Emak selalu melarang Uha
bermain di sekitar pakara[1].
Tetapi Uha tak pernah mendengarkan larangan Emak sedikit pun. Sampai
akhirnya sebuah petaka datang melumat Uha yang malang. Lalu merambat pada nasib
Emak yang sial.
*
Baru seumur jagung usia
pernikahan Uha dengan Endah. Namun, Uha sudah harus menyandang status sebagai
duda muda. Bukan karena Endah meninggal, tetapi karena Endah meminta dicerai
setelah tiga bulan hidup bersama dengannya.
Tak pernah Endah menyangka
akan memikul nasib sial bersama Uha. Bayangan hidup bahagia yang selama ini ia
pupuk bersama Uha telah sirna. Sekarang, di matanya, Uha adalah lelaki yang
tidak pantas diharapkan olehnya bahkan oleh wanita mana pun.
Pecah sudah tangis Endah
di pangkuan Ibunya. Endah berkisah tentang jalan hidup yang baru ia tempuh. “Ibu,
sebenarnya Uha itu, Uha...” Kerongkongannya selalu tercekat jika ia mengucapkan
nama Uha. Kisahnya selalu terpenggal, hanya isak tangis kepedihanlah yang terus
terdengar.
Orang-orang tidak menduga rumah
tangga Uha akan berakhir seperti kilat. Sepasang suami istri yang elok rupawan
namun bernasib tidak menawan. Padahal, orang-orang menyangka mereka pasangan
yang sempurna. Bagaimana tidak, Endah anak juragan tanah di Kebondeet dan Uha
anak penghasil tenun di desanya. Subur makmurlah kehidupan Endah dan Uha.
Kekecewaan Endah tampak
jelas terlihat oleh Uha. Telah Uha ajak Endah berjalan-jalan ke kota untuk
melipur lara, namun apalah daya, itu semua tak kunjung mengurangi kekecewaan
Endah tehadap Uha. Wajah Endah yang selalu segar, kini tampak kuyu dan layu.
Sudah jarang Endah bersolek untuk Uha.
Habis upaya untuk
membahagiakan Endah, permaisuri yang dicintainya. Uha pasrah pada takdir di
depannya. Ia tak kuasa menolak keinginan Endah untuk berpisah dengannya. Saat
itu juga jatuhlah talak 1 kepadanya. Lalu Endah pulang ke rumah ibunya dengan
hati yang gusar.
*
Perceraian memang hal
biasa. Namun, bagi Emak dan Bapak Uha ini bukan yang biasa, apalagi setelah
diketahui penyebabnya. Tidak pernah sebelumnya Emak dan Bapak Uha menanggung
malu sebab tingkah polah anaknya. Dua saudara perempuan Uha sudah menikah dan menjadi
keluarga yang bahagia. Kakaknya yang pertama bekerja sebagai guru SD di desa
suaminya. Ia juga telah menjadi PNS. Tentu hal ini mengangkat derajat Emak dan
Bapak Uha. Kakak kedua Uha menjadi istri kepala desa. Sekarang ia mengelola
sebuah yayasan penitipan anak dan paud di desa ini.
Sekarang, Uha, anak
laki-laki satu-satunya memberikan wiwirang[2]
kepada orang tuanya. Derajat Emak dan Bapak Uha yang tengah mengawang-awang
di langit seperti diruntuhkan seketika oleh Uha tanpa aba-aba. Sakitnya terasa
melebihi apapun.
Baru kali ini mereka
merasakan wajahnya selalu berubah menjadi merah dan panas jika bertemu dengan
tetangga. Sebelumnya, dada selalu terbusung karena anak-anaknya yang cantik
selalu berhasil mendapatkan orang-orang yang terhormat. Sekarang, bawaannya
selalu ingin lari dari kerumunan banyak orang, mereka tidak pernah lagi mau
berlama-lama ngobrol di warung atau pun di pos ronda saat malam hari.
Sesal selalu menyelimuti
hati Emak Uha. Pikirannya selalu melayang ke masa kanak-kanak Uha. Emak Uha
merasa bersalah. Seandainya ia tidak bekerja menjadi tukang tenun mungkin
keadaannya tidak akan seperti ini. Uha akan bahagia bersama Endah. Emak akan
menimang cucu yang lucu dari anaknya.
Bapak Uha masih
mengupayakan agar mereka rujuk kembali. Ia tidak dapat membayangkan jika hal
ini diketahui banyak orang. Mereka berpisaha gara-gara... Ah, Bapak Uha membujuk
Endah agar ia kembali ke Uha. Namun, semua sia-sia. Terbayang pesta pernikahan
yang digelar dengan sangat ramai. Penyanyi dangdut paling kondang dihadirkan,
pagelaran wayang golek tak ketinggalan, dan pengajian Haji Ahmad pun
diselenggarakan. Jika begini jadinya, semua itu hanya menghamburkan uang. Harta
berkurang kebahagiaan tak kunjung datang.
