“Jangan hujan dulu Allah sebelum aku
sampai ke kosku” doaku di suatu sore selepas pulang dari kampus
Sore itu aku berjalan dari kampus menuju kos yang agak lumayan
jauh. Awan hitam, hujan sebentar lagi turun, membasahi atap rumah, daun, pohon,
jalan, warung, dan semuanya. Sembari berjalan, kurapalkan terus doa-doaku
supaya Allah menolongku, supaya hujan jangan dulu tiba sebelum aku sampai di
tempat yang aku tuju: kos
Tapi rupanya hujan tak sanggup bersabar untuk menunggu langkahku
yang semakin kencang melawan awan hitam. Hujan deras. Aku basah kuyup. Aku
singgah di emper toko yang kebetulan aku lewati. Aku tak berani melanjutkan
langkahku karena dalam tasku ada barang elektronik yang sama pentingnya dengan
nyawaku: Laptop. Laptop yang berisi tugas kuliah, foto-foto, e-book yang
kudapatkan dengan mendownload secara gratis di kampus, film-film, musik,
kliping tentang pendidikan, seni budaya, politik, beberapa biografi penulis
dunia, dokumen teater, dan tentu saja catatan-catatanku yang belum layak
disebut karya.
Dua laki-laki yang menumpangi motornya ikut
berteduh. mereka membawa mantel tetapi rupanya hujan sama-sama menghentikan
perjalanan pejalan kaki dan yang berkendaraan roda dua. Mereka menyalakan korek
api untuk menyulut sebatang rokok yang mereka hisap bergantian. Ah laki-laki
selalu saja ada rokok untuk menghangatkan tubuhnya. Sementara aku tidak suka
dengan asap rokok dengan segala penyakit yang akan ditimbulkan oleh rokok:
Kanker, jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Apa laki-laki tdak
pernah berpikir jika ia impotens, ia tidak dapat memanjakan istrinya di atas
ranjang, ia tidak dapat memberikan buah hati yang menjadi idaman setiap
pasangan yang berumah tangga. Ah laki-laki. Terkadang mereka memilih membeli
rokok dari pada membeli nasi untuk makan. Tapi tak apalah. Itu hak kaum
laki-laki. Toh walaupun aku menentang keras pecandu rokok, Bapakku di rumah
juga pecandu rokok. Kedua laki-laki itu semakin nikmat menghisap rokok
bergantian.
Air hujan menyiprat ke kakiku. Semakin basah
celanaku, juga sepatuku. Dalam hatiku, masih kurapalkan doa supaya lekas reda.
Supaya aku bisa pulang ke kos. Berganti pakaian, duduk di atas kursi, membuat
teh hangat dan menikmatinya sembari membuka leptop dan juga menulis tentang
hujan yang menyisakan sisa di jendela kamarku.
Teringat kenangan masa lalu sewaktu aku
mengaji di sekolah agama di desaku. Jarak yang harus aku tempuh sekitar 1 km. Biasanya
aku berangkat dan pulang bersama teman-temanku. Jumlahnya ada 4 oang. Aku,
Resi, Anita, dan Asep. Berempat. Selalu berempat. Sesekali berlima bersama
Yani. Tapi Yani orangnya malas. Terkadang ia memilih bermain di sawah dari pada
sekolah agama.
Di sekolah agama, kami diajarkan bagaimana
menghormati guru, menghormati dan menyayangi orang tua, cara sholat, cara berdoa,
dan lain-lain. Doa doa sering kami lafalkan sebelum pelajaran dimulai dan
setelah pelajaran selesai. Kami membaca banyak doa, diataranya doa unutk orang
tua, doa bercermin, doa naik kendaraan, doa keluar rumah, doa mau makan dan
setelah makan, doa mau tidur dan bangun tidur,dan masih banyak lagi.
Kami selalu bersemangat melafalkan doa-doa
itu karena kata bu guru semua doa kita akan di dengar oleh Allah dan Allah akan
mengabulkannya. Dengan syarat kia menjadi anak yang soleh dan solehah. Aku
pernah bertanya “apakah berdoa bisa memakai bahasa Indonesia?” bu guru menjawab
“bisa, Allah itu maha pintar, dan mengerti berbagai bahasa.” Saat itu aku
manggut-manggut saja. Mendengarkan penjelesan bu guru.
