Aku, Bapak, dan Ayah

2


            Aku berjalan bersama bayang yang terus menguntitku. Siang ini matahari cukup membakar urat nadi, dan membuat kepala nyut-nyut-an. Tetapi aku masih trus berjalan menuju halte Trans Jogja (sebuah mobil angkutan umum yang seukuran seperti bus). Lebih cepat, dan lebih cepat lagi, nyaris berlari, tetapi tidak.  Kendaraan bermotor saling menyalip di tengah pejalan kaki. Mobil saling berseliweran dengan berbagai merk dan plat, mobil mewah sampai obil butut memadati jalanan kota. Suara klakson terus berbunyi saat menunggu kendaraan paling depan tak kunjung beranjak, padahal lampu hijau sudah menyala. Ah selalu ribut dan bising di manapun berada. Negara dengan jutaan penduduk yang hanya memiliki kesabaran sedikit saja. Padahal aku masih terus berjalan kaki, dua meter di ujung sana, halte Trans Jogja sudah dipadati calon penumpang. Manusia-manusia dengan berbagai merk dan plat tak hirau dengan lalu-lalang pejalan kaki. Semua autis dengan dirinya sendiri.


            Aku mengeluarkan uang 3.000 rupiah sebagai ongkos untuk menaiki Trans Jogja. Ah Jogja murah sekali. Dengan uang 3.000 kita dapat pergi ke mana saja. ke Prambanan, Gembira Loka, Malioboro, Bandara, stasiun Tugu, Monjali, dan lain-lain. Tujuannku sekarang adalah Malioboro. Iya malioboro yang selalu khas dengan batik, para musisi angklung Jogja, dan yang selalu dipadati dengan para wisatawan dari berbagai kota di Indonesia ataupun dari berbagai negara. 
         
            Tak lama menunggu. Trans Jogja dengan kode 1A yang akan mengantarkanku ke tujuan sudah di depan mata. Begitu kulihat, penuh sesak. Tapi petugas Trans jogja itu masih menyuruhku untuk masuk. Baiklah. Aku turuti saja. walau harus berdesak-desakkan dan berdiri. Ini adalah bagian dari Yogyakarta.

            Trans Jogja berjalan. Penumpang sibuk dengan dirinya sendiri. Perempuan yang duduk di depanku sibuk menekan-nekan tombol handphone yang ada di gengagamannya, sebelahnya lagi satu pasangan muda sedang asik berpegangan tangan, sebelahnya lagi terpekur entah membayangkan apa. Mungkin dia sedang merasai panas dan gerah dalam mobil ini. Yang lainnya diam, asik dengan pikiran masing-masing. Melayang-layang entah kemana sembari membaca reklame yang terpasang di sepanjang jalan. Jalanan padat dengan iklan kartu As, mentari, simpati, xl, yang semuanya berlomba-lomba untuk dapat memberikan tarif yang sangat murah kepada konsumennya, juga dipadati dengan iklan keluarga muslimah, perempuan muslimah dengan memakai aneka hijab yang unik, para model iklan terkenalpun tak kalah ikut terpajang di sepanjang jalan memperlihatkan giginya yang rapi yang dibalut dalam senyuman penuh gairah, rambut yang tergerai agak panjang, dan rok mini yang membuat para laki-laki penasaran ingin melihatnya berkali-kali. Aih.... Iklan makanan dan minumanpun tak mau kalah, gambar steak yang terlihat sedap juga ayam kentaki yang mengepul yang menggugah selera di saat perut keroncongan.

Aku? Akupun ikut tenggelam bersama pikiranku dan juga iklan di jalanan setelah memperhatikan beberapa gelintir orang di sekelilingku. Memang membosankan dan melelahkan. Tapi aku rasa itulah yang selalu orang banyak lakukan saat berada dalam sebuah kendaraan. Membaca apa yang bisa dibaca. Walaupun lelah tetap saja dilakukan. Itulah salah satu cara menikmati perjalanan. Terkadang akupun mendapatkan sebuah ide yang berserakan di sepanjang jalan trotoar menuju Malioboro. Ah akhirnya aku sampai. Beranjak. Meninggalkan penumpang yang lain. Dan kali ini aku hanya sendiri.

Aku memperlambat langkahku. Sengaja. Untuk menikmati semua hal yang ada di sini tanpa jeda. Aku amati satu persatu. Dan aku akan membeli sesuatu yang aku lihat dan aku jatuh cinta pada barang itu. Tentu saja yang berwarna merah dan hitam. Apapun itu. Aku belum tahu.
  
Terus berjalan pelan. Terus melihat. Di depanku ada hal yang mencuri perhatianku. Seorang bapak setengah baya sedang memilah-milah beberapa mainan anak kecil. aku berpikir mungkin untuk anaknya yang ada di rumah. Bapak itu memakai baju kemeja coklat tua dan celanan hitam panjang. Sedikit berkumis, dan memakai kaca mata. Akupun mulai mencari tempat duduk untuk memperhatikannya. Memperhatikannya dengan ditemani es kelapa muda di sebuah tempat jualan kaki lima bertenda biru.

