PAKARA

2
Emak selalu melarang Uha bermain di sekitar pakara[1]. Tetapi Uha tak pernah mendengarkan larangan Emak sedikit pun. Sampai akhirnya sebuah petaka datang melumat Uha yang malang. Lalu merambat pada nasib Emak yang sial.

*
Baru seumur jagung usia pernikahan Uha dengan Endah. Namun, Uha sudah harus menyandang status sebagai duda muda. Bukan karena Endah meninggal, tetapi karena Endah meminta dicerai setelah tiga bulan hidup bersama dengannya.
Tak pernah Endah menyangka akan memikul nasib sial bersama Uha. Bayangan hidup bahagia yang selama ini ia pupuk bersama Uha telah sirna. Sekarang, di matanya, Uha adalah lelaki yang tidak pantas diharapkan olehnya bahkan oleh wanita mana pun.
Pecah sudah tangis Endah di pangkuan Ibunya. Endah berkisah tentang jalan hidup yang baru ia tempuh. “Ibu, sebenarnya Uha itu, Uha...” Kerongkongannya selalu tercekat jika ia mengucapkan nama Uha. Kisahnya selalu terpenggal, hanya isak tangis kepedihanlah yang terus terdengar.
Orang-orang tidak menduga rumah tangga Uha akan berakhir seperti kilat. Sepasang suami istri yang elok rupawan namun bernasib tidak menawan. Padahal, orang-orang menyangka mereka pasangan yang sempurna. Bagaimana tidak, Endah anak juragan tanah di Kebondeet dan Uha anak penghasil tenun di desanya. Subur makmurlah kehidupan Endah dan Uha.
Kekecewaan Endah tampak jelas terlihat oleh Uha. Telah Uha ajak Endah berjalan-jalan ke kota untuk melipur lara, namun apalah daya, itu semua tak kunjung mengurangi kekecewaan Endah tehadap Uha. Wajah Endah yang selalu segar, kini tampak kuyu dan layu. Sudah jarang Endah bersolek untuk Uha.
Habis upaya untuk membahagiakan Endah, permaisuri yang dicintainya. Uha pasrah pada takdir di depannya. Ia tak kuasa menolak keinginan Endah untuk berpisah dengannya. Saat itu juga jatuhlah talak 1 kepadanya. Lalu Endah pulang ke rumah ibunya dengan hati yang gusar.
*
Perceraian memang hal biasa. Namun, bagi Emak dan Bapak Uha ini bukan yang biasa, apalagi setelah diketahui penyebabnya. Tidak pernah sebelumnya Emak dan Bapak Uha menanggung malu sebab tingkah polah anaknya. Dua saudara perempuan Uha sudah menikah dan menjadi keluarga yang bahagia. Kakaknya yang pertama bekerja sebagai guru SD di desa suaminya. Ia juga telah menjadi PNS. Tentu hal ini mengangkat derajat Emak dan Bapak Uha. Kakak kedua Uha menjadi istri kepala desa. Sekarang ia mengelola sebuah yayasan penitipan anak dan paud di desa ini.
Sekarang, Uha, anak laki-laki satu-satunya memberikan wiwirang[2] kepada orang tuanya. Derajat Emak dan Bapak Uha yang tengah mengawang-awang di langit seperti diruntuhkan seketika oleh Uha tanpa aba-aba. Sakitnya terasa melebihi apapun.
Baru kali ini mereka merasakan wajahnya selalu berubah menjadi merah dan panas jika bertemu dengan tetangga. Sebelumnya, dada selalu terbusung karena anak-anaknya yang cantik selalu berhasil mendapatkan orang-orang yang terhormat. Sekarang, bawaannya selalu ingin lari dari kerumunan banyak orang, mereka tidak pernah lagi mau berlama-lama ngobrol di warung atau pun di pos ronda saat malam hari.
Sesal selalu menyelimuti hati Emak Uha. Pikirannya selalu melayang ke masa kanak-kanak Uha. Emak Uha merasa bersalah. Seandainya ia tidak bekerja menjadi tukang tenun mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Uha akan bahagia bersama Endah. Emak akan menimang cucu yang lucu dari anaknya.
Bapak Uha masih mengupayakan agar mereka rujuk kembali. Ia tidak dapat membayangkan jika hal ini diketahui banyak orang. Mereka berpisaha gara-gara... Ah, Bapak Uha membujuk Endah agar ia kembali ke Uha. Namun, semua sia-sia. Terbayang pesta pernikahan yang digelar dengan sangat ramai. Penyanyi dangdut paling kondang dihadirkan, pagelaran wayang golek tak ketinggalan, dan pengajian Haji Ahmad pun diselenggarakan. Jika begini jadinya, semua itu hanya menghamburkan uang. Harta berkurang kebahagiaan tak kunjung datang.
