Jalan-jalan ke Festival Buku
Indonesia
Caldas adalah sebuah novel karya GG.
Marquez, seorang yang dikenal sebagai ikon dari realisme magis. Novel ini saya
dapatkan ketika jalan-jalan ke Festival Buku Indonesia di Wanitatama Yogyakarta
pada tanggal dua September.
Novel ini berada di bawah tumpukan
buku-buku lawas. Beruntung saya cukup jeli memilah buku, sehingga saya dapat
menemukan buku sekeren ini. Tak perlu berpikir panjang untuk memutuskan membeli
buku ini. Saya yakin dengan hasil terjemahan penerbit LKiS. Pasti nikmat
dibaca. Selain novel ini, saya pun menemukan novel Rabindranath Tagore,
sastrawan India, kumpulan cerpen Anton Chekov, raja cerita pendek asal Rusia,
dan banyak lagi.
Saya hanya membeli dua buku karena
walaupun usia buku ini tidak lagi muda, tetapi harganya cukup mahal. Dua buku
ini tipis, hanya berkisar 150 halaman. Buku Anton Chekov saya beli dengan harga
Rp 45.000 (terbit 2004). Sementara buku Marquez saya beli dengan harga Rp
35.000 (tebit I, 2002, II, 2013).
Awalnya saya akan membeli novel
Rabindranat Tagore. Bukunya cukup tebal. Terbitan Bentang. Tetapi ketika saya
menanyakan kualitas terjemahan kepada mas penjual, ia tidak merekomendasikan
novel itu. Ia merekomendasikan untuk membeli Tagore terjemahan KPG. Karena saya
tidak mau kecewa, saya harus jeli memilih kualitas terjemahan Tagore. Akhirnya
saya memutuskan untuk membeli kumpulan cerpen Chekov. Selain itu, mas penjual
pun menunjukan novel berjudul Seratus Tahun Kesunyian karya Marquez, sebuah
karya agung darinya. Sebenarnya saya ingin membelinya, namun karena harganya
yang cukup menjulang tinggi, Rp 120.000, terpaksa saya urungkan niat saya untuk
membeli buku itu. Sebenarnya sih ini kesempatan langka. Karena buku itu
pasti banyak dicari orang. Sementra stok buku tersebut sangat terbatas. Semoga
di lain kesempatan saya masih bisa membeli sekaligus menikmati karya agung itu.
(Bagi teman-teman yang memiliki buku itu, saya bersedia meminjam.hehe).
Membaca Caldas
Marquez. Nama itu cukup familiar di
telinga saya. Baru-baru ini saya mendengar nama itu dari teman saya Shohifur
Ridho Ilahi, seorang penyair kelahiran Madura. Ketika itu saya sedang
menanyakan bagus dan tidaknya novel Eka Kurniawan: Cantik itu Luka dan Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas melalui sms. Saat itu saya memang sedang
penasaran dengan dua novel itu. Dan Ridho menjawab, ‘novelnya bagus, seperti
karya Marquez.’
Saat saya membaca Eka, saya membayangkan
sedang membaca Marquez. Karena sebelumnya saya belum berkenalan dengan
karyanya. Tetapi saat membaca Marquez, saya tidak membayangkang novel Eka. Saya
membayangkan sebuah film berjudul Life of Pi yang saya tonton tahun lalu. Saya
mendapatkan film ini dari Ghazali, pegiat Teater Eska. Sungguh. Membaca Marquez
dengan pikiran melayang ke film itu sangat tidak nyaman. Sama tidak nyamannya
ketika menonton film dan saya sudah membaca novelnya dahulu. Ah, betapa saya
belum menjadi pembaca dan penonton film yang baik.
Novel ini diangkat dari kisah nyata.