Melihatnya. Aku teringat ayah. Bapak setengah baya itu menyeretku pada serpihan masa lalu. Melihatnya. Aku teringat ayah. Ayah yang selalu membawa oleh-oleh selepas dari kerja di kantornya. Membawakanku jajanan yang membuatku dan adikku senang. Nama adikku Muna. Aku dua bersaudara saat itu. Dan aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Jajanan itu aku simpan di dalam kulkas. Dan esok pagi akan aku bawa ke sekolah untuk di makan bersama teman dekatku. Shofa namanya. Melihatnya. Aku membayangkan ayahku saat memilih-milih jajanan untukku, dan memilih mainan rumah-rumahan untukku. Duuh ayah.. aku mengagumimu. Betapa ayah selalu ingat pada pesanan anak-anaknya:Wafer Tango. Selalu menyempatkan waktu untuk membelinya di warung manapun.

Bapak setengah baya itu, belum beranjak dari tempatnya berdiri di sebuah pedagang kaki lima. Seperti sedang melakukan tawar menawar. Aha sepertinya iya. Berarti ayahku juga seperti itu. Sebelum membelikanku dan adikku mainan rumah-rumahan, ayahku melakukan tawar menawar. Dan jangan salah akupun mempunyai bakat tawar menawar yang jitu seperti ayahku. Aku dapat menawar separoh harga bahkan lebih dari yang ditawarkan.

Bapak setengah baya itu mengeluarkan beberapa lembar setelah melakukan penawaran yang sepertinya cukup alot. Tapi telihat dari sini, senyum bapak itu mengembang. Mungkin penawarannya berhasil. Ah pasti ayahku juga seperti itu. Tersenyum lega saat harga yang diinginkan oleh ayah direstui oleh pedagangnya. Bapak itu pergi berlalu dari pandanganku. Dibenaknya pasti terbayang wajah anak-anaknya yang sedang menungguinya di pintu rumah. Sementara aku di sini, masih merindukan ayah, dan mengingat ayah.

Aku ambil handphone dari tasku. Ku kirim pesan singkat pada ayah.

Assalm.. Ayah gmn kbarnya hri in?

Ah Ayah... sungguh aku rindu, senyum bijakmu.

Ayahku adalah pelindung saat aku dimarahi ibu.

Bapak itu ternyata menyeretku pada serpihan masa lalu yang begitu dalam. Aku teringat, suatu sore aku kena marah oleh ibuku gara-gara aku main sepulangnya dari sekolah, sampai-sampai aku lupa akan kewajibanku menunaikan shalat duhur. Waktu itu hari Sabtu, dan semua pelajaran berakhir sebelum masuk waktu shalat duhur. Aku sdang duduk di bangku kelas 4 SD. Aku asik belajar bersepeda bersama Shofa. Karena saat itu aku belum mempunyai sepeda. Maka aku putuskan untuk belajar bersepeda. Asik sekali. Sampai berkali-kali jatuh, tapi tak pernah kapok untuk mengulang dan mengulang lagi. Saat belajar, Shofa memegangi sepedaku dari belakang kemudian lama-lama ia lepaskan pegangannya, membiarkanku mengendarainya sendiri.

Aku merasa waktu sudah cukup sore. Aku pamit pulang kepada Shofa. Aku pulang dengan hati riang gembira. Juga sembari membayangkan kalau aku mempunyai sepeda. Aku akan berangkat ke sekolah naik sepeda bersama adikku yang masih TK. Dan aku bermaksud untuk menceritakan pengalaman ini kepada ayah dan ibu ketika aku sampai di rumah. Aku membayangkan pasti mereka senang karena aku sebentar lagi bisa bersepeda walaupun belum punya sepeda.

Saat itu tak ada pikiran kalau ibu akan marah karena aku bermain sampai sore. Dan saat aku membuka pintu rumah, kuucapkan salam dengan riang, tapi ternyata ibu tak menjawab salamku seriang aku. Aku paham. Saat itu Ibu marah kepadaku. Kemudian ibu bertanya:

 “Sudah sholat asar belum?”

 Aku jawab “Belum, bu”

 “Sholat dhuhur tidak?”

 Aku menjawab “iya,” tapi dengan tidak yakin, saat itu ibu tahu kalau aku tengah berbohong. Maka saat itu pula ibu menyeretku ke kamar mandi. Aku menangis, meraung-raung. Dan ibuku melanjutkan memasak di dapur. Sembari terus mengomel menceramahiku.

“Main boleh, tapi jangan lupa shalat, shalat itu wajib dilaksanakan, kalau tidak nanti Allah marah sama kamu. Marahnya Allah melebihi marah Ibu sekarang.”

Aku terus menangis, sembari meminta dikeluarkan dari kamar mandi. Tapi Ibu tak kunjung membuka.

