22 Maret
Saat ini aku hanya sedang berimajinasi lewa kata-kata, jangan
dipercaya, karena ini hanya ilusi belaka. Ini adalah sebuah ide yang lahir
ketika aku duduk dan bercermin di depan kaca sembari menikmati segelas Vanilla
latte di samping jendela kamar yang dimasuki angin kecil yang berhembus pelan.
Aku hanya sedang ingin menulis dalam permainan kata-kata yang terus
saja membuncah akhir-akhir ini. sederhana tapi jujur. Mungkin bisa dikatakan
begitu. Tetapi sekali lagi ini adalah sebuah ilusi. Bukan “kejujuran”.
Ia terbaring lemah di ruangan yang bercat putih. Lengkap dengan
berbagai atribut pasien dengan penyakit berat. Ruangan itu terlihat sunyi, sesunyi
pasien yang terbaring lemah itu. Wajahnya yang putih bersih, kini menjadi pucat
pasi, semua orang yang melihatnya tentu akan mengiba padanya. satu bulan sudah
ia menjadi penghuni ruangan yang beraroma kematian. Orang tua, keluarga, dan
sahabat terdekat menjenguknya bergantian, meneteskan air mata dan berbicara
tanpa kata.
Ia tak kunjung terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Tetapi ia
masih bernafas. Maka orang-orang masih setia menjenguknya. Aku melihat harapan
di wajahnya. Aku melihat kerinduan di balik kelopak matanya, aku melihat senyum
di bibirnya. Perempuan ini, teman baikku.
Menjelang senja, selepas aku bekerja di sebuah penerbit lokal di
kota ini, aku menghabiskan waktu untuk memandangi dia. Mecoba membaca garis
wajahnya. Masih seperti dulu. seperti saat kau bercerita tentang karya-karyamu,
hidupmu, keluargamu, impianmu, kecemasanmu, teman-temanmu dan laki-laki yang kau
cinta. Setiap tarikan nafasmu adalah harapan yang tak kau ucapkan, tetapi aku
sudah terlalu paham makna nafasmu.
“La, karya-karyamu sudah di terima di beberapa penerbit, dan masuk
beberapa media, tak cukupkah itu mengobati lukamu saat ini? sembuhlah La, aku
rindu berjalan di sore hari bersamamu, menyusuri gang-gang sempit menuju satu
rumah yang kau sebut rumah imajinasi”
Air mukanya tak berubah
“La, bangunlah, aku membawa buku-buku yang kau sukai, membawa koran
yang berisikan karyamu, oh hei, aku juga menemukan karya dia berdampingan
dengan karyamu La”
“La, aku bacakan sajaknya untukmu ya, dan aku bacakan juga karyamu”
“La” aku genggam tangannya. Tak ada yang berubah, kecuali denyut
nadi yang semakin pelan
“La, .....”
Ah Aku tak tega untuk mengatakannya.
“La, kau masih ingin bercerita tentang laki-laki itu? Aku akan
mendengarkannya, sampai kamu tertidur lelap di bahuku, teruslah bercerita walau
hanya lewat hembusan nafasmu, aku sangat paham”
“Aku akan berusaha memanggil laki-laki itu La, supaya menjengukmu
dan mencium keningmu. Aku tahu kau rindu matanyakan La? Karena di matanya cinta
kalian bertemu”
“Tapi La, jika laki-laki itu telah datang, apakah kau akan bangun
La?”
“bagaimana jika ia tidak datang La?”
Aku memeluknya dalam tetesan air mata yang sederhana.
*
Aku kembali
menikmati Vanilla late yang sudah dingin, mereguknya dan mengahbiskannya. Kutatap
kembali wajahku di cermin. Sudah tampak lelah. Maka kuputuskan untuk menutup
kembali leptopku ini. Mandi, dan kembali bercermin.