Hanya ilusi bukan "kejujuran"

0
22 Maret


Saat ini aku hanya sedang berimajinasi lewa kata-kata, jangan dipercaya, karena ini hanya ilusi belaka. Ini adalah sebuah ide yang lahir ketika aku duduk dan bercermin di depan kaca sembari menikmati segelas Vanilla latte di samping jendela kamar yang dimasuki angin kecil yang berhembus pelan.

Aku hanya sedang ingin menulis dalam permainan kata-kata yang terus saja membuncah akhir-akhir ini. sederhana tapi jujur. Mungkin bisa dikatakan begitu. Tetapi sekali lagi ini adalah sebuah ilusi. Bukan “kejujuran”.

*

Ia terbaring lemah di ruangan yang bercat putih. Lengkap dengan berbagai atribut pasien dengan penyakit berat. Ruangan itu terlihat sunyi, sesunyi pasien yang terbaring lemah itu. Wajahnya yang putih bersih, kini menjadi pucat pasi, semua orang yang melihatnya tentu akan mengiba padanya. satu bulan sudah ia menjadi penghuni ruangan yang beraroma kematian. Orang tua, keluarga, dan sahabat terdekat menjenguknya bergantian, meneteskan air mata dan berbicara tanpa kata.

Ia tak kunjung terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Tetapi ia masih bernafas. Maka orang-orang masih setia menjenguknya. Aku melihat harapan di wajahnya. Aku melihat kerinduan di balik kelopak matanya, aku melihat senyum di bibirnya. Perempuan ini, teman baikku.

Menjelang senja, selepas aku bekerja di sebuah penerbit lokal di kota ini, aku menghabiskan waktu untuk memandangi dia. Mecoba membaca garis wajahnya. Masih seperti dulu. seperti saat kau bercerita tentang karya-karyamu, hidupmu, keluargamu, impianmu, kecemasanmu, teman-temanmu dan laki-laki yang kau cinta. Setiap tarikan nafasmu adalah harapan yang tak kau ucapkan, tetapi aku sudah terlalu paham makna nafasmu.

“La, karya-karyamu sudah di terima di beberapa penerbit, dan masuk beberapa media, tak cukupkah itu mengobati lukamu saat ini? sembuhlah La, aku rindu berjalan di sore hari bersamamu, menyusuri gang-gang sempit menuju satu rumah yang kau sebut rumah imajinasi”

Air mukanya tak berubah

“La, bangunlah, aku membawa buku-buku yang kau sukai, membawa koran yang berisikan karyamu, oh hei, aku juga menemukan karya dia berdampingan dengan karyamu La”

“La, aku bacakan sajaknya untukmu ya, dan aku bacakan juga karyamu”

“La” aku genggam tangannya. Tak ada yang berubah, kecuali denyut nadi yang semakin pelan

“La, .....”

Ah Aku tak tega untuk mengatakannya.

“La, kau masih ingin bercerita tentang laki-laki itu? Aku akan mendengarkannya, sampai kamu tertidur lelap di bahuku, teruslah bercerita walau hanya lewat hembusan nafasmu, aku sangat paham”

“Aku akan berusaha memanggil laki-laki itu La, supaya menjengukmu dan mencium keningmu. Aku tahu kau rindu matanyakan La? Karena di matanya cinta kalian bertemu”

“Tapi La, jika laki-laki itu telah datang, apakah kau akan bangun La?”

“bagaimana jika ia tidak datang La?”

Aku memeluknya dalam tetesan air mata yang sederhana.

*

Aku kembali menikmati Vanilla late yang sudah dingin, mereguknya dan mengahbiskannya. Kutatap kembali wajahku di cermin. Sudah tampak lelah. Maka kuputuskan untuk menutup kembali leptopku ini. Mandi, dan kembali bercermin.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !