Aku berjalan bersama bayang yang
terus menguntitku. Siang ini matahari cukup membakar urat nadi, dan membuat
kepala nyut-nyut-an. Tetapi aku masih trus berjalan menuju halte Trans Jogja
(sebuah mobil angkutan umum yang seukuran seperti bus). Lebih cepat, dan
lebih cepat lagi, nyaris berlari, tetapi tidak.
Kendaraan bermotor saling menyalip di tengah pejalan kaki. Mobil saling
berseliweran dengan berbagai merk dan plat, mobil mewah sampai obil butut
memadati jalanan kota. Suara klakson terus berbunyi saat menunggu kendaraan
paling depan tak kunjung beranjak, padahal lampu hijau sudah menyala. Ah selalu
ribut dan bising di manapun berada. Negara dengan jutaan penduduk yang hanya
memiliki kesabaran sedikit saja. Padahal aku masih terus berjalan kaki, dua
meter di ujung sana, halte Trans Jogja sudah dipadati calon penumpang.
Manusia-manusia dengan berbagai merk dan plat tak hirau dengan lalu-lalang
pejalan kaki. Semua autis dengan dirinya sendiri.
Aku mengeluarkan uang 3.000 rupiah
sebagai ongkos untuk menaiki Trans Jogja. Ah Jogja murah sekali. Dengan uang 3.000
kita dapat pergi ke mana saja. ke Prambanan, Gembira Loka, Malioboro, Bandara,
stasiun Tugu, Monjali, dan lain-lain. Tujuannku sekarang adalah Malioboro. Iya
malioboro yang selalu khas dengan batik, para musisi angklung Jogja, dan yang
selalu dipadati dengan para wisatawan dari berbagai kota di Indonesia ataupun
dari berbagai negara.
Tak lama menunggu. Trans Jogja
dengan kode 1A yang akan mengantarkanku ke tujuan sudah di depan mata. Begitu
kulihat, penuh sesak. Tapi petugas Trans jogja itu masih menyuruhku untuk
masuk. Baiklah. Aku turuti saja. walau harus berdesak-desakkan dan berdiri. Ini
adalah bagian dari Yogyakarta.
Trans Jogja berjalan. Penumpang
sibuk dengan dirinya sendiri. Perempuan yang duduk di depanku sibuk
menekan-nekan tombol handphone yang ada di gengagamannya, sebelahnya lagi satu
pasangan muda sedang asik berpegangan tangan, sebelahnya lagi terpekur entah membayangkan
apa. Mungkin dia sedang merasai panas dan gerah dalam mobil ini. Yang lainnya
diam, asik dengan pikiran masing-masing. Melayang-layang entah kemana sembari
membaca reklame yang terpasang di sepanjang jalan. Jalanan padat dengan iklan
kartu As, mentari, simpati, xl, yang semuanya berlomba-lomba untuk dapat
memberikan tarif yang sangat murah kepada konsumennya, juga dipadati dengan
iklan keluarga muslimah, perempuan muslimah dengan memakai aneka hijab yang
unik, para model iklan terkenalpun tak kalah ikut terpajang di sepanjang jalan
memperlihatkan giginya yang rapi yang dibalut dalam senyuman penuh gairah,
rambut yang tergerai agak panjang, dan rok mini yang membuat para laki-laki
penasaran ingin melihatnya berkali-kali. Aih.... Iklan makanan dan minumanpun
tak mau kalah, gambar steak yang terlihat sedap juga ayam kentaki yang mengepul
yang menggugah selera di saat perut keroncongan.
Aku? Akupun ikut tenggelam bersama pikiranku dan juga iklan di
jalanan setelah memperhatikan beberapa gelintir orang di sekelilingku. Memang
membosankan dan melelahkan. Tapi aku rasa itulah yang selalu orang banyak
lakukan saat berada dalam sebuah kendaraan. Membaca apa yang bisa dibaca.
Walaupun lelah tetap saja dilakukan. Itulah salah satu cara menikmati
perjalanan. Terkadang akupun mendapatkan sebuah ide yang berserakan di
sepanjang jalan trotoar menuju Malioboro. Ah akhirnya aku sampai. Beranjak.
Meninggalkan penumpang yang lain. Dan kali ini aku hanya sendiri.
Aku memperlambat langkahku. Sengaja. Untuk menikmati semua hal yang
ada di sini tanpa jeda. Aku amati satu persatu. Dan aku akan membeli sesuatu
yang aku lihat dan aku jatuh cinta pada barang itu. Tentu saja yang berwarna
merah dan hitam. Apapun itu. Aku belum tahu.
Terus berjalan pelan. Terus melihat. Di depanku ada hal yang
mencuri perhatianku. Seorang bapak setengah baya sedang memilah-milah beberapa
mainan anak kecil. aku berpikir mungkin untuk anaknya yang ada di rumah. Bapak
itu memakai baju kemeja coklat tua dan celanan hitam panjang. Sedikit berkumis,
dan memakai kaca mata. Akupun mulai mencari tempat duduk untuk
memperhatikannya. Memperhatikannya dengan ditemani es kelapa muda di sebuah
tempat jualan kaki lima bertenda biru.