Pada tahun 18 Februari 1955, delapan awak kapal perusak Caldas, milik Angkatan
Laut Kolombia, jatuh dan hilang dalam badai di laut Karibia. Kapal tersebut
berlayar dari Mobile, Albama, Amerika Serikat. Setelah beberapa waktu
diperbaiki, kapal siap menuju pelabuhan Cartagena, Kolombia. Namun, di tengah
perjalanan, malapetaka tak bisa dihindari (hal ix). Angin kencang mengguncang
kapal. Beberapa penumpang terlempar ke laut lepas. Setelah empat hari pencarian
dilakukan oleh Otorita Kanal Panama, AS, yang bertindak sebagai pengawas
militer, dan kelompok kemanusiaan lainnya di Karibia Selatan, kapal ini
dinyatakan hilang, dan para pelaut yang hilang secara resmi dinyatakan
meninggal. Satu minggu kemudian, salah satu diantara mereka muncul dalam
keadaan hampir mati di pantai terpencil di selatan Kolombia, setelah berjuang
selama sepuluh hari tanpa makan dan minum di dalam perahu penyelamat yang
hanyut (hal ix).
Pelaut yang beruntung itu bernama
Luis Alejandro Velasco. Ketika berada di Mobile, ia menonton sebuah film
berjudul The Caine Mutiny, film yang berkisah tentang kehidupan di atas
kapal penyapu ranjau ketika menghadapi badai. Kegelisahan menyergap Fasto (nama
panggilan Luis Alejandro Velasco) begitu usai menonton film itu. Ia mulai
mengantisipasi terjadinya malapetaka di laut. Ia membayangkan jika badai
mengepung dirinya. Dan ia akan kehilangan nyawa satu-satunya. Kegelisahan yang
terus memburu Fasto, membuat Fasto berpikir untuk keluar dari pekerjaannya
sebagai pelaut. Di tengah kecemasannya ia ingin segera kembali ke Cartagena.
Detik-detik terakhir di Caldas,
Fasto menyaksikan beberapa temannya berjuang menyelmatkan diri. Namun, tak ada
satu pun dari mereka yang berhasil. Awalnya mereka berenang sekuat tenaga, lalu
sedikit demi sedikit mulai tenggelam, hanya tangan yang masih menyembul
keluar, hingga akhirnya seluruh tubuhnya
tenggelam ke dasar lautan. Sementara Fasto, diselematkan oleh nasib baik yang menaungi
dirinya. Ia berhasil mencapai perahu penyelamat berwarna putih. Sendirian. Tiga
meter dari perahu itu, teman-teman fasto: Julio Amador, Eduardo Castillo, Luis
Rengifo, Ramon Herera mengerang,
memanggil-manggil Fasto. Air bergemuruh bergulung mencipta jarak yang semakin
jauh.
Malam gelap.
Fasto menunggu datangnya pertolongan
yang tak kunjung datang. Padahal ia telah memperkirakan pertolongan akan datang
setelah tiga jam ia terombang-ambing di lautan. Gemuruh suara pesawat memang
terdengar, begitupun setitik cahaya dari
pesawat yang terbang di atas lautan. Tetapi pesawat itu tidak menuju ke arah
Fasto.
Malam pekat. Sendiri. Menanti.
Dingin. Cemas. Lapar. Luka. Haus. Horison. Bintang. Hiu. Ikan-ikan. Angin.
Badai. Hujan. Pagi. Biru. Matahari. Kuning. Panas. Terbakar. Emas. Lembayung.
Senja. Burung Camar. Terkadang membuat Fasto tak mampu membedakan antara
imajinasi dan kenyataan. Tetapi sekaligus memberikan kekuatan dan harapan
kepada Fasto.
Setiap jam lima sore ikan hiu selalu
datang ke permukaan. Terkadang mengelilingi perahu Fasto. Pernah juga Fasto
bergelut dengan hiu. Berebut makanan. Saat itu, Fasto tengah memegang burung
camar kecil-yang tersesat- untuk di makan. Darah segar menetes ke lautan. Ini
memicu hiu untuk semakin naik ke permukaan. Pertempuran heroik itu membuat
Fasto kehilangan dua dayungnya. Hanya setengah dayung yang tersisa karena
gigitan ikan hiu.
Di hari ke sepuluh, setelah tiga
hari sebelumnya ia sempat menemukan akar yang tersangkut di perahunya, kemudian
ia memakannya, dan melihat burung yang menemaninya di malam hari, ia terdampar
di sebuah pulau kecil di Kolombia, Mulatos. Penduduk di sana sangat baik hati.