Sebuah perceraian yang memberikan pembenaran dan pengakuan paling jujur kepada khalayak ramai atas segala prasangka kepada Uha. Tak akan mungkin lagi ditutup-tutupi. Semuanya sudah terlihat jelas.
*
Pergolakan hubungan Uha dengan Endah kian santer diperbincangkan di warung-warung. Mulai di warung Bi Ani, si penjual sayur mayur, di warung karedok Bi Enih, dan di warung kopi Mang Dudung. Semuanya membicarakan Uha dan Endah. Yang paling sering disebut-sebut Uha. Orang-orang mengatakan Uha kewalat akibat ulahnya sendiri. Sementara kepada Endah, orang-orang menyimpan rasa empati.
“Kasihan, wanita cantik itu sudah harus menyandang status janda,” begitu orang-orang berkata di warung.
“Tapi kan, Endah mah janda yang masih gadis,” Mang Ikin menyambung pembicaraan orang-orang sembari tertawa.
“Mau masih gadis atau tidak, yang namanya menyandang status janda pasti sedih atuh Mang,” Bi Nuah menimpali omongan Mang Ikin.
“Itu gimana cerita aslinya Bi Nuah? Beneran Endah yang minta cerai?” tanya Mang Salim.
“Iya benar Mang. Kata orang-orang mah  Endah yang minta cerai,” Jawab Bi Nuah.
Masyaallah, apa atuh masalahnya?” tanya Mang Salim lagi.
“Ih si Mang Salim masa enggak tahu masalahnya. Semua orang di sini juga sudah tahu,” jawab Bi Enih yang sedang berbelanja di warung Bi Ani.
“Oh, jadi kabar yang saya dengar kemarin sore itu benar?” Tanya Mang salim menguatkan.
“Iya, benar Mang, sebagai tukang tenun hati-hati lah kalau punya anak lelaki,” Jawab Bi Ani.
*
Pikiran Uha melayang-layang entah ke mana. Bisa jadi ia sedang mengawang ke masa silam. Masa kecil Uha yang penuh kenakalan. Tetapi bukankah anak-anak seusianya dulu memang nakal semua? Tidak hanya Uha yang nakal namun kenapa hanya Uha yang bernasib malang?
Terbayang Emak Uha yang sedang bekerja membuat tenun untuk di jual ke kota. Pertanyaan terus muncul di benak Uha. “Kenapa Emak memilih bekerja sebagai tukang tenun? Kenapa Emak tidak memilih bekerja sebagai penjual pakaian atau yang lainnya? Apakah Emak sengaja merenggut kebahagian Uha sejak masa kecilnya?”
Uha seperti mayat berjalan. Dari hari ke hari, tak ada harapan yang ia tanamkan. Semuanya telah pupus. Endah pergi karena dirinya. Ia tidak punya kuasa untuk menahan Endah lebih lama. Luntur sudah kepercayaan diri Uha. Untuk apa ia hidup di dunia ini? Jika memberikan sedikit kebahagian pun tak mampu. Jika takdir ada di tangannya sendiri, Ia akan memilih mati daripada menanggung derita di dunia. Ia memilih mati daripada tak mampu memberikan surga untuk Endah.
Uha bagaikan pohon randu yang tak berguna apa-apa. Hidupnya hanya sebatas menghabiskan usia. Jalan sudah buntu. Tidak ada daya untuk mempertahankan kehormatan diri, apalagi kehormatan keluarga di hadapan keluarga Endah dan tetangga.
Rasa malu yang kian menebal terus menghinggapi Uha. Ia tak mampu keluar rumah untuk sekedar membeli rokok sembari ngopi di warung Mang Dudung. Cibiran dari tetangganya seperti selalu terdengar jelas di telinga. Selalu deras.
*
Telah Uha kumpulkan pakara Emak di halaman belakang. Ia membakarnya. Lalu mendepak Emaknya pada lumatan-lumatan api yang tengah membubung tinggi. Asap tebal terus mengepul ke atas. Bau hangus tubuh Emak menusuk hidung tetangga.
“Emak, pakaramu membuat burungku tak berdaya,” teriak Uha dengan amarah yang terus meletup seperti api yang sedang menjilati pakara dan tubuh Emak.
Warungjati, 06 April 2015

*cerpen ini berhasil menembus satu event lomba menulis cerpen yang diadakan olehTelkom University 2015 sebagai juara 1.



[1] Alat-alat tenun
[2] Rasa malu 

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. "elok rupawan namun bernasib tidak menawan" -. diksi yang menarik!
    satu yang menganggu pikiran : apa yang terjadi antara "burung" dan "pakara"?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entar yah aku tanyain dulu ke Mang Uha yang sudah mengalami... hehehe

      Delete
Post a Comment
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !