Dia seorang perempuan paruh
baya, usianya nyaris setengah abad,
namanya bulik Iyem. Ia seorang janda yang ditinggalkan suaminya karena
meninggal dunia. Sehari-harinya bulik Iyem berjualan nasi sayur di dekat
rumahnya. Di atas tanah yang berukuran kurang lebih satu setengah meter
persegi. Warung nasinya selalu ramai oleh pembeli, mulai dari tetangga-tetangga
terdekat, mahasiswa dan juga ibu-ibu perumahan yang malas memasak. Warung nasi bulik
Iyem terkenal murah dan masakannya enak, juga bulik Iyem terkenal ramah kepada
pembeli, siapa pun itu. Selain itu, mungkin juga karena bulik Iyem selalu
berdandan menor, sehingga bapak-bapak tua betah berlama-lama di warung bulik
Iyem, ngobrol ngalor-ngidul, sembari menyantap nasi sayur buatan bulik
Iyem, juga wedang jahe sebagai minumannya.
Pagi hari, bulik Iyem selalu pergi ke pasar untuk berbelanja
ditemani sepeda kumbang peninggalan suaminya. Kira-kira jam sebelas siang bulik
Iyem mulai memasak sayuran juga lauk. Sayurannya bermacam-macam, ada sup, capcay,
balado terong, oseng jamur, usus, sayur daun kates, mie, bihun, kacang
panjang dicampur tempe, sayur tahu, dan masih banyak lagi. Adapun lauknya, ada
goreng kepala ayam, ceker, ayam, lele, balado telur, telur asin, dan ikan
pindang. Gorengan tempe, bakwan, timus, pisang goreng adalah makanan pelengkap
di sana, minumannya ada es teh, teh hangat, es juruk, jeruk hangat, dan wedang
jahe.
Setelah adzan ashar, semua makanan, sayuran, dan juga lauk sudah terpajang
di warung nasi bulik Iyem, satu persatu para pembeli mulai berdatangan. Jam
setengah lima, adalah puncak kesibukan bulik Iyem. Para pembeli datang
berbondong-bondong, ada yang bersama pacarnya, ada yang membawa pasukan dari
kosnya sehingga anak-anak kos membanjiri warung nasi bulik Iyem, ada anak kecil
yang disuruh ibunya membeli nasi dan sayur, tetangga yang masih kerabatnya juga
berdatangan. Jika sudah penuh seperti ini, seringkali bulik Iyem kewalahan,
maka bulik Iyem selalu dibantu oleh keponakannya yang masih sekolah di bangku
SMA. Ia seorang perempuan manis, rambutnya panjang, dan kulitnya sawo matang. Ia
memang belum terlalu cekatan dalam melayani pembeli, tapi itu semua cukup
membantu bulik Iyem.
Dalam pelayanannya bulik
Iyem selalu mendahulukan tetangga-tetangga dekat dibanding para mahasiswa yang
sudah sejak lama berdiri, melihat-lihat berbagai macam sayuran. Entah dengan
alasan apa, apakah itu adalah sebuah bentuk solidaritas terhadap tetangga atau
bagaimana, ah tidak tahu. Setelah para tetangga dilayani, giliran para
mahasiswa yang dilayani, dalam pelayanannya pun terkadang tidak adil. Bulik
Iyem selalu tidak begitu peka siapa yang datang lebih awal, sehingga kerap kali
yang datang lebih awal tidak mendapatkan pelayanan pertama dari bulik Iyem,
biasanya yang dilayani lebih awal adalah para mahasiswa yang cerewet, dan yang
suka bercerita, bergosip tentang tetangga kos sebelah atau isu-isu terhangat di
sekitar dunia kos-kosan. Itulah hal yang tidak begitu adil yang dilakukan oleh bulik
Iyem, sehingga sebagian pembeli seringkali merasa jengkel. Tetapi walaupun
begitu, mereka akan tetap datang ke warung bulik Iyem esok harinya.
Di balik hal-hal yang sedikit menjengkelkan dari bulik Iyem, ada
juga sisi baik bulik Iyem yang tidak semua perempuan bisa melakukannya. Bulik Iyem
terlahir sebagai tulang punggung keluarga. Dengan usahanya yang pas-pasan,
biaya hidup adik dan bapak ibunya ditanggung oleh bulik Iyem, ia juga ikut
andil dalam membiayai sekolah keponakannya. Selain itu, tentu saja bulik Iyem
menyisihkan sepeser duapeser laba dagangannya untuk ditabung. Nah, untuk urusan
tabung-menabung biasanya perempuanlah yang lebih piawai dibanding laki-laki.
Bulik Iyem memang bukan pegawai negeri sipil (PNS), tapi bulik Iyem
mempunyai jadwal berjualan sendiri. Sama seperti PNS. Untuk hari Sabtu dan
Minggu warung bulik Iyem tutup. Itu adalah hari libur untuk bulik Iyem.
