Yogyakarta,
11:47 malam -21-03-
Sejak kita
berada dalam kepura-puraan, aku benar-benar lupa bagaimana menatap langit dan
menikmati purnama di malam ke lima belas. Aku lupa tengah sampai mana aku
melukis namamu di langit bersama bintang-bintang. Sungguh, aku menjadi
benar-benar masygul mengurusi dan merasai kepura-puraan ini. aku tak mau hidup
dalam kepura-pura dan ketidak-nyaman-an.
Yogya, sungguh
terlalu sayang untuk dilewatkan dalam kepura-puraan. Ada banyak tempat yang
harus kita kunjungi bersama di sini, komunitas sastra, komunitas teater,
jembatan-jembatan yang membawa cerita, kafe-kafe yang menyeduh kopi hitam,
diskusi-diskusi kecil di perpustakaan daerah, kota, dan kampus, musium-musium
bersejarah, taman-taman yang dipenuhi remaja yang bercinta, bus-bus kota yang
mengantarkan kita pada tujuan, dan masih banyak lagi. Tapi entahlah, sejak
kejadian itu, kau seperti tak bergairah mengajakku ke tempat-tempat yang aku
dan kau sukai.
Malam
ini, kau menyapaku di suatu acara seni di kampus.
“La, apa aku
masih berbeda?”
Aku hanya
tersenyum, lalu mata kita kembali bertemu di sana.
“kau tak akan
membeli bukuku, La?”
“tentu saja
aku akan membelinya, bukankah kita sudah membicarakan buku itu sejak dulu,
sejak kau menjadi pemenang sebuah lomba cerpen, dan ada kabar akan dibukukan? Di
mana aku bisa mendapatkannya?”
“di Gramedia,
togamas, dan toko-toko buku di Yogya, La”
“iya, akan aku
jadwalkan untuk membeli bukumu dengan senang hati”
“tetapi,
perempuan yang kau cintai, kenapa menulis status facebook seperti itu?”
“hm mungkin dia
cemburu La, tetapi aku jelaskan bahwa aku menulis itu sebelum aku mengenal dia”
“cemburu dengan
karyamu yang berjudul “La” itu? ya, jelaskanlah, dan akupun menulis sebagai
tanggapan dari apa yang ia rasakan dan tuliskan”