29
maret 2013
Sssttttttttt.....
Ini adalah rahasia antara aku dan teman dekatku, Ama namanya.
Kalaupun ada yang menganggap hal ini bukan sebuah rahasia atau bisa dikatakan
hal lumrah, maka tak apa-apa. itu terserah kalian, yang pasti ini adalah sebuah
kesepakatan yang dibangun antara aku dan Ama, dan ini semua bisa menjadi sesuatu
yang mewakili kita saat kita sedang tak saling berkata.
Dua minggu sudah aku dan Ama tak bertemu dan tak saling bertamu.
Rupanya kita sedang sama-sama disibukkan dengan tugas akhir alias skripsi. Kita
hanya mengetahui keadaan kita masing-masing lewat status yang dibuat di
facebook (hm ternyata facebook lebih menjadi pilihan dari pada berkirim pesan
via sms, telphone, atau berkunjung ke kos masing-masing). Tapi tak apa, mungkin
ini adalah hal yang sudah menjadi biasa di jaman sekarang.
Kegiatan apa sih yang sering dilakukan sama mahasiswa tingkat
akhir? Ya, tidak lain dan tidak lebih, nongkrong di depan leptop berjam-jam,
pergi ke perpustakaan, dan pergi ke tempat penelitian. Begitulah, begitupun
dengan aku, tetapi aku sudah tidak lagi pergi ke tempat penelitian, karena
tugasku sekarang tinggal menyusun laporan dan menyesuaikannya dengan
teori-teori yang sudah aku kumpulkan dari beberapa bulan yang lalu. Mungkin,
kalian akan menganggapnya mudah, karena tinggal nyusun saja. yah memang
begitulah, mudah kok, asal tekun dan rajin konsultasi saja sama penbimbing,
pasti cepat rampung.
Entah karena saking sibuknya mengerjakan skripsi atau apa, tetapi
kamarku saat ini nyaris menjadi sarang nyamuk yang banyak membunuh manusia. Aku
sudah tidak lagi menyapu dan mengepel lantai tiga hari sekali, tempat sampah di
sudut ruangan sudah penuh sehingga tak mampu lagi menampung tisu yang berserakan
di lantai, plastik makanan seperti
plastik waffer dan lain-lain ikut berserakan di dalam kamar, gelas-gelas sudah
numpuk di dekat dispenser, belum di cuci berhari-hari, begitupun dengan piring
dan mangkuk, kipas tangan alih tempat, biasanya tersimpan rapi di laci meja,
sekarang sudah berada di kolong ranjang, sepatu dan sandalpun sudah ikut masuk
ke dalam kamar, begitupun kaos kaki sudah betengger di samping rak buku, meja
belajar sudah dipenuh dengan kertas-kertas yang berisi coretan-coretan hitam,
merah, dan biru, buku-buku sudah bertumpuk di sana-sini, kasur sudah tak enak
lagi ditempati karena saking berantakannya, lemari yang bukan main amburadul,
cermin yang tak lagi kinclong untuk bercermin, kaca jendela yang sudah penuh
dengan bekas air hujan, tempat bedak yang sudah terpisah dengan tutupnya,
toples gula pasir yang sudah berada di dekat lemari pakaian, dan teh yang
tinggal satu biji lagi, begitupun susu coklat, dan juga kopi, semuanya tinggal
satu kali minum saja.
Nah, jika keadaan kamar sudah seperti ini, ini menunjukan bahwa
sebenarnya hati, dan pikiran kita sedang sama-sama berantakan seperti kamar
kita. bahkan bisa lebih berantakan dari kamarnya. Maka aku dan Ama menyepakati
bahwa kamar pribadi cerminan dari hati dan pikiran pribadi. Nah dari sinilah
kita biasa mengetahui apa yang sedang kita rasakan. Jika aku bertamu ke tempat
Ama, dan mendapati kamarnya berantakan, maka akan aku tanyakan langsung padanya
tanpa penuh basa-basi ‘apa yang terjadi Ma?’. Setelah itu kita berdua akan
sama-sama pergi ke sebuah tempat yang menjanjikan ketenangan. Biasanya kita
berdua berjalan-jalan di sore hari, sembari menikmati orang-orang yang berlalu
lalang, dan kita akan sama-sama bercerita tentang sebenarnya apa yang terjadi
dengan diri kita masing-masing. Seringkali kita menghabiskan waktu berjam-jam
sampai kita sama-sama merasa lapar dan haus, sampai kita sama-sama kenyang
tengah bercerita, dan sampai kita sama-sama lepas dengan masalah kita, dan kita
tertawa bersama.
Tetapi sampai saat ini, Ama belum juga berkunjung ke tempatku,
padahal, jika melihat kamarku yang sudah teramat berantakan, maka hati dan
pikiranku sudah melebihi berantakannya kamarku ini.