Mereka mengantarkan Fasto ke dokter. Sekitar 600 penduduk mengantar perjalanan
Fasto menuju San Juan de Uraba. Saat itu, Fasto dibawa di atas tandu dan
dipandu oleh polisi.
Di sinilah
perjalanan Fasto berakhir. Dr. Humberto Gomez, petugas medis yang memeriksanya
pertama kali tak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum ramah dan menepuk pipi
Fasto sambil berkata: “Pesawat sudah siap membawa Anda ke Cartagena. Keluarga
Anda sudah menunggu di sana.”
Oh. Betapa Tuhan menunjukkan kasih
sayang-Nya.
Life of Pi
Saya tahu. Latar belakang novel Caldas
dan film Life of Pi berbeda. Film ini berlatar di India. Ayah Pi adalah seorang
pebisnis yang cerdas. Ia memiliki kebun binatang di India. Namun ia khawatir
pemerintah kota India tidak mau mendukungnya lagi, sehingga ia memilih untuk
menjual binatang-binatang tersebut. Mereka sekeluarga pergi ke Canada
menggunakan kapal laut.
Di tengah perjalanan, hujan lebat
dan petir menyambar. Dalam waktu sekejap kapal sudah dipenuhi air. Kapal karam.
Semua orang panik, termasuk Pi. Beruntung Pi berhasil pindah ke atas perahu.
Sendirian. Kemudian Zebra. Lalu Harimau. Kera. Rubah. Mereka berlima di atas
perahu. Hewan-hewan saling mempertahankan diri. Lalu saling membunuh. Mati.
Hingga yang tersisa hanya harimau dan Pi. Pi berbagi tempat dengan harimau. Tak
jarang juga mereka berebut makanan. Berperang. Apakah Anda bisa
membayangkannya?
Sama halnya dengan Fasto, ia bertemu
ikan-ikan, minum air hujan, menunggu, cemas, lapar, haus, dingin, panas, dan
berharap. Ia pun melemparkan surat kaleng ke laut. Ia juga menghitung hari dengan
menuliskannya di bibir perahu (ini juga dilakukan Fasto). Tetapi memang bisa
dikatakan lebih beruntung Pi, karena di dalam perahu Pi ada makanan kaleng yang
bisa dimakan. Sementara Fasto tidak. Selain itu, ada juga buku petunjuk yang
harus dilakukan selama di perahu, seperti bernyanyi untuk menghilangkan
kejenuhun. Pi melakukan itu. Sementara Fasto berimajinasi. Pi terdampai di
sebuah pulau dengan harimaunya. Harimau menuju hutan, sedangkan Pi diselamatkan
oleh penduduk setempat. Lalu dibawa ke rumah sakit. Banyak yang
mewawancarainya. Ingin mendengar ceritanya langsung. Begitupun yang dialami
oleh Fasto.
Pi mengartikan perjalanan ini
sebagai perjalanan spiritual. Dimana ia diberkati, diselamatkan dari bahanya,
dan diperlihatkan keagungan Tuhan di lautan. Ketika kecil Pi adalah seorang
anak yang cerdas yang mencari Tuhan dengan caranya. Ia memeluk tiga agama
sekaligus: Hindu, Kristen, dan Muslim. Ia melakukan ketiga ibadah agama
tersebut.
**
“Selesai La? Panjang juga tulisanmu.
Lalu setelah ini mau ngapain, La?”
“Membaca ulang Marquez tanpa harus
teringat dengan film Life of Pie. Saya ingin menyelam di kedalaman diksi. Jika
perlu saya akan menulis ulang setiap kata yang tertulis di Caldas.”
“Menulis ulang? Buat apa?
buang-buang waktu.”
“Iya. Saya akan membangun rumah
diksi di otak saya. Supaya saya tidak tersendat-sendat ketika menulis.”
“Oh Tuhan, baiklah La, lakukan apa
yang membuatmu bahagia.”
September 2014.