Melihatnya. Aku teringat ayah. Bapak
setengah baya itu menyeretku pada serpihan masa lalu. Melihatnya. Aku teringat
ayah. Ayah yang selalu membawa oleh-oleh selepas dari kerja di kantornya. Membawakanku
jajanan yang membuatku dan adikku senang. Nama adikku Muna. Aku dua bersaudara
saat itu. Dan aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Jajanan itu aku simpan
di dalam kulkas. Dan esok pagi akan aku bawa ke sekolah untuk di makan bersama
teman dekatku. Shofa namanya. Melihatnya. Aku membayangkan ayahku saat
memilih-milih jajanan untukku, dan memilih mainan rumah-rumahan untukku. Duuh ayah..
aku mengagumimu. Betapa ayah selalu ingat pada pesanan anak-anaknya:Wafer
Tango. Selalu menyempatkan waktu untuk membelinya di warung manapun.
Bapak setengah baya itu, belum
beranjak dari tempatnya berdiri di sebuah pedagang kaki lima. Seperti sedang
melakukan tawar menawar. Aha sepertinya iya. Berarti ayahku juga seperti itu.
Sebelum membelikanku dan adikku mainan rumah-rumahan, ayahku melakukan tawar
menawar. Dan jangan salah akupun mempunyai bakat tawar menawar yang jitu
seperti ayahku. Aku dapat menawar separoh harga bahkan lebih dari yang
ditawarkan.
Bapak setengah baya itu mengeluarkan
beberapa lembar setelah melakukan penawaran yang sepertinya cukup alot. Tapi
telihat dari sini, senyum bapak itu mengembang. Mungkin penawarannya berhasil.
Ah pasti ayahku juga seperti itu. Tersenyum lega saat harga yang diinginkan oleh
ayah direstui oleh pedagangnya. Bapak itu pergi berlalu dari pandanganku.
Dibenaknya pasti terbayang wajah anak-anaknya yang sedang menungguinya di pintu
rumah. Sementara aku di sini, masih merindukan ayah, dan mengingat ayah.
Aku ambil handphone dari tasku. Ku
kirim pesan singkat pada ayah.
Assalm..
Ayah gmn kbarnya hri in?
Ah Ayah... sungguh aku rindu, senyum
bijakmu.
Ayahku adalah pelindung saat aku
dimarahi ibu.
Bapak itu ternyata menyeretku pada
serpihan masa lalu yang begitu dalam. Aku teringat, suatu sore aku kena marah
oleh ibuku gara-gara aku main sepulangnya dari sekolah, sampai-sampai aku lupa
akan kewajibanku menunaikan shalat duhur. Waktu itu hari Sabtu, dan semua pelajaran
berakhir sebelum masuk waktu shalat duhur. Aku sdang duduk di bangku kelas 4 SD.
Aku asik belajar bersepeda bersama Shofa. Karena saat itu aku belum mempunyai
sepeda. Maka aku putuskan untuk belajar bersepeda. Asik sekali. Sampai
berkali-kali jatuh, tapi tak pernah kapok untuk mengulang dan mengulang lagi.
Saat belajar, Shofa memegangi sepedaku dari belakang kemudian lama-lama ia
lepaskan pegangannya, membiarkanku mengendarainya sendiri.
Aku merasa waktu sudah cukup sore.
Aku pamit pulang kepada Shofa. Aku pulang dengan hati riang gembira. Juga
sembari membayangkan kalau aku mempunyai sepeda. Aku akan berangkat ke sekolah
naik sepeda bersama adikku yang masih TK. Dan aku bermaksud untuk menceritakan
pengalaman ini kepada ayah dan ibu ketika aku sampai di rumah. Aku membayangkan
pasti mereka senang karena aku sebentar lagi bisa bersepeda walaupun belum
punya sepeda.
Saat itu tak ada pikiran kalau ibu
akan marah karena aku bermain sampai sore. Dan saat aku membuka pintu rumah,
kuucapkan salam dengan riang, tapi ternyata ibu tak menjawab salamku seriang
aku. Aku paham. Saat itu Ibu marah kepadaku. Kemudian ibu bertanya:
“Sudah sholat asar belum?”
Aku jawab “Belum, bu”
“Sholat dhuhur tidak?”
Aku menjawab “iya,” tapi dengan tidak yakin,
saat itu ibu tahu kalau aku tengah berbohong. Maka saat itu pula ibu menyeretku
ke kamar mandi. Aku menangis, meraung-raung. Dan ibuku melanjutkan memasak di
dapur. Sembari terus mengomel menceramahiku.
“Main boleh, tapi jangan lupa
shalat, shalat itu wajib dilaksanakan, kalau tidak nanti Allah marah sama kamu.
Marahnya Allah melebihi marah Ibu sekarang.”
Aku terus menangis, sembari meminta
dikeluarkan dari kamar mandi. Tapi Ibu tak kunjung membuka.