‘aku ingin bercerita Ama, tetapi aku tak punya keberanian untuk
mengirim pesan untukmu, tersebab kau terlampau sibuk sekarang’
Ama, sampai kapan aku harus merasa sedih dan sakit sendiri,
cepatlah berkunjung ke tempatku, teman-teman di tempatku mungkin sudah merasa
heran dengan keadaan kamarku yang tak kunjung rapi setiap hari, bahkan dari
hari ke hari semakin berantakan, aku juga sudah tidak begitu berselera untuk
makan atau ngobrol bersama mereka, aku seolah terkunci di kamar yang sudah mulai
busuk ini, tak ada gairah untuk memulai membuang sampah atau mencuci gelas
kotor, memang sudah tak ada gelas yang bersih, tetapi daripada harus mencuci
gelas lebih baik mengeluarkan uang empat ribu rupiah lalu pergi ke alfamart dan
membeli air aqua. Itu cukup untuk beberapa hari, adapun makananku, aku memilih
untuk makan mie instan, atau sate ayam yang lewat selepas magrib di depan
kosku. Yang pasti aku sedang tak mau bergerak untuk mengerjakan hal yang
begituan. Aku lebih betah diam di depan komputer saja.
Ama, perasaanku memang sedang tidak menentu, bahkan sekarang aku
pun tidak tahu psti apa yang benar-benar menyebabkan hati dan pikiranku
benar-benar kacau. Bisa saja perasaanku masih terpaut dengan perasaan-perasaan
kacau yang kemarin. Tentang kecemasan, tentang ibu, tentang laki-laki, tentang
menikah, dan tentang yang orang namai karya. Entahlah Ama. Ibuku selalu saja
mendesakku untuk segera menikah, padahal, di jaman modern seperti ini,
sepertinya adalah hal yang wajar jika seorang perempuan masih belum mau
menikah, dan masih mau menikmati dunianya, dunia karya, dan semacamnya.
Ibuku Ama, ternyata diam-diam beliau sudah menyiapkan laki-laki
untukku. Ini di luar dugaanku. Karena sebagaimana Ama ketahui, aku mempunyai
pelabuhan hati sendiri. Tetapi ternyata ibu tak menyetujui hubunganku dengan
laki-laki itu, laki-laki yang baik hatinya, tentu saja. jika aku diijinkan
menikah dengannya, maka aku bersedia jika harus menikah dengannya sekarang
juga, tetapi jika tidak selain dia, jangan pernah membahasnya lagi.
Aku tak tega melihat laki-laki yang baik hati dianiaya perasaannya,
apalagi teraniaya olehku. Bagaimana mungkin bisa, hubungan kita yang sudah kita
jalin dan kita rawat bersama berhenti di tengah jalan. Kita sudah menjadi satu
sebelum orang-orang melihatnya menjadi satu. Kita adalah bagia dari diri kita
masing-masing.
Tahukah kamu Ama, setiap pagi ibuku selalu menelpon dari rumah. Selalu
saja membicarakan laki-laki pilihannya itu. Tentu saja aku tak berselera untuk
mendengarnya, maka aku kantakan saja pada ibu ‘bu, sudahlah jangan bahas itu
dulu’. kemudian ibuku akan menjawab ‘La, Ayah kamu pun sudah menyetujuinya,
sudahlah jangan kau pikirkan laki-laki itu saja, kami tahu mana yang terbaik
untuk anaknya’
Jika sudah seperti itu, maka aku akan diam saja, dan kemudian ibu
dengan sendirinya akan mematikan telephonenya.
Aku dan laki-laki itu, kita sudah mempunyai rencana masa depan yang
bisa dikatakan itu adalah hal yang kita sepakati yang akan berbuah kenyamanan. Kita
sudah mempunyai rancangan di mana akan membangun rumah, berapa anak yang akan
lahir dari rahim seorang ibu, kemudian akan bekerja apa setelah menikah, dan
lain sebagainya. sementara aku dengan laki-laki pilihan ibu, mengenalnya saja
belum, apalagi membuat rencana masa depan. Itu jauh dari kata dekat, nyaman,
apalagi cinta.
Ama, apa aku benar-benar harus bercerita sendiri tanpamu. Aku tak
tahu bagaimana harus menyelesaikannya. Akupun belum bercerita pada laki-laki
yang baik hati itu. Aku tak cukup kuat untuk mengatakannya. Ama, di mana kau?
Baiklah Ama, sepertinya kali ini memang kita harus sama-sama
sendiri. Aku akan pergi sendiri, jalan kaki, menyusuri tempat-tempat yang biasa
kita datangi. Seperti yang kau thau aku hanya akan membawa satu tas kecil dan
sebotol air minum. Setelah itu aku akan mencari tempat duduk yang biasa kita
duduki bersama. Aku hanya akan diam. Mungkin bercerita pada waktu, atau pada
angin.
*
Ama,
kulihat punggungmu yang sedang duduk di kursi tempat kita bercerita. Apa kau pun
di sana. Apa yang terjadi Ama? Apa sore ini Tuhan menakdirkan kita untuk
bertemu? Ama....
Perlahan
ku hampiri Ama yang sedang tengadah menghadap matahari senja.