Ayah datang dari kantor. Mendengar amarah Ibu, dan mendengar tangisku di kamar mandi. Ayah bertanya pada ibu.

“Kenapa, bu?’

 Lantas ibu menceritakan kenakalanku hari itu. Tetapi Ayah memang baik hati, Ayah membukakan pintu kamar mandi sembari memberikan handuk, tanda aku harus mandi saat itu. Sebelumnya ayah bertanya “Ela, sudah mandi belum?” sambil terisak aku jawab “belum.”

“Mandi dulu, nanti Ayah buka pintunya lagi,” kata ayahku. Memang tidak dengan senyuman tetapi setidaknya itu menunjukan kalau ayah sayang padaku. Dan saat itu aku merasa ayah adalah pahlawanku.

Aku raih handuk di tangan ayah, tanpa berkata-kata dan dengan sisa isak tangis. Dan aku menyatelkan handuk di daun pintu kamar mandi. Kerana aku belum terlalu tinggi untuk bisa menyimpaikan handuk di atas kastop.

Aku mandi perlahan. Menyiramkan air ke mukaku. Kemudian ke kepalaku. Keramas. Lalu ke badanku. Mengusap-ngusapkan sabun pada perutku, menyikat gigi. Dan mengguyurkan air cepat-cepat ke atas kepala. Karena takut mata akan perih terkena busa shampo. Saat aku merasa sudah bersih. Aku panggil Ayah.

“Ayah, sudah selesai” dengan suara pelan, tapi terdengar oleh Ayah.

Ayah membukakan pintu, lalu meyuruhku sholat. Sebelumnya ayah menyuruhku memakai baju rapi. Supaya terlihat cantik kata Ayah. Lalu aku sholat. Pelan-pelan. Ayah duduk di ruang tv.

Shalat sudah selesai. Aku duduk di kursi ruang tv juga. Agak jauh dari ayah. Tapi ayah mengajakku ke luar dan duduk di kursi yang ada di luar rumah. Kemudian aku duduk dipangkuan Ayah. Ayah mengusap-ngusap rambutku. Dan ia bertanya bermain apa saja tadi sepulang sekolah. Lalu aku ceritakan kepada Ayah, bahwa aku belajar bersepeda dengan Shofa. Ayah tersenyum. Lalu bertanya.

“Mau sepeda?”

Aku mengangguk sembari tersenyum.

Handphoneku berdering. Bertanda pesan masuk.

waalaikumussalam. Ayah baik. ini baru pulng dri kantor. Kamu sehat nak di Jogja?
Ku jawab.

sehat, Yah. Ini lgi di Malioboro. brusan liat bpk2 mirip ayah. Ela jdi ingt ayah

Aku suda lumayan lama duduk di sini. Dan tengah menghabiskan satu es kelapa muda. Aku mulai beranjak. Dan segera membayar.

“Pak es kelapa muda satu, berapa?”

“8.000 mbak”

Aku keluarkan uang 10.000. menunggu kembalian 2.000. Lalu memasukkan uang ke dalam saku. Berlalu. Pergi. Lurus ke arah Barat. Melanjutkan perjalanannku di Malioboro. meliahat-lihat apa saja yang bisa dilihat. kemudian aku melihat sebuah gelang berwarna merah dan hitam di jual di sebuah tukang kelontongan. Aku berhenti.

“Mas, gelang ini berapa harganya?”

“10.000 dapat 3 mba”

“ah jangan segitulah mas, 10.000 dapat 5 saja yah. Aku beli 20.000”

“oh gak bisa mba”

Rupanya mas ini sudah juga dipengaruhi. Tapi ku coba tawar lagi.

Yes. Berhasil. Hari ini aku dapat gelang sepuluh. Dengan berbagai warna selain warna hitam dan merah. Akan aku kasihkan ke Adikku. Lantas untuk Ayahku? Sebentar. Akan aku carikan. Ayah suka dengan barang yang unik. Pasti nanti nemu di depan. aku melanjutkan perjalanan. Melihat-lihat. Tengok sana-sini. Kulihat handphoneku ada satu pesan dari ayah.

Kmu pasti rindu ayah yah La?  Kuliahnya lncar? Kpn plg ke rmh?

Aku tersenyum melihat pesan ayah.

Langsung ku jawab

Iya ayah. Aku rindu penyelamatku..... kuliahku lncar,yah

Kini ayahku sudah cukup tua. Ayahku pasti lelah dengan kehidupan ini. Tetapi ayah pernah mengatakan “Saat ayah lelah dengan pekerjaan dan kehidupan ini, ayah mengingat dan melihat anak-anak ayah dan juga bu dari anak-anak ayah. Itulah penghilang lelah yang mujarab bagi ayah.”

            Ah Ayah.. penyelamatku. Sekali lagi aku rindu. Aku sayang.
             
-Yogyakarta, 2013-

Tags

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !