Prang!!!
Cermin itu pecah, terhempas angin yang masuk melewati jendela
kamarmu.
Angin itu menyejukkanmu saat kau tertidur di atas meja dengan buku
yang masih terbuka, pulpen yang masih dalam genggaman tanganmu, kertas-kertas
yang berserakan dan penuh dengan catatanmu, leptop yang masih menyala dan
secangkir es susu yang tidak dingin lagi.
Tetapi suara cermin yang pecah itu mengagetkanmu, dan membuat kau
terbangun dari kantukmu yang menyerang, seketika kau lihat cermin yang pecah
itu, dan kau berkata ‘ah cerminnya pecah’, kau kembali tertidur di atas meja
dengan kantuk yang sudah tiada.
Ada perasaan kesal yang menyeruak dalam dada, suara itu tengah
membangunkanmu dari tidurmu yang sekejap, padahal kau belum tidur sejak tadi
malam.
Kau bangkit, lalu meraih kertas kosong, mengambil pulpen yang baru
saja kau letakkan di atas meja, dan kau menulis kembali.
Kau melirik cermin itu, terpecah menjadi beberapa bagian, kau
biarkan pecahan kaca itu berserakan di lantai, karena kau belum berselera
membersihkannya. Maka dengan tatapan matamu, kau berkata ‘biarkanlah’.
Ada lapar yang tiba-tiba menghampiri perutmu, karena kau belum
sempat sarapan dengan makanan yang layak untuk hari ini, kecuali hanya makan
pop mie mini, minum segelas kopi vanilla late, dan segelas es susu. Sudah, itu
saja. kau masih membiarkan rasa lapar
itu, kau mencoba bersahabat dengan perut yang lapar, dan udara yang kian panas,
tetapi angin selalu berhembus pelan lewat kaca jendela, menggoyangkan gorden
berwarna coklat.
Ada suara kereta yang lewat dari timur menuju ke barat dengan suara
klakson yang memekik telinga di siang hari, ada suara pesawat terbang yang
lewat beberapa meter di atas atap kamarmu, ada suara kendaraan beroda dua yang
terdengar sayup-sayup, dan ada suara tetangga yang bercakap-cakap di luar
rumah, bergurau dan tertawa. Semuanya terdengar sayup-sayup dari kamarmu
Kau meraih handphone yang tergeletak di samping kananmu, kau buka
dan kau lihat, tak ada pesan masuk untukmu hari ini, orang-orang terlalu sibuk,
sehingga tak ada yang berkirim pesan untukmu, bahkan laki-laki yang diam-diam
kau cintaipun begitu. Kau letakkan kembali handphonemu dan kau kembali menulis.
“La, kau masih saja menulis sejak aku pergi tadi?”
Kau menengok ke asal suara itu datang.
“iya mas’ jawab kau.
Ada pecahan kaca yang memantul dari pecahan kaca yang berserakan di
lantai, dan sampai pada mata laki-laki itu.
“kau memecahkan kaca, La?”
“tidak mas, angin yang memecahkannya” sembari terus saja menulis
“kau belum membersihkan pecahan kaca itu, La?”
Rupanya ia khawatir pecahan kaca itu akan melukai kaki lenjang dan
tangan perempuan itu yang selalu
digunakannya untuk menulis. Maka ia memunguti
pecahan kaca itu satu-satu.
“tak usah mas, biarkan aku saja yang membersihkannya”
‘tak apa, lanjutkan saja kau menulis”
Lalu, kaupun ikut memunguti pecahan kaca itu satu-satu.
*
“Tanganmu
bergetar La”
Kau
hanya tersenyum saja saat itu.
“kau
sudah makan?”
“belum
mas”
“kau
ini selalu saja menghiraukan laparmu itu, aku sudah membeli satu bungkus nasi
untukmu, makanlah”
“mas
sudah makan?”
“sudah,
tadi di kantor’
“aku
tak bisa makan sendiri, makanlah bersamaku’
“baiklah,
akan kutemani kau makan”.
*
“La,
ibumu mencemaskanmu”
Kau
terdiam, kau sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“sampai
kapan kau akan seperti ini? tinggal di sebuah kamar yang memiliki dua jendela,
dan satu pintu?”
“sampai
aku benar-benar tak mau lagi di sini”
“kau
perempuan La, jangan lama-lama hidup sendiri, tak elok di pandang mata”
“mas,
katakan pada Ibu, tak usah mencemaskanku, aku masih ingin hidup seperti ini,
belajar, membaca,
menulis, dan berkarya”
“hidup
bukan hanya sekedar karya, hidup lebih dari itu, kau membutuhkan pendamping,
adikmu sudah ingin menikah katanya”
“menikahlah,
tak apa, jangan hiraukan aku”
“La,
semenjak kau mengenal laki-laki itu, kau banyak berubah, apa yang kau harapkan
dari dia? Kau masih menunggunya? Bukankah laki-laki itu sudah menjadi milik
perempuan lain?”
“jangan
bahas itu mas, aku sedang tidak ingin membicarakannya”
“La,
jangan kau selalu menghindar dari persoalan ini, kau sudah cukup matang untuk
menikah, kuliahmu bisa kau lanjutkan setelah kau menikah, bukankah hanya tinggal
menyusun thesis saja?”
“mas,
jangan paksa aku untuk menikah, aku belum memiliki gairah untuk itu”
“bukan
kau tak memiliki, tetapi kau dengan sengaja tak menghadirkan gairah itu,
kembalilah ke fitrahmu sebagai perempuan La, sebagai perempuan yang akan
melahirkan anak dari rahimmu, dan akan membesarkan anak-anakmu”
“kenapa
kau tiba-tiba menjadi seperti ibu, kau ingat kau siapa?”
“aku
hanya ikut mencemaskanmu. Itu saja, tidak lebih”
Kau
tersenyum kecut. Laki-laki ini sudah berani mencemaskanmu, dan sudah berani
berbincang dengan ibumu. Sesungguhnya kau tahu bagaimana perasaan laki-laki itu
padamu. Tetapi kau tak cukup beragairah untuk mencintainya. Atau jangan-jangan
kau memang sudah menutup pintu untuk siapapun?
“pembicaraan
kita sudah semakin jauh mas, sudahlah, aku akan melanjutkan menulis lagi”
“sedang
menulis apa? laki-laki itu lagi?”
Kau
hanya menatapnya dengan sinis, sementara ia masih duduk di lantai yang
berkarpet biru.
*
Malam
hampir turun menyelimuti atap kamar kau. Ia masih duduk di kamar dalam sepi,
dan kau sudah mulai membersihkan gelas dan piring kotor bekas kemarin.
*
“La,
aku mencintaimu” katanya tiba-tiba
Sebenarnya
kau sudah tahu tanpa ia harus mengatakannya. Kau sudah mengetahui dari setiap
kecemasan-kecemasannya yang selalu ia tujukan padamu. Tetapi, bukan karena kau
tidak peka atau pura-pura tidak mengetahui. Lebih dari itu. Kau tak mau
membohongi perasaanmu, dan juga perasaannya, kau tak mau mencinta dalam
kepura-puraan. Itu saja. dan itu lebih manusiawi daripada sebuah cinta yang tumbuh
dalam kepura-puraan, yang hanya untuk membahagiakan satu pihak saja. cinta itu
melibatkan dua insan. Dua insan itu harus sama-sama bahagia. Tak boleh ada yang
terluka. Adapun aku, aku diam-diam terluka karena aku diam-diam mencintai
laki-laki lain.
*
hehe keren , sip .
ReplyDeletekamu beneran baca fai?? mksih yah...
ReplyDeletefolback ya la
ReplyDelete