Kemudian setiap tanggal limabelas pada setiap bulan, bulik Iyem juga tidak
berjualan, karena ada kumpulan arisan di kampungnya. Di acara itulah, bulik
Iyem biasa bercerita pada dua teman baiknya yang lebih muda darinya, yang juga
janda. Mereka saling bercerita dan bertanya tentang berbagai hal, terutama
tentang apakah akan menikah lagi atau tidak, dan apakah sudah ada duren (duda
keren) yang hinggap melamar. Atau tentang apakah yang sering dilakukan saat
membutuhkan dan merindukan belaian dari sosok sang suami. Mereka bercerita
tanpa rasa malu, dan rasa sungkan. Selain itu, mereka juga selalu berbagi
informasi tentang makeup yang digunakan setiap hari. Membicarakan pemutih
penghilang flek hitam di wajah, cream penghilang kerutan di sekitar kantung
mata dan pipi, pensil alis yang tidak luntur jika terkena hujan, merk bedak
yang tahan lama hasiatnya, obat pelangsing tubuh, obat pengencang payudara, dan
segala hal yang berhubungan dengan alat reproduksi. Dan tentu saja alat
kosmetik yang diperbincangkan adalah alat kosmetik yang sesuai dengan saku
mereka. Banyak alat kosmetik yang dijual murah di pasaran. Dengan tujuan
lapisan masayarakat kedua dapat bersolek sesuai dengan kemampuan uang yang
dimilikinya.
Walaupun status mereka janda, justru mereka sangat memperhatikan
hal-hal seperti itu, sebagai usaha untuk menggaet duda keren yang ada di
kampung ini khususnya, umumnya untuk menggaet duda keren di mana pun, juga
sebagai bentuk solidaritas sesama janda.
^^^
Tujuh tahun menjadi seorang janda bukan hal yang mudah, dengan
usaha apa-adanya, dan juga peninggalan tanah warisan dari suami yang tidak
memiliki surat tanah yang jelas membuat bulik Iyem tertimpa masalah. Warisan
tanah yang katanya milik mendiang suaminya, disebut-sebut oleh adik iparnya
bahwa tanah itu sudah diwariskan kepada adik iparnya.
Sedih dan terluka perasaan bulik Iyem. Tempat mencari nafkahnya
harus diberikan kepada adik iparnya. Terbersit dalam hati bulik Iyem untuk
menyelesaikannya melalui jalur hukum. Tetapi bulik Iyem takut berurusan dengan
hukum, lewat jalur hukum permasalahan akan semakin rumit, karena seperti yang
sudah disebutkan di atas bahwa tanah warisannya itu tidak memiliki surat tanah
yang jelas, selain itu, yang menjadi bahan pertimbangan adalah rumah dan tanah bulik
Iyem dan tetangga-tetangganya juga tidak mempunyai surat tanah yang jelas. Itu
artinya jika bulik Iyem menyerahkan hal
ini ke jalur hukum, maka bulik Iyem telah menyerahkan tanahnya dan tanah tetangga-tetangganya
untuk digusur oleh pemerintah. Mengingat hal itu semua, akhirnya dengan berat
hati bulik Iyem menyerahkan warisan tanahnya melalui jalan kekeluargaan.
Tidak kehilangan akal untuk tetap mencari nafkah, bulik Iyem
memanfaatkan lahan di atas selokan depan rumahnya. Bulik Iyem membangun warung
nasi dari bambu yang ukurannya lebih kecil dari warung nasi yang dulu. Atapnya
menggunakan terpal berwana orange yang ditambal dengan baliho bekas kampanye pilkada. “Lantainya”
terbuat dari bambu yang dianyam sangat kuat. Di dalamnya ada tempat duduk
panjang yang terbuat dari papan dan bambu.
Kurang lebih dua minggu warung nasi bulik Iyem tutup. Setiap sore
selalu ada saja pembeli yang datang ke warung bulik Iyem, tetapi yang mereka
dapati adalah warung bulik Iyem yang sudah rata dengan tanah. Rupanya adik
iparnya langsung membongkar warung nasi bulik Iyem. Kabarnya di atas tanah itu
akan dibangun rumah oleh adik iparnya beserta istrinya.
Tidak mau dianggap larut dalam kesedihan, dan tidak mau dianggap
kalau bulik Iyem telah jatuh miskin, dengan uang tabungan yang dimilikinya bulik
Iyem segera merenovasi rumah kecilnya menjadi dua tingkat. Bulik Iyem dengan
segera memesan pasir, batu bata, semen, dan segala hal yang berhubungan dengan
pembangunan. Ia simpan bahan-bahan pembangunan itu semua di depan warung
nasinya dulu, karena di sana ada lahan yang sedikit luas untuk menyimpan itu.
Sementara adik iparnya belum mempunyai persiapan apa-apa untuk
membangun rumah. Bulik Iyem dengan bantuan teman-temannya, juga keluarga
dekatnya sudah mendirikan pondasi untuk rumah tingkatnya. Warungnya pun mulai
kembali dikunjungi para pelanggan. Mulai ramai seperti biasa.
Merasa dilangkahi dan tersaingi oleh bulik Iyem dalam membangun
rumah, adik iparnya segera membeli bahan-bahan untuk membuat rumah: batu bata,
semen, pasir, genting, kayu, dan besi. Dengan modal pinjaman kesana-kemari.
Adik ipar bulik Iyem mulai membangun rumah di tengah-tengah bulik Iyem
membangun rumah tingkatnya.
Mereka saling bertegur sapa ramah, berbasa-basi setiap pagi dan
sore, saling memberi senyum, saling melihat pondasi yang mulai dibangun, saling
memuji, sesekali adik iparnya membeli makanan di warung bulik Iyem, tetapi
dibalik itu semua, mereka sama-sama menyimpan bara, yang mereka tumpahkan di
belakang rumah kepada kerabatnya, kepada teman-teman dekatnya ketika malam
mulai menyelimuti rumah mereka.
Jogjakarta, Juni 2013