Sebuah perceraian yang memberikan
pembenaran dan pengakuan paling jujur kepada khalayak ramai atas segala
prasangka kepada Uha. Tak akan mungkin lagi ditutup-tutupi. Semuanya sudah
terlihat jelas.
*
Pergolakan hubungan Uha
dengan Endah kian santer diperbincangkan di warung-warung. Mulai di warung Bi
Ani, si penjual sayur mayur, di warung karedok Bi Enih, dan di warung kopi Mang
Dudung. Semuanya membicarakan Uha dan Endah. Yang paling sering disebut-sebut
Uha. Orang-orang mengatakan Uha kewalat akibat ulahnya sendiri. Sementara
kepada Endah, orang-orang menyimpan rasa empati.
“Kasihan, wanita cantik
itu sudah harus menyandang status janda,” begitu orang-orang berkata di warung.
“Tapi kan, Endah mah janda
yang masih gadis,” Mang Ikin menyambung pembicaraan orang-orang sembari
tertawa.
“Mau masih gadis atau
tidak, yang namanya menyandang status janda pasti sedih atuh Mang,” Bi
Nuah menimpali omongan Mang Ikin.
“Itu gimana cerita aslinya
Bi Nuah? Beneran Endah yang minta cerai?” tanya Mang Salim.
“Iya benar Mang. Kata
orang-orang mah Endah yang minta
cerai,” Jawab Bi Nuah.
“Masyaallah, apa atuh
masalahnya?” tanya Mang Salim lagi.
“Ih si Mang Salim masa enggak
tahu masalahnya. Semua orang di sini juga sudah tahu,” jawab Bi Enih yang
sedang berbelanja di warung Bi Ani.
“Oh, jadi kabar yang saya
dengar kemarin sore itu benar?” Tanya Mang salim menguatkan.
“Iya, benar Mang, sebagai
tukang tenun hati-hati lah kalau punya anak lelaki,” Jawab Bi Ani.
*
Pikiran Uha
melayang-layang entah ke mana. Bisa jadi ia sedang mengawang ke masa silam.
Masa kecil Uha yang penuh kenakalan. Tetapi bukankah anak-anak seusianya
dulu memang nakal semua? Tidak hanya Uha yang nakal namun kenapa hanya Uha yang
bernasib malang?
Terbayang Emak Uha yang
sedang bekerja membuat tenun untuk di jual ke kota. Pertanyaan terus muncul di
benak Uha. “Kenapa Emak memilih bekerja sebagai tukang tenun? Kenapa Emak tidak
memilih bekerja sebagai penjual pakaian atau yang lainnya? Apakah Emak sengaja
merenggut kebahagian Uha sejak masa kecilnya?”
Uha seperti mayat
berjalan. Dari hari ke hari, tak ada harapan yang ia tanamkan. Semuanya telah
pupus. Endah pergi karena dirinya. Ia tidak punya kuasa untuk menahan Endah
lebih lama. Luntur sudah kepercayaan diri Uha. Untuk apa ia hidup di dunia ini?
Jika memberikan sedikit kebahagian pun tak mampu. Jika takdir ada di tangannya
sendiri, Ia akan memilih mati daripada menanggung derita di dunia. Ia memilih
mati daripada tak mampu memberikan surga untuk Endah.
Uha bagaikan pohon randu
yang tak berguna apa-apa. Hidupnya hanya sebatas menghabiskan usia. Jalan sudah
buntu. Tidak ada daya untuk mempertahankan kehormatan diri, apalagi kehormatan
keluarga di hadapan keluarga Endah dan tetangga.
Rasa malu yang kian
menebal terus menghinggapi Uha. Ia tak mampu keluar rumah untuk sekedar membeli
rokok sembari ngopi di warung Mang Dudung. Cibiran dari tetangganya
seperti selalu terdengar jelas di telinga. Selalu deras.
*
Telah Uha kumpulkan pakara
Emak di halaman belakang. Ia membakarnya. Lalu mendepak Emaknya pada
lumatan-lumatan api yang tengah membubung tinggi. Asap tebal terus mengepul ke
atas. Bau hangus tubuh Emak menusuk hidung tetangga.
“Emak, pakaramu membuat burungku
tak berdaya,” teriak Uha dengan amarah yang terus meletup seperti api yang
sedang menjilati pakara dan tubuh Emak.
Warungjati,
06 April 2015
*cerpen ini berhasil menembus satu event lomba menulis cerpen yang diadakan olehTelkom University 2015 sebagai juara 1.
"elok rupawan namun bernasib tidak menawan" -. diksi yang menarik!
ReplyDeletesatu yang menganggu pikiran : apa yang terjadi antara "burung" dan "pakara"?
Entar yah aku tanyain dulu ke Mang Uha yang sudah mengalami... hehehe
Delete