Ayah datang dari kantor. Mendengar
amarah Ibu, dan mendengar tangisku di kamar mandi. Ayah bertanya pada ibu.
“Kenapa, bu?’
Lantas ibu menceritakan kenakalanku hari itu.
Tetapi Ayah memang baik hati, Ayah membukakan pintu kamar mandi sembari
memberikan handuk, tanda aku harus mandi saat itu. Sebelumnya ayah bertanya
“Ela, sudah mandi belum?” sambil terisak aku jawab “belum.”
“Mandi dulu, nanti Ayah buka
pintunya lagi,” kata ayahku. Memang tidak dengan senyuman tetapi setidaknya itu
menunjukan kalau ayah sayang padaku. Dan saat itu aku merasa ayah adalah
pahlawanku.
Aku raih handuk di tangan ayah,
tanpa berkata-kata dan dengan sisa isak tangis. Dan aku menyatelkan handuk di
daun pintu kamar mandi. Kerana aku belum terlalu tinggi untuk bisa menyimpaikan
handuk di atas kastop.
Aku mandi perlahan. Menyiramkan air
ke mukaku. Kemudian ke kepalaku. Keramas. Lalu ke badanku. Mengusap-ngusapkan
sabun pada perutku, menyikat gigi. Dan mengguyurkan air cepat-cepat ke atas
kepala. Karena takut mata akan perih terkena busa shampo. Saat aku merasa sudah
bersih. Aku panggil Ayah.
“Ayah, sudah selesai” dengan suara
pelan, tapi terdengar oleh Ayah.
Ayah membukakan pintu, lalu
meyuruhku sholat. Sebelumnya ayah menyuruhku memakai baju rapi. Supaya terlihat
cantik kata Ayah. Lalu aku sholat. Pelan-pelan. Ayah duduk di ruang tv.
Shalat sudah selesai. Aku duduk di
kursi ruang tv juga. Agak jauh dari ayah. Tapi ayah mengajakku ke luar dan
duduk di kursi yang ada di luar rumah. Kemudian aku duduk dipangkuan Ayah. Ayah
mengusap-ngusap rambutku. Dan ia bertanya bermain apa saja tadi sepulang
sekolah. Lalu aku ceritakan kepada Ayah, bahwa aku belajar bersepeda dengan
Shofa. Ayah tersenyum. Lalu bertanya.
“Mau sepeda?”
Aku mengangguk sembari tersenyum.
Handphoneku berdering. Bertanda
pesan masuk.
waalaikumussalam.
Ayah baik. ini baru pulng dri kantor. Kamu sehat nak di Jogja?
Ku jawab.
sehat,
Yah. Ini lgi di Malioboro. brusan liat bpk2 mirip ayah. Ela jdi ingt ayah
Aku suda lumayan lama duduk di sini.
Dan tengah menghabiskan satu es kelapa muda. Aku mulai beranjak. Dan segera
membayar.
“Pak es kelapa muda satu, berapa?”
“8.000 mbak”
Aku keluarkan uang 10.000. menunggu
kembalian 2.000. Lalu memasukkan uang ke dalam saku. Berlalu. Pergi. Lurus ke
arah Barat. Melanjutkan perjalanannku di Malioboro. meliahat-lihat apa saja
yang bisa dilihat. kemudian aku melihat sebuah gelang berwarna merah dan hitam
di jual di sebuah tukang kelontongan. Aku berhenti.
“Mas, gelang ini berapa harganya?”
“10.000 dapat 3 mba”
“ah jangan segitulah mas, 10.000
dapat 5 saja yah. Aku beli 20.000”
“oh gak bisa mba”
Rupanya mas ini sudah juga
dipengaruhi. Tapi ku coba tawar lagi.
Yes. Berhasil. Hari ini aku dapat
gelang sepuluh. Dengan berbagai warna selain warna hitam dan merah. Akan aku
kasihkan ke Adikku. Lantas untuk Ayahku? Sebentar. Akan aku carikan. Ayah suka
dengan barang yang unik. Pasti nanti nemu di depan. aku melanjutkan perjalanan.
Melihat-lihat. Tengok sana-sini. Kulihat handphoneku ada satu pesan dari ayah.
Kmu
pasti rindu ayah yah La? Kuliahnya
lncar? Kpn plg ke rmh?
Aku tersenyum melihat pesan ayah.
Langsung ku jawab
Iya
ayah. Aku rindu penyelamatku..... kuliahku lncar,yah
Kini ayahku sudah cukup tua. Ayahku pasti
lelah dengan kehidupan ini. Tetapi ayah pernah mengatakan “Saat ayah lelah
dengan pekerjaan dan kehidupan ini, ayah mengingat dan melihat anak-anak ayah
dan juga bu dari anak-anak ayah. Itulah penghilang lelah yang mujarab bagi ayah.”
Ah Ayah.. penyelamatku. Sekali lagi
aku rindu. Aku sayang.
-Yogyakarta,
2013-
bagaimana kamu bisa menulis seperti ini, Layla
ReplyDeletehanya membaca dan menulis saja, Ayi
ReplyDelete