungnya. Di acara itulah, bulik Iyem biasa bercerita pada dua teman baiknya yang lebih muda darinya, yang juga janda. Mereka saling bercerita dan bertanya tentang berbagai hal, terutama tentang apakah akan menikah lagi atau tidak, dan apakah sudah ada duren (duda keren) yang hinggap melamar. Atau tentang apakah yang sering dilakukan saat membutuhkan dan merindukan belaian dari sosok sang suami. Mereka bercerita tanpa rasa malu, dan rasa sungkan. Selain itu, mereka juga selalu berbagi informasi tentang makeup yang digunakan setiap hari. Membicarakan pemutih penghilang flek hitam di wajah, cream penghilang kerutan di sekitar kantung mata dan pipi, pensil alis yang tidak luntur jika terkena hujan, merk bedak yang tahan lama hasiatnya, obat pelangsing tubuh, obat pengencang payudara, dan segala hal yang berhubungan dengan alat reproduksi. Dan tentu saja alat kosmetik yang diperbincangkan adalah alat kosmetik yang sesuai dengan saku mereka. Banyak alat kosmetik yang dijual murah di pasaran. Dengan tujuan lapisan masayarakat kedua dapat bersolek sesuai dengan kemampuan uang yang dimilikinya.
Walaupun status mereka janda, justru mereka sangat memperhatikan hal-hal seperti itu, sebagai usaha untuk menggaet duda keren yang ada di kampung ini khususnya, umumnya untuk menggaet duda keren di mana pun, juga sebagai bentuk solidaritas sesama janda.
^^^
Tujuh tahun menjadi seorang janda bukan hal yang mudah, dengan usaha apa-adanya, dan juga peninggalan tanah warisan dari suami yang tidak memiliki surat tanah yang jelas membuat bulik Iyem tertimpa masalah. Warisan tanah yang katanya milik mendiang suaminya, disebut-sebut oleh adik iparnya bahwa tanah itu sudah diwariskan kepada adik iparnya.
Sedih dan terluka perasaan bulik Iyem. Tempat mencari nafkahnya harus diberikan kepada adik iparnya. Terbersit dalam hati bulik Iyem untuk menyelesaikannya melalui jalur hukum. Tetapi bulik Iyem takut berurusan dengan hukum, lewat jalur hukum permasalahan akan semakin rumit, karena seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa tanah warisannya itu tidak memiliki surat tanah yang jelas, selain itu, yang menjadi bahan pertimbangan adalah rumah dan tanah bulik Iyem dan tetangga-tetangganya juga tidak mempunyai surat tanah yang jelas. Itu artinya jika bulik Iyem menyerahkan  hal ini ke jalur hukum, maka bulik Iyem telah menyerahkan tanahnya dan tanah tetangga-tetangganya untuk digusur oleh pemerintah. Mengingat hal itu semua, akhirnya dengan berat hati bulik Iyem menyerahkan warisan tanahnya melalui jalan kekeluargaan.
Tidak kehilangan akal untuk tetap mencari nafkah, bulik Iyem memanfaatkan lahan di atas selokan depan rumahnya. Bulik Iyem membangun warung nasi dari bambu yang ukurannya lebih kecil dari warung nasi yang dulu. Atapnya menggunakan terpal berwana orange yang ditambal dengan  baliho bekas kampanye pilkada. “Lantainya” terbuat dari bambu yang dianyam sangat kuat. Di dalamnya ada tempat duduk panjang yang terbuat dari papan dan bambu.
Kurang lebih dua minggu warung nasi bulik Iyem tutup. Setiap sore selalu ada saja pembeli yang datang ke warung bulik Iyem, tetapi yang mereka dapati adalah warung bulik Iyem yang sudah rata dengan tanah. Rupanya adik iparnya langsung membongkar warung nasi bulik Iyem. Kabarnya di atas tanah itu akan dibangun rumah oleh adik iparnya beserta istrinya.
Tidak mau dianggap larut dalam kesedihan, dan tidak mau dianggap kalau bulik Iyem telah jatuh miskin, dengan uang tabungan yang dimilikinya bulik Iyem segera merenovasi rumah kecilnya menjadi dua tingkat. Bulik Iyem dengan segera memesan pasir, batu bata, semen, dan segala hal yang berhubungan dengan pembangunan. Ia simpan bahan-bahan pembangunan itu semua di depan warung nasinya dulu, karena di sana ada lahan yang sedikit luas untuk menyimpan itu.
Sementara adik iparnya belum mempunyai persiapan apa-apa untuk membangun rumah. Bulik Iyem dengan bantuan teman-temannya, juga keluarga dekatnya sudah mendirikan pondasi untuk rumah tingkatnya. Warungnya pun mulai kembali dikunjungi para pelanggan. Mulai ramai seperti biasa.
Merasa dilangkahi dan tersaingi oleh bulik Iyem dalam membangun rumah, adik iparnya segera membeli bahan-bahan untuk membuat rumah: batu bata, semen, pasir, genting, kayu, dan besi. Dengan modal pinjaman kesana-kemari. Adik ipar bulik Iyem mulai membangun rumah di tengah-tengah bulik Iyem membangun rumah tingkatnya.
Mereka saling bertegur sapa ramah, berbasa-basi setiap pagi dan sore, saling memberi senyum, saling melihat pondasi yang mulai dibangun, saling memuji, sesekali adik iparnya membeli makanan di warung bulik Iyem, tetapi dibalik itu semua, mereka sama-sama menyimpan bara, yang mereka tumpahkan di belakang rumah kepada kerabatnya, kepada teman-teman dekatnya ketika malam mulai menyelimuti rumah mereka.   
Jogjakarta, Juni 2013
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !