Udara dingin menyergap saya di terminal Cicaheum. Saya buru-buru
melekatkan jaket pada badan. Jalanan pun masih berembun. Namun, terminal ini
sudah ramai dengan aktivitas para supir dan para pedagang. Saya bersama teman
saya menyusuri jalanan dan mencari masjid. Terdengar selawat nabi menguar
melalui corong-corong masjid. Tapi kami tak kunjung menemukan asal suara.
“Bu masjid terdekat di sebelah mana ya?” tanya Arif pada
penjual kue pukis.
Kami berjalan sesuai dengan petunjuk penjual kue pukis. Berselang
berapa menit, kami sudah sampai di masjid. Gelap dan ditutup rapat. Kami duduk
di teras masjid. Sekedar berselonjor untuk melepas rasa pegal setelah
perjalanan panjang dari Yogyakarta.
Tak lama kemudian, datang seorang bapak separuh baya. Membuka kunci
pintu masjid. Wajah kami cerah. Kami masuk, menyimpan tas, lalu membersihkan
muka, berwudu dan salat. Kami telah memutuskan untuk menunggu langit terang di
masjid ini. Setelah itu, baru melanjutkan perjalanan untuk menghadiri sebuah
pelatihan tentang peace education (2013).
“Teh, udah doanya?” tanya bapak-bapak separuh baya itu.
Konsentrasi saya buyar. Saya sudahi doa saya. Bapak itu menyuruh
saya segera keluar. Saya bergegas melipat mukena. Saya hanya menyimpaikan
kerudung ala kadarnya. Masjid dikunci kembali. Lampu dimatikan semua. Hanya ada
terang bulan dan cahaya lampu dari rumah-rumah sekeliling masjid. Dua teman
saya sudah duduk di teras. Kami diam tak saling bicara. Lalu bergegas keluar
gang mencari angkot yang akan membawa kami ke tempat tujuan. Saya tahu ada yang
sedang bergejolak di dalam pikiran kami masing-masing. Saya terus berjalan
sembari meyakinkan diri ada banyak masjid inklusif di kota ini.
***
Langit biru di Singapura. Jalanan pun lengang. Saya dan rombongan
berjalan dengan gairah penuh. Ini hari pertama kami tiba di Singapura. Kami ada
di sini dalam rangka memperingati World Interfaith Harmony Week yang selalu
diperingati pada tanggal 1-7 Februari setiap tahun di seluruh belahan dunia.
Tujuan pertama kami adalah Masjid Abdul Ghafoor. Beberapa teman belum
menunaikan kewajibannya. Sembari menunggu, saya dan teman-teman berkeliling di
masjid bercat hijau berpadu dengan warna emas dan putih. Masjid ini terletak di
Dunlop Street di area Rochor, dekat penginapan kami. Tepat di depan masjid di
samping pintu gerbang, ada sebuah ruangan untuk pengunjung. Di dalamnya terdapat
informasi-informasi tentang Islam dalam bentuk pamflet dan buku. Salah satu
buku berjudul “Apa yang Harus Diketahui oleh Kristiani tentang Islam” menjadi
buku menarik bagi teman Kristiani saya. Di sini juga terdapat Alquran dalam
berbagai bahasa. Pakaian-pakaian muslim dan muslimah dipajang dan dapat
dipinjam untuk berfoto. Melengkapi itu semua, di pojok ruangan ada kulkas
berisi minuman botol. Di atasnya tertulis "gratis untuk pengunjung non
muslim." Teman-teman Kristiani senang bukan main.
"Lha terus buat kita yang muslim gimana?" Teman
saya nyeletuk. Barangkali dia sedang kehausan.
"Minta aja sama teman Kristiani. Suruh mereka ambil dua botol
per orang." Teman saya yang lain menimpali. Ide "brilian"
muncul. Hahaha. Lalu, saya pun mengikuti ide brilian itu. Mengingat perjalanan
kami masih panjang dan pasti akan membutuhkan asupan air yang banyak. Alasan
lainnya, tentu saja untuk menghemat pengeluaran. Keluar dari masjid cantik
tersebut, tas teman-teman Kristiani bertambah berat. Di dalamnya terdapat
buku-buku dan Alquran.
Tak lengkap rasanya ke Singapura tanpa berbelanja ke China Town. Di
sepanjang jalan, aksesoris perayaan
tahun baru China menghiasi kota ini. Tahun ini dinobatkan sebagai tahun Ayam.
Nuansa merah dan kuning memanjakan mata kami. Menambah keceriaan berbelanja di
sini. Perjalanan saat itu, melangkahkan kaki kami ke Masjid Jami (Chulia).
“Wishing All Chinese Friends A Happy Lunar New Year”
Tulisan di atas menyambut kedatangan kami di Masjid Jami (Chulia).
Bagi saya ini momen apik. Harus diabadikan. Buru-buru saya dan teman saya
mengambil foto di sini. Ada kehangatan yang diam-diam menyelinap masuk ke dalam
batin saya. Lagi, saya menemukan masjid yang ramah pada etnis lain. Masuk ke
dalamnya, tentu saja di dinding-dinding penuh dengan penjelasan-penjelasan
tentang Islam. Apa itu Islam. Siapa itu Nabi Muhammad?
Perjalanan kami selanjutnya mengunjungi Harmony Center. Bertempat
di Masjid An-Nahdah. Terletak di Bishan Street 14. Masjid ini menyimpan keunikan
tersendiri. Jika di dua masjid sebelumnya ada penjelasan-penjelasan tentang
Islam, maka di sini ada penjelasan-penjelasan agama lain yang eksis di
Singapura. Tercatat ada 10 agama: Bahai, Sikh, Tao, Yahudi, Jain, Zoroaster
Budha, Hindu, Kristen, dan Islam.
“Hal ini mengundang kontroversi sebenarnya. Orang-orang berkomentar
kok di masjid ada penjelasan tentang agama lain?” ucap lelaki
lulusan Al-Azhar Mesir ini. Ia menjadi pemandu kami mengelilingi Harmony
Center.
“Kendati demikian, telah banyak orang, lembaga, bahkan
negara-negara datang ke sini untuk belajar tentang keberagaman,” lanjutnya.
Di sini, saya ditunjukkan bagaimana seharusnya masjid menjalankan
perannya, yakni menjaga keberagaman dan menjadi penyatu umat. Tempat ini memang
dimotori oleh Majelis Ugama Islam Singapura. Tujuannya untuk mempromosikan
pemahaman Islam yang sejati di tengah-tengah kehidupan multi etnik dan agama di
Singapura.
Menutup perjalanan saya, selepas berkunjung ke komunitas agama
Jain, saya dan beberapa teman singgah di salah satu masjid – saya lupa nama masjidnya
– selepas menunaikan salat, dan bercengkrama ala kadarnya, kami diberi beberapa
gelas air minum. Di raut wajah kami memang tersurat lelah dan haus setelah
melakukan aktivitas dialog dan berkunjung ke beberapa komunitas agama di sana.
Segelas air minum mampu mencerahkan kembali wajah kami, juga batin kami di
negara tetangga. Negara ini, memberikan perjalanan yang manis. Kunjungan demi
kunjungan ke beberapa masjid membuat saya terenyuh apa artinya persaudaraan sesama
manusia.
Layla Badra Sundari
Kediri, 30 Juli 2017