Malam
datang, langit cerah, rembulan telah tampak walau tidak sempurna, angin ikut
bersahabat dengan malam bersama pohon, bersama ranting, bersama daun, bersama
bunga, bersama cahaya, bersama dinding, bersama atap, bersama kulit, bersama
pori, bersama rambut, bersama tubuh.
Perempuan
itu duduk di kursi di bawah pohon cemara yang belum terlalu rindang daunnya. Ia
tampak tidak seperti biasanya, matanya sembab, wajahnya pilu, senyumnya hilang,
manisnya tiada, dan ia lebih sering menundukan kepalanya. Ia seperti tengah
menghadapi sebuah masalah yang berat, tapi entah apa, nafasnya terlihat berat,
terkadang ia menarik nafas, menahannya, dan menghembuskannya dengan beraturan,
tetapi walaupun begitu tampak jelas bahwa dia sedang menyimpan sesuatu, yang
entah apa namanya itu.
Aku
hampiri dia, sebagai orang yang lebih sering bersamanya walaupun hubungan kami
bukanlah seperti teman dekat, tetapi lebih pada hubungan tim yang harus selalu
kompak, peka, dan respon. Di sini aku lebih tahu tentang psikologis setiap
orang karena aku memang bertugas untuk itu. Setiap malam aku memperhatikan
mereka satu per satu. Dan malam ini, kudapati dia, seorang perempuan jawa yang
anggun, tengah murung sediri di bawah pohon cemara.
“hei,
sendirian saja?’’ tanyaku,
Ia
hanya tersenyum saja.
“kenapa?
ada masalah?”kataku
Ia
masih saja tersenyum, tetapi diam-diam matanya mulai dibasahi oleh air mata.
Ada yang mengalir di pipiny perlahan.
“hei,
kau menangis sayang? Ada apa? ceritakanlah padaku, apa yang menjadikan air
matamu turun perlahan!”
Dengan
pelan ia menjulurkan pergelangan tangan kanannya. Seketika aku kaget
melihatnya, ada beberapa pertanyaan dalam benakku, kenapa? Hei....
“aku
punya penyakit mba, aku gila”
Aku
mengerutkan kening penuh tanya, sembari terus saja memegang tangannya dan melihat
air mata yang terus saja mengalir.
“mba
tahu self indjury? Suatu keinginan melukai diri sendiri untuk mendapatkan
kepuasan?”
“iy,
aku tahu sayang”
‘itu
yang terjadi padaku mba, akupun tidak tahu kenpa hal ini terjadi, ini kedua
kalinya aku melukai diri sendiri”
Ada
perasaan tak percaya akan apa yang aku dengar malam ini, perempuan seanggun ini
mempunyai penyakit seperti ini, aku tak habis pikir, apa yang menyebabkannya
terjadi, aku pikir kehidupannya sempurna-sempurna saja.
“ketika
aku duduk di bangku SMA aku tidak punya teman mba, aku hanya sendiri, aku
merasa menjadi orang asing diantara teman-temanku. Tak pernah ada yang
menghiraukanku, padahal, guru-guru menyenangi aku, saat itulah keinginan itu
ada, memang pertamanya aku melihat film yang mengangkat tema ini. dan entahlah,
apa aku merasa terinspirasi atau bagaimana, tetapi dengan tiba-tiba, niat untuk
melakukan hal itu terus saja menjadi-jadi, dan akhirnya seperti ini”
Perempuan
yang malang batinku. Perempuan secantik kau, perempuan sebaik kau, bagaimana
mungkin tak mempunyai teman dan melakukan hal seperti itu? Aku tak habis pikr,
selama aku mengenal dia, aku tak pernah merasa kesal kepadanya. Bukankah itu
berarti kalau perangai dia baik? tapi, kenapa?
“begitulah
mba, dan aku juga gak tahu hal ini terjadi, padahal setelah aku melakukan hal
ini, ada perasaan menyesal yang menyerang dadaku dengan sangat”
Aku
hanya mengelus punggung perempuan malang itu, mengusap air mata di pipinya,
memandang pergelangan tangannya yang penuh goresan luka berwarna merah.
“sayang,
jangan lakukan ini lagi, kasihan tangan putihmu, meninggalkan bekas luka yang
banyak, membuat tak indah lagi tangan lenjangmu”