Hingga pada suatu hari aku mempraktekan doa
bahasa indonesiaku. Saat itu langit mendung, aku hanya sendiri. Teman-temanku
tidak sekolah agama, katanya ada kegiatan di SD nya, aku dan Resi, Anita juga
Asep memang berbeda sekolahnya, aku di MI. Sepanjang jalan aku berdoa ya Allah
jangan hujan, jangan hujan dulu, jangan hujan dulu.”
Aku mempercepat langkahku. Semakin cepat
langit semakin gelap. Menakutkan. Hujan turun saat aku sampai di pintu rumahku.
Kuucapkan Alhamdulillah, karena apa yang dikatakn bu guru benar. Allah
mendengar doa kita dalam bahasa apapun. Dan juga mengabulkannya.
Saat itu memang musim hujan. Seringkali sore
hari hujan. Dan aku harus tetap sekolah agama. Supaya pintar. Kalau cuaca siang
hari panas dan tidak menunjukan tanda tanda akan hujan, maka aku tidak membawa
payung, tetapi sebaliknya jika sudah ada pertanda akan hujan maka aku membawa
payung. Payung yang lebih besar dari tubuhku.
Setelah doa hujan dikabulkan untuk pertama
kali, aku selau berdoa jika akan turun hujan, dan Allah selalu mnengabulkan
doaku. Aku senang dan aku selalu merasa Allah menolongku.
Tetapi apa yang terjadi hari ini, Allah
tidak mengabulkan doaku. Allah menurunkan hujan deras sekali. Apakah Allah
tidak mendengar doaku lagi setelah aku dewasa? Dulu aku percaya sekali pada
yang namanya doa. Aku berdoa ingin menjadi juara kelas, Allah mengabulkan, aku
ingin juara lomba aritmatika, Allah mengabulkan, aku ingin mendapatkan nilai
sepuluh ketika ulangan sejarah islam, Allah mengabulkan, aku ingin menjadi
juara tari, Allah mengabulkan, aku ingin disayang bu guru, Allah mengabulkan.
Banyak doa yang dikabulkan oleh Allah. Tetapi sekarang aku merasa Allah tidak
mendengar lagi doaku. Aku ingin IPK 4, Allah tidak mengabulkan, aku ingin
mendapatkan beasiswa, Allah tidak mengabulkan, aku ingin lolos ke luar negeri,
Allah tidak mengabulkan, aku ingin mendapatkan nilai A pada matakuliah
filsafat, Allah tidak mengabulkan, aku ingin tulisanku di muat di media, Allah
tidak mengabulkan, aku ingin hujan ini reda, Allah tidak mengabulkan. Allah
tidak mengabulkan atau Allah belum mengabulkan? Aku tidak tahu.
Kata bu guruku dulu, penyebab tidak
dikabulkannya doa adalah karena kita berbuat dosa. Apakah sudah cukup banyak
dosa yang aku perbuat sehingga doaku tidak dikabulkan oleh Allah?
Sejak kuliah di kota ini, aku mengenal
banyak laki-laki, aku pacaran, aku jalan-jalan, aku berpegangan tangan, aku
boncengan motor, aku sering berduaan, aku ikut banyak kegiatan, aku sibuk, terkadang
shalatku tidak sempurna, shalatku secepat kilat, berdoa hanya sebentar, selalu
di depan leptop. Aku banyak bermain, jarang membaca al-quran, aku tidak lagi
bangun malam, aku tidak lagi berdoa saat bercermin, saat mau tidur, apalagi
bangun tidur. Aku sudah tidak berpuasa senin-kamis.
Apakah Allah marah kepadaku saat ini? Atau
Allah lupa kepadaku? Atau Allah sudah tidak mendengar lagi doaku? Allah di mana
dan kenapa?
Kedua laki-laki itu masih di tempat ini
bersamaku. Kami memang tidak saling bicara. Rokok yang mereka hisap sudah
habis. Teman yang satunya mencoba mencari-cari sebatang rokok lagi di tasnya, tetapi
sepertinya tidak berhasil.
Aku pasang muka masam. Kesal. Benci. Dingin.
Hujan tak kunjung reda. Lampu warung di seberang sana sudah menyala. Hp ku
tidak bisa menyala. Aku terpaksa menunggu hujan sampai reda.
hahahah, kasihan sekali kamu, La. lain kali menginap di Gorong-Gorong, ya. tapi bawa beras... hahaha
ReplyDeleteaseeem ketawa lagi...
ReplyDeleteaku mau k gorong-gorong, tapi harus ada asuransi kesehatan dan lain lain yah, Yi....